Charles Darwin, yang berupaya menjelaskan bagaimana inteligensia manusia berkembang, memperluas teori evolusinya pada otak manusia: seperti bentuk fisiologi kita lainnya, inteligensia seharusnya telah berevolusi dari organisme yang lebih sederhana karena semua binatang menghadapi tantangan kehidupan yang umumnya sama. Mereka harus mampu mendapatkan pasangan, makanan, dan menemukan jalan setapak melalui hutan, laut, atau udara—tugas-tugas yang menurut Darwin membutuhkan kemampuan mengelompokkan dan memecahkan masalah. Sesungguhnya, Darwin melangkah jauh hingga beranggapan bahwa cacing tanah merupakan makhluk kognitif karena, berdasarkan pengamatan lekatnya, cacing-cacing tanah harus melakukan penilaian mengenai jenis-jenis materi yang mengandung dedaunan yang digunakannya untuk menutupi lubang terowongan. Darwin tidak berharap untuk menemukan invertebrata yang berpikir dan mengatakan bahwa petunjuk mengenai kemungkinan inteligensia cacing tanah ”telah mengejutkan saya melebihi apapun yang berkaitan dengan cacing.”
!break!
Bagi Darwin, penemuan tentang cacing tanah telah memperlihatkan bahwa tingkatan inteligensia dapat ditemukan pada semua jenis binatang. Namun pendekatan Darwinian terhadap inteligensia binatang dikesampingkan pada awal abad ke-20 ketika para peneliti bersepakat bahwa pengamatan lapangan hanyalah ”anekdot,” yang biasanya dicemari oleh antropomorfisme. Dalam upaya untuk lebih teliti, banyak penganut behaviorisme yang menganggap binatang sedikit lebih maju daripada mesin dan memfokuskan studi mereka pada tikus putih laboratorium—karena satu ”mesin” tentu akan bersikap seperti mesin lainnya.
Namun jika binatang hanyalah mesin, bagaimana caranya menjelaskan munculnya inteligensia manusia? Tanpa perspektif evolusi Darwin, kemampuan kognitif manusia yang lebih besar secara biologis tidak akan masuk akal. Perlahan-lahan bandul pendulum berayun menjauhi model hewan-sebagai-mesin dan kembali kepada Darwin. Berbagai studi binatang kini beranggapan bahwa asal-usul kognisi sangatlah dalam, luas, dan amat bisa dibentuk.
Begitu mudahnya keterampilan mental yang baru dapat berevolusi mungkin paling tepat dicontohkan dengan anjing. Sebagian besar pemilik anjing berbicara dengan peliharaannya dan berharap peliharaannya itu memahaminya. Namun bakat anjing ini belum dihargai sepenuhnya hingga pada suatu saat seekor border collie bernama Rico tampil dalam acara permainan di TV Jerman, tahun 2001. Rico tahu nama sekitar 200 mainan dan mampu mengingat nama-nama baru dengan mudah. Para peneliti di Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi di Leipzig mendengar tentang Rico dan mengatur sebuah pertemuan dengan anjing itu bersama pemiliknya. Pertemuan berlanjut dengan sebuah laporan ilmiah yang mengungkap kemampuan bahasa Rico yang misterius: anjing itu dapat mempelajari dan menghafal kata-kata secepat anak kecil. Para ilmuwan lainnya telah menunjukkan bahwa anak-anak berusia dua tahun—yang mampu menghafal sekitar sepuluh kata baru setiap harinya—memiliki prinsip bawaan yang mengarahkan tugas tersebut. Kemampuan tersebut terlihat seperti salah satu pondasi mendasar dalam pembelajaran bahasa. Para ilmuwan Max Planck mencurigai bahwa prinsip yang sama turut mengarahkan kemampuan Rico dalam memperlajari kata dan teknik yang digunakannya dalam mempelajari kata-kata identik dengan teknik yang digunakan manusia.
Untuk mendapatkan lebih banyak contoh, para ilmuwan membaca surat-surat dari ratusan orang yang mengklaim bahwa anjing peliharaan mereka juga memiliki bakat Rico. Kenyataannya, hanya dua anjing—keduanya border collie—yang memiliki kemampuan setara. Salah satunya—para peneliti memanggilnya Betsy—memiliki perbendaharaan kata sebanyak 300 buah.
!break!
”Bahkan saudara terdekat kita, kera besar, tidak bisa melakukan apa yang dapat dilakukan Betsy—mendengar sebuah kata sebanyak satu atau dua kali kemudian mengetahui bahwa pola akustiknya memiliki arti tertentu,” kata Juliane Kaminski, seorang psikolog kognitif yang telah bekerja dengan Rico dan kini tengah mempelajari Betsy. Ia dan rekannya, Sebastian Tempelmann telah mendatangi rumah Betsy di Wina untuk memberinya rangkaian ujian yang baru. Kaminski mengelus Betsy, sementara Tempelmann memasang sebuah kamera video.
“Anjing yang memahami bentuk-bentuk komunikasi manusia merupakan hal baru yang telah berevolusi,” kata Kaminski, ”sesuatu yang berkembang di dalam diri anjing tersebut disebabkan hubungan mereka dengan manusia yang berlangsung lama.” Walaupun Kaminski belum pernah menguji serigala, ia meragukan kemampuan bahasa jenis anjing liar tersebut.
”Mungkin collie-collie ini sangat ahli melakukannya karena merupakan anjing pekerja dan sangat termotivasi, dan dalam tugas penggembalaan tradisionalnya, anjing-anjing itu harus mendengarkan pemiliknya dengan sangat seksama.”
Para ilmuwan memperkirakan bahwa anjing telah didomestikasi kurang lebih 15.000 tahun yang lalu, waktu yang relatif pendek untuk menjalani evolusi keterampilan berbahasa. Namun, seberapa miripkah keterampilan tersebut dibandingkan keterampilan manusia? Untuk pemikiran yang abstrak, kita menggunakan simbol, menjadikan suatu hal menjari arti bagi yang lain. Kaminski dan Tempelmann tengah menguji apakah anjing juga mampu melakukan hal yang sama. Pemilik Betsy—yang memiliki nama samaran Schaefer—memanggil Betsy yang dengan menurut meregangkan tubuhnya di kaki Schaefer, matanya menatap wajah pemiliknya. Kapan pun Schaefer berbicara, Betsy menyimak sambil memiringkan kepalanya dari satu sisi ke sisi lainnya.
!break!
Kaminski memberi Schaefer setumpuk foto berwarna dan memintanya untuk memilih salah satu. Setiap foto menggambarkan sebuah mainan anjing yang dilatari layar putih—mainan yang belum pernah dilihat Betsy. Benda-benda tersebut bukanlah mainan sungguhan; hanya gambar mainan. Dapatkah Betsy menghubungkan sebuah gambar dua dimensi dengan objek tiga dimensi?
Schaefer mengangkat gambar sebuah Frisbee berwarna pelangi yang agak buram dan mendorong Betsy untuk mencarinya. Betsy mempelajari gambar tersebut dan wajah Schaefer, kemudian berlari ke dapur, tempat di mana Frisbee tersebut diletakkan diantara tiga mainan lainnya dan foto dari masing-masing mainan. Betsy membawakan Frisbee maupun foto Frisbee tersebut setiap kali. ”Ia tidak salah jika hanya membawakan fotonya,” kata Kaminski. ”Namun, kurasa Betsy dapat menggunakan sebuah gambar, tanpa nama, untuk menemukan sebuah objek. Meski begitu, masih dibutuhkan banyak tes lainnya untuk membuktikan hal tersebut.”
Namun demikian, Kaminski masih belum yakin bahwa ilmuwan lainnya bakal menerima temuannya karena kemampuan abstrak Betsy, sekecil apapun kelihatannya bagi kita, mungkin terlalu mirip dengan pikiran manusia. Kita tetap merupakan spesies yang inventif. Tak ada binatang yang lain yang sudah membangun pencakar langit, menulis soneta, atau membuat komputer. Namun para peneliti hewan mengatakan bahwa kreativitas, seperti bentuk inteligensia lainnya, tidak muncul begitu saja dari kehampaan. Hal itupun telah berevolusi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR