Pada tahun 1977 Irene Pepperberg yang baru lulus dari Harvard University melakukan sesuatu yang sangat berani. Pada masa ketika binatang masih dianggap berperilaku seperti robot, ia berupaya mencari tahu apa yang terdapat di dalam alam pikiran makhluk yang bukan manusia dengan mengajaknya berbicara. Ia membawa seekor burung betet abu-abu Afrika berusia satu tahun yang diberi nama Alex ke dalam laboratoriumnya untuk diajari cara meniru bunyi-bunyi dalam bahasa Inggris. ”Kupikir jika dia belajar cara berkomunikasi, aku dapat menanyakan padanya tentang bagaimana dia melihat dunia.”
!break!
Ketika Pepperberg memulai dialognya dengan Alex yang mati September lalu pada usia 31 tahun, banyak ilmuwan meyakini bahwa binatang tidak memiliki kemampuan untuk berpikir, apapun. Binatang hanyalah mesin, robot yang terprogram untuk bereaksi terhadap rangsangan, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk berpikir. Namun, setiap pemilik binatang peliharaan pasti tidak menyetujuinya. Kita melihat cinta kasih dalam sorot mata anjing kita dan tahu bahwa, tentunya, si Bleki memiliki pikiran dan emosi. Hanya saja, klaim seperti itu tetap sangat kontroversial. Insting naluriah bukanlah ilmu pengetahuan dan adalah terlalu mudah untuk memeroyeksikan pikiran dan perasaan manusia pada makhluk lainnya. Lalu bagaimana caranya seorang ilmuwan membuktikan bahwa seekor binatang memiliki kemampuan untuk berpikir—bahwa binatang itu mampu menyerap informasi tentang dunia dan dapat bereaksi terhadapnya?
“Karena itulah aku memulai penelitianku dengan Alex,” kata Pepperberg. Keduanya tengah duduk— Pepperberg di meja kerjanya, dan Alex di atas sangkarnya— di dalam laboratorium, sebuah kamar tak berjendela yang berukuran kurang lebih sebesar mobil boks di Brandeis University. Surat kabar bertebaran di lantai; berkeranjang-keranjang mainan berwarna cerah ditata di atas rak. Jelas mereka merupakan sebuah tim—dan berkat kerjasama keduanya, buah pikiran bahwa binatang dapat berpikir menjadi tidak lagi terlalu khayali.
Keterampilan-keterampilan tertentu dianggap sebagai tanda-tanda penting akan kemampuan mental yang lebih tinggi: ingatan yang bagus, pemahaman akan tata bahasa dan simbol, kesadaran diri, pemahaman terhadap motif pihak lain, meniru perilaku pihak lain, dan bersikap kreatif. Sedikit demi sedikit, melalui berbagai eksperimen yang cerdas, para peneliti berhasil mendokumentasikan talenta-talenta tersebut pada spesies lainnya, yang secara bertahap mengikis kepercayaan kita mengenai apa yang membuat umat manusia berbeda sekaligus memberikan gambaran singkat mengenai asal muasal kemampuan kita. Burung scrub jay tahu bahwa jay-jay lainnya adalah pencuri dan makanan yang disembunyikan dapat membusuk; domba dapat mengenali wajah; simpanse menggunakan beragam alat untuk mengubek-ubek rumah rayap dan bahkan menggunakan senjata untuk berburu mamalia kecil; lumba-lumba dapat meniru sikap manusia; ikan sumpit yang membuat serangga bengong terkejut dengan semburan air yang tiba-tiba, dapat mempelajari cara membidik semprotannya hanya dengan menonton aksi ikan yang berpengalaman. Alex si burung betet secara mengejutkan menjadi seekor pembicara yang baik.
Tiga puluh tahun setelah studi terhadap Alex dimulai, Pepperberg dan asisten-asistennya yang silih berganti masih mengajari Alex bahasa Inggris. Orang-orang, bersama dua betet lainnya yang lebih muda,
juga berfungsi sebagai kawanan Alex yang memberi masukan sosial yang diinginkan oleh semua burung betet. Seperti kawanan burung lainnya, kawanan ini—walaupun berjumlah kecil—memiliki drama tersendiri. Alex mendominasi rekan-rekan burung betetnya, terkadang mudah tersinggung di dekat Pepperberg, menenggang manusia perempuan lainnya, dan jatuh hati pada seorang asisten lelaki yang datang berkunjung (”Andai kau lelaki,” kata Pepperberg, setelah menyadari sikap Alex yang dingin terhadapku, ”dalam sekejab ia pasti hinggap di pundakmu, memuntahkan kacang mede di telingamu.”).
Pepperberg membeli Alex di sebuah toko hewan peliharaan di Chicago. Ia membiarkan asisten toko memilih si betet karena tak ingin ilmuwan lainnya berkata di kemudian hari bahwa ia dengan sengaja telah memilih seekor burung yang cerdas untuk pekerjaannya. Dengan ukuran otak Alex yang sebesar biji kenari, kebanyakan peneliti berpendapat bahwa studi komunikasi antarspesiesnya Pepperberg bakal tak berguna.
!break!
”Beberapa orang sesungguhnya menyebut saya gila karena berupaya melakukan hal ini,” katanya. ”Para ilmuwan menganggap simpanse sebagai subjek yang lebih baik, walaupun tentunya, monyet tidak dapat berbicara.”
Simpanse, bonobo, dan gorila pernah diajar menggunakan bahasa isyarat dan simbol untuk berkomunikasi dengan kita, seringkali dengan hasil yang mengesankan. Kanzi si bonobo, contohnya, membawa-bawa papan simbol komunikasinya sehingga ia dapat ”berbicara” dengan peneliti-peneliti manusianya dan Kanzi telah menciptakan kombinasi simbol untuk mengekspresikan pikirannya. Meski demikian, hal ini tidaklah sama dengan menjumpai seekor binatang yang menengadah kepadamu, membuka mulut, dan berbicara. Pepperberg berjalan ke bagian belakang ruangan, ke tempat Alex bertengger di atas sangkarnya sambil merapikan bulu abu-abu mutiaranya. Betet jantan itu berhenti ketika didatangi kemudian membuka paruhnya.
”Mau anggur,” kata Alex.
”Ia belum sarapan pagi,” kata Pepperberg menjelaskan, ”jadi ia sedikit kesal.”
Alex kembali merapikan bulunya, sementara seorang asisten menyiapkan semangkuk anggur, kacang polong, irisan apel dan pisang, serta jagung sebonggol. Di bawah perlindungan Pepperberg yang sabar, Alex belajar menggunakan sistem organ suaranya untuk meniru hampir seratus kata bahasa Inggris, termasuk bunyi untuk semua jenis makanan tersebut, walaupun ia menyebut sebuah apel dengan ”ban-eri”.
”Apel terasa sedikit seperti pisang baginya, dan apel tampak seperti buah ceri, maka Alex menciptakan kata itu untuk apel,” kata Pepperberg. Alex dapat berhitung hingga angka enam dan tengah mempelajari bunyi untuk angka tujuh dan delapan.
”Saya yakin ia sudah mengetahui kedua angka tersebut,” kata Pepperberg. ”Ia mungkin sudah mampu berhitung hingga sepuluh, tetapi masih belajar untuk mengucapkan kata-kata tersebut. Butuh waktu yang lebih banyak dari yang saya bayangkan untuk mengajarinya bunyi-bunyi tertentu.”
!break!
Setelah sarapan, Alex merapikan bulunya lagi, sambil mengawasi anggota kawanannya. Beberapa waktu sekali, ia menyorongkan tubuh dan membuka paruhnya: ”Ssse...won.”
”Bagus, Alex,” ujar Pepperberg. ”Tujuh. Angka tujuh.”
”Ssse...won! Se... won!”
”Ia sedang berlatih,” kata Pepperberg menjelaskan. ”Begitulah cara dia belajar. Ia sedang memikirkan cara mengucapkan kata itu, bagaimana menggunakan sistem organ suaranya untuk menghasilkan bunyi yang tepat.”
Gagasan mengenai seekor burung yang mendapatkan mata pelajaran untuk berlatih dan melakukannya secara sukarela terdengar agak gila. Namun setelah mendengarkan dan memperhatikan Alex, sulit untuk mendebat penjelasan Pepperberg mengenai sikap burung betet tersebut. Ia tidak memberinya hadiah untuk pekerjaan repetitif tersebut ataupun memukuli cakarnya agar ia mengucapkan bunyi-bunyian itu.
”Ia harus mendengar kata-kata tersebut berulang kali sebelum ia dapat menirunya dengan benar,” kata Pepperberg setelah mengucapkan kata ”tujuh” kepada Alex sedikitnya dua belas kali berturut-turut. ”Saya tidak berusaya mengetahui apakah Alex dapat mempelajari bahasa manusia,” katanya menambahkan. ”Bukan itu tujuan saya. Rencana saya sejak dulu adalah untuk menggunakan
kemampuan menirunya agar lebih memahami kognisi unggas.”
Dengan kata lain, karena Alex mampu menghasilkan
bunyi-bunyian yang menyerupai beberapa kata bahasa Inggris, Pepperberg dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan mengenai pemahaman mendasar dari seekor burung terhadap dunia. Ia tidak dapat bertanya kepada Alex tentang apa yang dipikirkannya, tetapi ia dapat bertanya tentang pengetahuannya akan angka, bentuk, dan warna. Sebagai contoh, Pepperberg membawa Alex di lengannya menuju tenggeran kayu tinggi yang terletak di tengah-tengah ruangan. Ia kemudian mengambil sebuah kunci hijau dan sebuah cangkir hijau kecil dari dalam sebuah keranjang di atas rak. Ia menunjukkan kedua benda tersebut di depan mata Alex.
!break!
”Apa yang sama?” tanyanya. Tanpa ragu, paruh Alex membuka:
”Co-lor.”
”Apa yang beda?” tanya Pepperberg.
”Shape,” kata Alex. Suaranya memiliki sentuhan suara digital tokoh kartun. Karena burung betet tidak memiliki bibir (alasan lain yang menjelaskan mengapa menjadi sulit bagi Alex untuk mengucapkan beberapa bunyi, seperti ba), kata-kata tersebut seakan keluar dari udara di sekitarnya, seperti ventriloquist (orang yang dapat berbicara tanpa menggerakkan bibir) yang sedang berbicara. Namun kata-kata tersebut—dan satu-satunya yang bisa dianggap sebagai pikirannya—merupakan milik Alex sepenuhnya.
Selama 20 menit berikutnya, Alex menjalani ujian-ujiannya, membedakan warna, bentuk, ukuran, dan materi (wol versus kayu versus logam). Ia melakukan beberapa perhitungan aritmatika sederhana, seperti menghitung jumlah balok mainan berwarna kuning di antara tumpukan balok aneka warna. Kemudian, seakan ingin menunjukkan bukti terakhir yang tersimpan di dalam otak burungnya, Alex
berujar keras.
”Bicara yang jelas!” perintahnya, ketika salah satu burung yang lebih muda, yang tengah diajari Pepperberg, salah mengucapkan kata hijau. ”Bicara yang jelas!”
”Jangan sok tahu,” kata Pepperberg sambil menggelengkan kepala padanya. ”Ia sudah mengetahui semua ini dan ia menjadi bosan sehingga mengganggu yang lain, atau ia memberi jawaban yang salah hanya karena keras kepala.
Pada tahap ini, ia seperti anak lelaki remaja; suasana hatinya mudah berubah dan aku tidak pernah yakin apa yang akan dilakukannya kemudian.”
”Mau ke pohon,” Alex berucap pelan.
Alex telah menghabiskan seluruh masa hidupnya dalam penangkaran, tetapi ia tahu bahwa di balik pintu laboratorium, terdapat sebuah lorong dan jendela tinggi yang membingkai sebuah pohon ulmus yang rimbun. Alex senang melihat pohon itu, maka Pepperberg menyodorkan lengannya agar dapat dinaiki si betet. Ia berjalan bersama Alex menyusuri lorong menuju cahaya hijau pohon. ”Anak baik! Burung baik,” kata Alex sambil menaik-turunkan kepalanya dari atas lengan Pepperberg.
”Ya, kau anak yang baik. Kau burung yang baik.” Pepperberg pun mencium kepala Alex yang berbulu. Alex tetap menjadi burung yang baik hingga akhir hayatnya, dan Pepperberg dengan bangga melaporkan bahwa ketika mati, Alex telah berhasil menguasai ”tujuh.”
!break!
Sebagian besar kemampuan kognitif Alex, seperti kemampuannya untuk memahami konsep persamaan dan perbedaan, pada umumnya hanya terdapat pada mamalia pada tingkat yang lebih tinggi, khususnya primata. Namun burung betet, seperti halnya kera besar (dan manusia), hidup dalam jangka waktu yang lama di dalam masyarakat yang kompleks. Seperti primata, betet harus bisa mengikuti dinamika perubahan antarrelasi dan lingkungan.
”Mereka harus mampu membedakan warna agar dapat mengetahui kapan buah matang atau belum,” catat Pepperberg. ”Mereka perlu mengelompokkan hal-hal tertentu—apa yang dapat dimakan, apa yang tidak—dan untuk mengetahui bentuk-bentuk predator. Hal itu juga membantu memahami konsep bilangan jika Anda harus mengikuti kawananmu dan untuk mengetahui siapa yang lajang dan siapa yang sudah berpasangan. Untuk burung yang memiliki usia panjang, Anda tidak dapat melakukan semuanya ini dengan menggunakan naluri; kognisi juga harus dilibatkan.”
Kemampuan secara mental untuk membagi dunia ke dalam berbagai kelompok abstrak yang sederhana, tampaknya merupakan keterampilan yang sangat berharga bagi banyak organisme. Lalu, apakah kemampuan itu, kemudian, merupakan bagian dari dorongan evolusioner yang menghasilkan inteligensia manusia?
Charles Darwin, yang berupaya menjelaskan bagaimana inteligensia manusia berkembang, memperluas teori evolusinya pada otak manusia: seperti bentuk fisiologi kita lainnya, inteligensia seharusnya telah berevolusi dari organisme yang lebih sederhana karena semua binatang menghadapi tantangan kehidupan yang umumnya sama. Mereka harus mampu mendapatkan pasangan, makanan, dan menemukan jalan setapak melalui hutan, laut, atau udara—tugas-tugas yang menurut Darwin membutuhkan kemampuan mengelompokkan dan memecahkan masalah. Sesungguhnya, Darwin melangkah jauh hingga beranggapan bahwa cacing tanah merupakan makhluk kognitif karena, berdasarkan pengamatan lekatnya, cacing-cacing tanah harus melakukan penilaian mengenai jenis-jenis materi yang mengandung dedaunan yang digunakannya untuk menutupi lubang terowongan. Darwin tidak berharap untuk menemukan invertebrata yang berpikir dan mengatakan bahwa petunjuk mengenai kemungkinan inteligensia cacing tanah ”telah mengejutkan saya melebihi apapun yang berkaitan dengan cacing.”
!break!
Bagi Darwin, penemuan tentang cacing tanah telah memperlihatkan bahwa tingkatan inteligensia dapat ditemukan pada semua jenis binatang. Namun pendekatan Darwinian terhadap inteligensia binatang dikesampingkan pada awal abad ke-20 ketika para peneliti bersepakat bahwa pengamatan lapangan hanyalah ”anekdot,” yang biasanya dicemari oleh antropomorfisme. Dalam upaya untuk lebih teliti, banyak penganut behaviorisme yang menganggap binatang sedikit lebih maju daripada mesin dan memfokuskan studi mereka pada tikus putih laboratorium—karena satu ”mesin” tentu akan bersikap seperti mesin lainnya.
Namun jika binatang hanyalah mesin, bagaimana caranya menjelaskan munculnya inteligensia manusia? Tanpa perspektif evolusi Darwin, kemampuan kognitif manusia yang lebih besar secara biologis tidak akan masuk akal. Perlahan-lahan bandul pendulum berayun menjauhi model hewan-sebagai-mesin dan kembali kepada Darwin. Berbagai studi binatang kini beranggapan bahwa asal-usul kognisi sangatlah dalam, luas, dan amat bisa dibentuk.
Begitu mudahnya keterampilan mental yang baru dapat berevolusi mungkin paling tepat dicontohkan dengan anjing. Sebagian besar pemilik anjing berbicara dengan peliharaannya dan berharap peliharaannya itu memahaminya. Namun bakat anjing ini belum dihargai sepenuhnya hingga pada suatu saat seekor border collie bernama Rico tampil dalam acara permainan di TV Jerman, tahun 2001. Rico tahu nama sekitar 200 mainan dan mampu mengingat nama-nama baru dengan mudah. Para peneliti di Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi di Leipzig mendengar tentang Rico dan mengatur sebuah pertemuan dengan anjing itu bersama pemiliknya. Pertemuan berlanjut dengan sebuah laporan ilmiah yang mengungkap kemampuan bahasa Rico yang misterius: anjing itu dapat mempelajari dan menghafal kata-kata secepat anak kecil. Para ilmuwan lainnya telah menunjukkan bahwa anak-anak berusia dua tahun—yang mampu menghafal sekitar sepuluh kata baru setiap harinya—memiliki prinsip bawaan yang mengarahkan tugas tersebut. Kemampuan tersebut terlihat seperti salah satu pondasi mendasar dalam pembelajaran bahasa. Para ilmuwan Max Planck mencurigai bahwa prinsip yang sama turut mengarahkan kemampuan Rico dalam memperlajari kata dan teknik yang digunakannya dalam mempelajari kata-kata identik dengan teknik yang digunakan manusia.
Untuk mendapatkan lebih banyak contoh, para ilmuwan membaca surat-surat dari ratusan orang yang mengklaim bahwa anjing peliharaan mereka juga memiliki bakat Rico. Kenyataannya, hanya dua anjing—keduanya border collie—yang memiliki kemampuan setara. Salah satunya—para peneliti memanggilnya Betsy—memiliki perbendaharaan kata sebanyak 300 buah.
!break!
”Bahkan saudara terdekat kita, kera besar, tidak bisa melakukan apa yang dapat dilakukan Betsy—mendengar sebuah kata sebanyak satu atau dua kali kemudian mengetahui bahwa pola akustiknya memiliki arti tertentu,” kata Juliane Kaminski, seorang psikolog kognitif yang telah bekerja dengan Rico dan kini tengah mempelajari Betsy. Ia dan rekannya, Sebastian Tempelmann telah mendatangi rumah Betsy di Wina untuk memberinya rangkaian ujian yang baru. Kaminski mengelus Betsy, sementara Tempelmann memasang sebuah kamera video.
“Anjing yang memahami bentuk-bentuk komunikasi manusia merupakan hal baru yang telah berevolusi,” kata Kaminski, ”sesuatu yang berkembang di dalam diri anjing tersebut disebabkan hubungan mereka dengan manusia yang berlangsung lama.” Walaupun Kaminski belum pernah menguji serigala, ia meragukan kemampuan bahasa jenis anjing liar tersebut.
”Mungkin collie-collie ini sangat ahli melakukannya karena merupakan anjing pekerja dan sangat termotivasi, dan dalam tugas penggembalaan tradisionalnya, anjing-anjing itu harus mendengarkan pemiliknya dengan sangat seksama.”
Para ilmuwan memperkirakan bahwa anjing telah didomestikasi kurang lebih 15.000 tahun yang lalu, waktu yang relatif pendek untuk menjalani evolusi keterampilan berbahasa. Namun, seberapa miripkah keterampilan tersebut dibandingkan keterampilan manusia? Untuk pemikiran yang abstrak, kita menggunakan simbol, menjadikan suatu hal menjari arti bagi yang lain. Kaminski dan Tempelmann tengah menguji apakah anjing juga mampu melakukan hal yang sama. Pemilik Betsy—yang memiliki nama samaran Schaefer—memanggil Betsy yang dengan menurut meregangkan tubuhnya di kaki Schaefer, matanya menatap wajah pemiliknya. Kapan pun Schaefer berbicara, Betsy menyimak sambil memiringkan kepalanya dari satu sisi ke sisi lainnya.
!break!
Kaminski memberi Schaefer setumpuk foto berwarna dan memintanya untuk memilih salah satu. Setiap foto menggambarkan sebuah mainan anjing yang dilatari layar putih—mainan yang belum pernah dilihat Betsy. Benda-benda tersebut bukanlah mainan sungguhan; hanya gambar mainan. Dapatkah Betsy menghubungkan sebuah gambar dua dimensi dengan objek tiga dimensi?
Schaefer mengangkat gambar sebuah Frisbee berwarna pelangi yang agak buram dan mendorong Betsy untuk mencarinya. Betsy mempelajari gambar tersebut dan wajah Schaefer, kemudian berlari ke dapur, tempat di mana Frisbee tersebut diletakkan diantara tiga mainan lainnya dan foto dari masing-masing mainan. Betsy membawakan Frisbee maupun foto Frisbee tersebut setiap kali. ”Ia tidak salah jika hanya membawakan fotonya,” kata Kaminski. ”Namun, kurasa Betsy dapat menggunakan sebuah gambar, tanpa nama, untuk menemukan sebuah objek. Meski begitu, masih dibutuhkan banyak tes lainnya untuk membuktikan hal tersebut.”
Namun demikian, Kaminski masih belum yakin bahwa ilmuwan lainnya bakal menerima temuannya karena kemampuan abstrak Betsy, sekecil apapun kelihatannya bagi kita, mungkin terlalu mirip dengan pikiran manusia. Kita tetap merupakan spesies yang inventif. Tak ada binatang yang lain yang sudah membangun pencakar langit, menulis soneta, atau membuat komputer. Namun para peneliti hewan mengatakan bahwa kreativitas, seperti bentuk inteligensia lainnya, tidak muncul begitu saja dari kehampaan. Hal itupun telah berevolusi.
”Manusia terkejut dengan penemuan bahwa simpanse membuat perkakas,” kata Alex Kacelnik, seorang ahli ekologi perilaku dari Oxford University, mengacu pada lidi dan ranting yang dibentuk oleh simpanse untuk menarik rayap dari sarangnya. “Namun, orang yang beranggapan bahwa, ‘Yah, simpanse memiliki leluhur yang sama dengan kita—tentu saja binatang itu pintar.’ Kini kita menemukan perilaku-perilaku luar biasa semacam itu pada beberapa spesies burung. Padahal, leluhur kita yang dekat tidak sama dengan leluhur burung. Sejarah evolusi burung sangat berbeda; pendahulu terakhir kita yang memiliki hubungan dengan burung adalah reptil yang hidup lebih dari 300 juta tahun yang lalu.
!break!
“Ini bukan hal sepele,” lanjut Kacelnik. “Artinya evolusi dapat menciptakan bentuk-bentuk inteligensia
maju yang mirip, lebih dari satu kali—yang tidak hanya terjadi pada primata atau mamalia.”
Kacelnik dan rekan-rekannya tengah mempelajari salah satu spesies cerdas tersebut, burung gagak Kaledonia Baru yang hidup di hutan-hutan pulau Pasifik tersebut. Burung gagak Kaledonia Baru adalah salah satu burung yang paling terampil membuat dan memakai perkakas, membentuk pasak pencari dan pengait yang terbuat dari ranting dan tulang daun untuk ditusukkan ke rerimbunan pohon palem, tempat ulat-ulat gemuk bersembunyi. Karena burung-burung tersebut, seperti halnya simpanse, mampu membuat dan memakai perkakas, para peneliti dapat melihat persamaan dalam proses evolusi yang membentuk otak keduanya. Suatu kondisi yang berlangsung pada lingkungan kedua spesies tersebut mendorong evolusi kemampuan neurologis pembuatan perkakas.
Namun apakah pemakaian perkakas burung gagak itu kaku dan terbatas, atau dapatkah bersikap inventif? Apakah gagak Kaledonia Baru memiliki kemampuan yang disebut oleh para peneliti sebagai fleksibilitas mental? Simpanse tentu saja memilikinya. Di alam liar, seekor simpanse dapat menggunakan empat ranting yang berbeda ukuran untuk mengekstrak madu dari sarang lebah. Dalam penangkaran,
simpanse dapat mengetahui cara menyusun beberapa kotak untuk memperoleh sebuah pisang yang digantung dengan tali.
Upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam konteks gagak Kaledonia Baru—burung yang sangat pemalu—tidaklah mudah. Bahkan setelah bertahun-tahun mengamati burung-burung itu di alam liar, para peneliti masih belum dapat memastikan apakah kemampuan burung-burung tersebut bersifat bawaan atau apakah mereka belajar membuat dan menggunakan perkakas tersebut dengan mengamati sesamanya. Jika ternyata kemampuan tersebut merupakan keterampilan yang diwarisi secara genetik, dapatkah gagak Kaledonia Baru, seperti halnya simpanse, dapat menggunakan bakatnya dengan cara-cara yang berbeda dan kreatif?
!break!
Untuk memeroleh jawabannya, Kacelnik dan murid-muridnya membawa 23 ekor gagak dengan usia yang beragam (seluruhnya, kecuali satu, ditangkap di alam liar) ke kurungan burung di laboratorium Oxfordnya dan membiarkan burung-burung itu kawin. Empat anak burung dibesarkan dalam penangkaran dan semuanya dipisahkan dari burung-burung dewasa, sehingga anak-anak burung itu tidak punya kesempatan untuk diajari tentang perkakas. Namun, tidak lama setelah keempatnya mandiri, semuanya mengambil ranting dan sibuk menusuk-nusuk celah lubang serta membentuk berbagai perkakas dari bahan-bahan yang berbeda. “Sekarang kita mengetahui bahwa setidaknya, dasar-dasar penggunaan alat diwarisi,” kata Kacelnik. “Sekarang pertanyaannya adalah, apa lagi yang bisa burung-burung itu lakukan dengan menggunakan perkakas?” Banyak. Di kantornya, Kacelnik memutar sebuah video tentang ujian yang sudah dia berikan terhadap salah satu gagak yang ditangkap di alam liar, Betty, yang baru-baru ini mati karena infeksi. Dalam film tersebut, Betty terbang memasuki sebuah ruangan. Ia adalah seekor burung yang hitam mengilap, dengan mata gagak yang berbinar penuh rasa ingin tahu, dan Betty langsung mengamati ujian yang tersaji di hadapannya: sebuah tabung kaca dengan keranjang kecil yang terpasang di tengahnya. Keranjang tersebut menyimpan sekerat daging. Para ilmuwan telah meletakkan dua buah kawat di dalam ruangan. Satu telah dibengkokkan menjadi sebuah kait, satunya lagi lurus. Mereka memperkirakan bahwa Betty akan menggunakan kail untuk mengerek pegangan keranjang.
Namun percobaan tidak selamanya berjalan sesuai rencana. Seekor gagak yang lain mencuri kait tersebut sebelum Betty berhasil menemukannya. Betty tidak patah semangat. Gagak betina itu mengamati daging di dalam keranjang, kemudian melihat kawat yang lurus. Betty mengambilnya dengan paruh, menyelipkan salah satu ujungnya ke dalam celah lantai, dan menggunakan paruhnya untuk membengkokkan ujung lainnya menjadi sebuah kait. Dengan persenjataan tersebut, Betty mengangkat keranjang keluar dari tabung.
“Ini pertama kalinya Betty melihat potongan kawat seperti ini,” kata Kacelnik. “Namun ia tahu ia dapat menggunakannya sebagai kait dan tahu persis di mana ia harus membengkokkannya sesuai dengan kebutuhannya.”
Mereka melakukan berbagai tes yang lain terhadap Betty, masing-masing membutuhkan solusi yang sedikit berbeda, seperti membuat kait dari sebuah lempengan aluminum, bukan sepotong kawat. Setiap kali, Betty menciptakan sebuah perkakas baru dan mengatasi masalah. “Artinya ia memiliki representasi mental mengenai apa yang ingin ia ciptakan. Nah, hal itu,” kata Kacelnik, “merupakan satu jenis kecanggihan kognitif yang utama.”
Inilah pelajaran yang lebih luas dari penelitian kognisi binatang: Ini membuat kita rendah hati. Kita tidaklah sendiri sehubungan dengan kemampuan kita sendiri dalam mencipta atau berencana atau berkontemplasi—atau bahkan untuk bersekongkol dan berbohong. Tindakan menipu membutuhkan bentuk pemikiran yang rumit, karena seseorang harus mampu mengantisipasi maksud orang lain dan memperkirakan perilaku seseorang. Salah satu aliran pemikiran berpendapat bahwa inteligensia manusia berevolusi, sebagian, karena tekanan hidup dalam masyarakat kompleks yang terdiri atas makhluk-makhluk penuh perhitungan. Simpanse, orangutan, gorila, dan bonobo juga memiliki kapasitas ini. Di alam liar, para ahli primata pernah menyaksikan kera-kera menyembunyikan makanan dari pejantan utama atau melakukan hubungan intim tanpa sepengetahuannya.
!break!
Burungpun juga dapat bersikap curang. Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa western scrub jay dapat mengetahui maksud burung lainnya dan bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut. Seekor jay yang telah mencuri makanan, contohnya, tahu bahwa jika seekor jay yang lain menyaksikan dirinya menyembunyikan sebuah kacang, ada kemungkinan kacang tersebut akan dicuri. Maka, jay yang pertama itu akan kembali memindahkan kacang tersebut ketika jay lainnya telah pergi.
“Sejauh ini, ini termasuk bukti terbaik mengenai proyeksi pengalaman terhadap spesies lainnya,” kata Nicky Clayten di laboratorium burungnya di Cambridge University. “Saya akan menjelaskannya seperti ini, ‘Aku tahu bahwa kamu mengetahui di mana kusembunyikan simpanan makananku, dan jika aku berada dalam posisimu pasti akan kucuri, maka aku akan memindahkan simpananku ke tempat yang tidak engkau ketahui.’”
Studi yang dilakukan oleh Clayton dan rekannya Nathan Emery tersebut adalah yang pertama kalinya menunjukkan jenis tekanan lingkungan, seperti kebutuhan untuk menyembunyikan makanan untuk keperluan musim dingin yang pada akhirnya berujung pada evolusi kemampuan mental seperti itu. Yang paling menarik, penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian burung memiliki apa yang kerap dipikir sebagai keterampilan manusia semata: kemampuan untuk mengingat kembali suatu kejadian spesifik yang telah lalu. Scrub jay, sebagai contoh, tampaknya mampu mengingat seberapa lama mereka telah menangkap jenis makanan tertentu, dan mereka dapat memperolehnya kembali sebelum membusuk. Ahli psikologi kognisi manusia menyebut memori jenis ini sebagai “memori episodik” dan berpendapat bahwa kemampuan tersebut dapat dimiliki hanya oleh spesies yang secara mental dapat mengingat kembali masa lalu. Terlepas dari studi Clayton, beberapa ilmuwan menolak untuk menerima bahwa kemampuan tersebut dimiliki burung jay.
“Binatang terpaku pada waktu,” jelas Sara Shettleworth, seorang psikolog komparatif di the University of Toronto, Kanada. Artinya, binatang tidak dapat membedakan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan seperti yang dilakukan oleh manusia. Karena binatang tidak berbahasa, ujar Shettleworth, kemungkinan makhluk tersebut juga tidak memiliki “lapisan ekstra imajinasi dan penjelasan” yang menyediakan narasi mental berkesinambungan yang menyertai perilaku kita.
Skeptisme seperti itu menjadi sebuah tantangan bagi Clayton. “Kami memiliki bukti yang kuat bahwa jay mengingat apa, di mana, dan kapan mengenai kejadian-kejadian penangkapan yang spesifik, yang merupakan definisi orisinil mengenai memori episodik. Namun kini definisi tersebut telah berubah. ”Hal itu menjadi keluhan yang biasa di kalangan peneliti binatang. Setiap kali mereka menemukan keterampilan mental pada satu spesies yang mengingatkan pada kemampuan istimewa manusia, para ilmuwan kognisi manusia mengubah definisi tersebut. Namun para peneliti hewan tampaknya meremehkan kekuatan mereka sendiri—penemuan merekalah yang mendorong pihak manusia untuk mempertajam pembedaan tersebut.
!break!
”Terkadang para psikolog kognitif manusia dapat menjadi begitu terpaku pada definisi mereka sehingga melupakan betapa luar biasanya penemuan-penemuan pada binatang ini,” kata Clive Wynne dari the University of Florida yang telah mempelajari kognisi pada burung dara dan mamalia berkantung. ”Kita menyaksikan cuplikan-cuplikan inteligensia di berbagai lapisan dunia binatang yang memang seharusnya diharapkan. Ini merupakan sebuah semak belukar, bukan pohon tunggal yang garisnya hanya mengarah kepada kita.”
Beberapa cabang di semak tersebut telah berkembang menjadi beberapa tingkat intelegensia seperti itu sehingga seharusnya kita malu bahwa pernah terlintas di pikiran kita bahwa binatang tak lebih seperti mesin. Pada akhir tahun 1960-an, seorang psikolog kognitif bernama Louis Herman mulai menyelidiki kemampuan kognitif lumba-lumba hidung botol. Seperti manusia, lumba-lumba memiliki interaksi sosial yang tinggi dan sangat kosmopolitan, hidup di lingkungan subkutub hingga tropis di seluruh dunia; mereka sangat vokal; dan mereka memiliki keterampilan sensoris yang istimewa, seperti ekolokasi. Pada 1980-an, studi kognitif Herman berfokus pada kelompok yang terdiri atas empat ekor lumba-lumba muda—Akeakamai, Phoenix, Elele, dan Hiapo—di Kewalo Basin Marine Mammal Laboratory di Hawaii. Keempatnya penuh dengan rasa ingin tahu dan ceria, serta menularkan perilaku sosialnya kepada Herman dan murid-muridnya. ”Ketika bekerja dengan lumba-lumba tersebut, kami menggunakan sebuah filosofi panduan,” kata Herman, ”bahwa kami dapat memunculkan intelektualitas keempatnya secara penuh, seperti pendidik yang berupaya memunculkan potensi seorang anak manusia secara total. Lumba-lumba memiliki otak yang besar dan sangat kompleks. Pikirku, ’OK, jadi kalian memiliki otak yang bagus ini. Mari kita lihat apa yang bisa kalian lakukan dengannya.’”
Untuk berkomunikasi dengan keempat lumba-lumba, Herman dan timnya menciptakan sebuah bahasa isyarat menggunakan tangan dan lengan, lengkap dengan tata bahasa yang sederhana. Contohnya, gerakan memompa menggunakan tangan yang mengepal menandakan ”simpai,” dan kedua lengan yang direntangkan lurus dari sisi tubuh ke atas kepala (seperti gerakan senam kesegaran jasmani) berarti ”bola.” Bahasa tubuh ”kemarilah” menggunakan satu lengan adalah untuk menyuruh ”ambil.” Menanggapi permintaan ”simpai, bola, ambil,” Akeakamai akan mendorong bola ke dalam simpai. Namun jika urutan perintahnya diubah menjadi ”bola, simpai, ambil,” lumba-lumba betina itu akan membawa simpai ke bola. Dalam beberapa waktu, Akeakamai dapat menerjemahkan beberapa permintaan lainnya yang lebih rumit secara tata bahasa, seperti ”kanan, keranjang, kiri, Frisbee, masuk,” yang memintanya untuk meletakkan Frisbee yang terdapat di sisi kirinya ke dalam keranjang di sebelah kanannya.
Membalik isyarat ”kiri” dan ”kanan” dalam instruksi tersebut akan turut membalikkan aksi Akeakamai. Akeakamai dapat menyelesaikan permintaan-permintaan seperti itu pada kesempatan pertama permintaan itu dibuat, menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap tata bahasa dari bahasa isyarat tersebut.
!break!
”Mereka adalah spesies yang sangat vokal,” kata Herman menambahkan. ”Studi kami memperlihatkan bahwa mereka dapat meniru bunyi yang disampaikan semaunya yang kami pancarkan ke dalam tangki mereka, sebuah kemampuan yang mungkin dapat dihubungkan dengan kebutuhan mereka sendiri untuk berkomunikasi. Saya tidak mengatakan bahwa mereka memiliki bahasa lumba-lumba. Namun, mereka mampu memahami instruksi anyar yang kami sampaikan menggunakan bahasa yang kami ajarkan; otak mereka memiliki kemampuan tersebut.
”Banyak hal yang dapat mereka lakukan yang selama ini selalu diragukan manusia mengenai binatang. Contohnya, mereka menafsirkan secara benar, pada kesempatan pertama, instruksi bahasa tubuh yang diberikan oleh seseorang melalui layar televisi yang diletakkan di balik jendela bawah air. Mereka mampu mengenali bahwa citra televisi merupakan representasi dari dunia nyata yang dapat dilakukan dengan cara yang sama di dunia yang sesungguhnya pula.”
Mereka juga dengan sigap meniru perilaku motorik para instruktur. Jika seorang pelatih menekuk badannya ke belakang dan mengangkat satu kaki, sang lumba-lumba akan memutar telentang dan mengangkat ekornya ke udara. Walaupun sikap meniru pernah dianggap sebagai keterampilan yang sederhana, dalam beberapa tahun terakhir para ilmuwan kognitif telah mengungkapkan bahwa hal tersebut sangatlah sulit, mengharuskan si peniru untuk membentuk sebuah citra mental tentang tubuh dan pose orang lain, kemudian menyesuaikan anggota tubuhnya sendiri agar membentuk posisi yang sama—kegiatan yang menyiratkan kesadaran terhadap keberadaan diri. ”Ini Elele,” kata Herman, memutar sebuah film yang menampilkan lumba-lumba betina sedang mengikuti petunjuk seorang pelatih. ”Papan seluncur, sirip punggung, pegang.” Dengan serta-merta Elele berenang menuju papan dan, rebahan miring, dengan perlahan meletakkan sirip punggungnya di atas papan, sebuah perilaku yang belum pernah dilatih sebelumnya. Sang pelatih merentangkan tangannya lurus ke atas, mengisyaratkan ”Hore!” dan Elele melompat ke udara, bersuara dan ber-klik bahagia.
”Elele senang jika benar,” kata Herman.
”Dan ia senang menciptakan sesuatu. Kami membuat isyarat untuk ’ciptakan,’ yang meminta lumba lumba menciptakan perilakunya sendiri.”
Lumba-lumba seringkali menyelaraskan gerakan mereka di alam liar, seperti meloncat dan menyelam bersebelahan, tetapi para ilmuwan tidak mengetahui isyarat apa yang dipakai mamalia laut itu untuk bertahan agar tetap terkoordinasi dengan erat. Herman berpikir mungkin ia dapat menguraikan teknik tersebut dengan murid-muridnya. Dalam film tersebut, Akeakamai dan Phoenix diminta untuk menciptakan sebuah trik dan melakukannya bersama. Kedua lumba-lumba tersebut lalu berenang menjauhi pinggiran kolam, berputar-putar bersama di dalam air selama kurang lebih sepuluh detik, kemudian meloncat keluar, berpusing laksana gasing searah jarum jam sambil menyemburkan air dari mulut, setiap manuver dilakukan pada waktu yang bersamaan.
!break!
”Ini tidak dilatih sebelumnya,” kata Herman, ”dan bagi kami ini terlihat sangat misterius. Kami tidak mengetahui bagaimana mereka melakukannya—atau telah melakukannya.”
Ia tidak akan pernah mengetahuinya. Akeakamai, Phoenix dan dua lumba-lumba lainnya secara kebetulan mati empat tahun yang lalu. Melalui lumba-lumba tersebut, ia berhasil mendapatkan terobosan-terobosan yang teramat luar biasa dalam upaya memahami pikiran spesies lainnya—sebuah spesies yang bahkan oleh Herman digambarkan sebagai ”makhluk asing,” karena kehidupan akuatiknya dan fakta bahwa lumba-lumba dan primata telah berpisah jalur pada jutaan tahun yang lalu.
”Konvergensi kognitif jenis itu mengindikasikan bahwa kemungkinan terdapat tekanan serupa yang menyeleksi inetelektualitas,” kata Herman. ”Kita tidak berbagi biologi maupun ekologinya. Artinya hanya tersisa kemiripan sosial—kebutuhan untuk menetapkan hubungan dan aliansi berbarengan dengan periode perawatan induk yang lama dan umur yang panjang—sebagai faktor pendorong yang umum.”
”Saya mencintai lumba-lumba kami,” kata Herman, ”seperti keyakinan saya bahwa Anda mencintai binatang peliharaan Anda. Namun ini lebih dari itu, melebihi rasa cintamu terhadap binatang peliharaan. Lumba-lumba tersebut merupakan kolega kami. Hanya kata itulah yang cocok untuk menjelaskannya. Mereka merupakan rekan kami dalam penelitian ini, memandu kami menemukan semua kemampuan yang ada dalam alam pikiran mereka. Ketika mereka mati, rasanya seperti kehilangan anak-anak kami.”
Herman mengeluarkan sebuah foto dari arsipnya. Pada foto tersebut, ia berada di dalam kolam bersama Phoenix, lumba-lumba tersebut menyandarkan kepalanya di bahunya. Ia tengah tersenyum dan tangannya meraih ke belakang untuk memeluk Phoenix. Lumba-lumba betina itu licin dan keperakan dengan mata besar yang menarik dan tampaknya juga tengah tersenyum, seperti yang selalu dilakukan lumba-lumba pada umumnya. Ini adlah foto tentang cinta di antara dua makhluk. Di kolam tersebut, setidaknya pada saat itu, dengan jelas terlihat sebuah pertemuan antara kedua pikiran.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR