Di Burkina, Mathieu Ouédraogo mengikuti dari awal. Dia mengumpulkan petani di daerahnya, dan pada 1981 mereka bersama-sama telah mencoba banyak teknik untuk memulihkan tanah, beberapa di antaranya adalah tradisi yang pernah didengar Ouédraogo di sekolah. Salah satunya adalah cordons pierreux: barisan panjang batu, masing-masing sebesar kepalan tangan. Tertahan oleh barisan ini, air hujan yang turun di atas tanah Sahel yang mengeras berhenti cukup lama hingga meresap. Lanau yang tertahan mengendap, bersama dengan benih yang tumbuh dalam lingkungan yang sedikit lebih baik. Barisan batu kemudian menjelma menjadi barisan tanaman yang semakin memperlambat air. Semakin banyak benih yang tumbuh di sisi hulu. Rumput berganti belukar dan pepohonan, yang memperkaya tanah dengan daunnya yang gugur. Dalam beberapa tahun, sebaris batu yang sederhana dapat memulihkan seluruh lahan.
Sekali waktu, Ouédraogo bekerja sama dengan seorang petani bernama Yacouba Sawadogo. Sebagai seorang yang inovatif dan bermental mandiri, dia ingin bertahan di ladangnya dengan tiga istri dan 31 anaknya. “Dari mbahnya mbah mbah saya, kami selalu di sini,” ujarnya. Sawadogo juga membuat cordons pierreux di ladangnya. Namun selama musim kemarau dia juga membuat ribuan lubang sedalam 20 sentimeter di ladangnya—zaï, demikian namanya, suatu teknik yang didengarnya dari orang tuanya. Sawadogo mengisi setiap lubang dengan kotoran hewan, yang menarik rayap. Rayap mencerna bahan organik, membuat zat haranya lebih siap diserap tanaman. Sama pentingnya, serangga tersebut menggali terowongan dalam tanah. Ketika hujan turun, air meresap ke dalam tanah melalui lubang rayap. Pada setiap lubang Sawadogo menanam pohon. “Tanpa pohon, tak ada tanah,” ujarnya. Pepohonan tumbuh subur di zaï yang bertanah lebih gembur dan basah. Batu demi batu, lubang demi lubang, akhirnya Sawadogo mengubah 20 ekar lahan kritis menjadi hutan pribadi terluas dalam kawasan ratusan kilometer.
Berkat zaï, ujar Sawadogo, dia hampir menjadi “satu-satunya petani dari sini sampai Mali yang memiliki jawawut.” Tak heran tetangganya memperhatikan. Sawadogo membentuk perkumpulan zaï, yang mempromosikan teknik ini pada pameran tahunan di kompleks keluarganya. Ratusan petani datang untuk melihat dia menggali zaï dengan paculnya. Teknik baru yang mudah dan murah ini tersebar luas. Semakin banyak orang yang mengerjakan tanah, semakin subur jadinya. Curah hujan yang lebih tinggi turut andil dalam pertumbuhan kembali (walaupun tidak sebanyak curah hujan tahun 1950-an). Namun sebab utamanya adalah jutaan pria wanita yang bekerja keras mengolah tanah.
Tahun lalu Reij melakukan perjalanan 1.600 kilometer melintasi Mali lalu masuk ke barat daya Burkina bersama Edwige Botoni, seorang peneliti di Komite Tetap Antarnegara untuk Pengendalian Kekeringan di Sahel, sebuah pusat kebijakan regional yang berpusat di Burkina. Mereka melihat “jutaan hektare” lahan yang dipulihkan, ujar Botoni, “lebih dari yang kukira mungkin.” Niger yang bertetangga mencapai keberhasilan yang lebih besar, ujar Mahamane Larwanou, seorang ahli kehutanan di Universitas Abdou Moumouni Dioffo di Niamey. Nyaris tanpa dukungan atau arahan dari pemerintah atau lembaga bantuan, petani setempat menggunakan beliung dan sekop untuk menghidupkan kembali lima juta hektare tanah.
!break!
Di samping ekologi, ilmu ekonomi merupakan kunci keberhasilan Niger, ujar Larwanou. Pada 1990-an pemerintah Niger, yang membagi tanah menurut cara totaliter ortodoks, mulai membiarkan petani memiliki kontrol lebih atas ladangnya. Orang mulai percaya bahwa mereka dapat berinvestasi di tanahnya, hampir tanpa risiko bahwa tanah itu akan diambil kembali secara sewenang-wenang. Digabungkan dengan teknik seperti zaï dan cordons pierreux, reformasi tanah telah membantu penduduk desa lebih tahan terhadap perubahan iklim. Sekalipun terjadi kemarau panjang , kata Larwanou, penduduk Niger “tak akan merasakan dampak seperti yang mereka alami pada 1973 atau 1984.”
Burkina Faso belum sepulih Niger. Kisah Sawadogo menawarkan salah satu alasannya. Sementara penduduk desa di Niger memiliki kontrol atas tanahnya, petani kecil di Burkina masih menyewanya, sering secara gratis, dari tuan tanah yang dapat menghentikan sewa setelah habis waktunya. Untuk menyediakan penghasilan bagi kota-kota di Burkina, pemerintah pusat membiarkan mereka mencaplok tanah di sekelilingnya dan kemudian menjualnya—tanpa memberi kompensasi yang pantas pada orang yang telah tinggal di sana. Desa Sawadogo terletak sekitar lima kilometer dari Ouahigouya, kota berpenduduk 64.000 jiwa. Salah satu tanah terbaik di antara lahan yang baru dianeksasi Ouahigouya adalah hutan Sawadogo, gudang kayu. Surveyor datang ke tanah itu, membagi-baginya menjadi petak 400 meter persegi yang ditandai dengan tonggak berat. Sebagai pemilik asli, Sawadogo akan kebagian satu petak, anak-anaknya yang telah dewasa masing-masing menerima petak tanah. Sisanya akan dijual, mungkin tahun depan. Dia menatap tak berdaya saat pegawai kota memancang tonggak di lantai kamar tidurnya. Batas petak yang lain melintasi makam ayahnya. Kini Yacouba Sawadogo tengah berusaha mengumpulkan cukup uang untuk membeli hutan yang telah diupayakannya seumur hidup itu. Karena dia telah membuat tanah itu bernilai, harganya menjadi luar biasa mahal: sekitar 180 juta rupiah. Sementara ini, dia tetap mengurus pohon-pohonnya. “Aku masih cukup berani untuk berharap,” ujarnya.
Wim Sombroek belajar tentang tanah sejak kanak-kanak, selama hongerwinter—kelaparan di Belanda pada masa perang 1944-45, di mana 20.000 orang atau lebih meninggal. Keluarganya selamat berkat hasil panen dari lahan sempit yang bertanah plaggen: tanah yang diperkaya oleh sekian generasi pemupukan yang saksama. Dia pernah memberi tahu saya, andai nenek moyangnya tidak mengurus tanah mereka, mungkin seluruh keluarga akan mati.
Pada 1950-an, di awal kariernya sebagai ilmuwan tanah, Sombroek mengunjungi Amazon. Secara mengejutkan, dia menemukan kawasan-kawasan tanah yang subur dan kaya unsur hara. Setiap mahasiswa Ekologi 101 tahu bahwa tanah hutan hujan Amazon rapuh dan miskin. Jika petani menebang kanopi hutan untuk membuka lahan pertanian, mereka membuat tanah terpapar terik matahari dan hujan, yang dengan cepat menghanyutkan kandungan mineral dan unsur haranya yang sedikit lalu memanggang sisanya hingga menjadi sesuatu yang mirip bata—“gurun basah” demikian tanah yang rusak ini terkadang disebut. Menurut pendapat ahli lingkungan hidup, keniscayaan kerusakan tanah ini membuat pertanian skala besar tidak dapat dilakukan di daerah tropis. Namun, tersebar di sepanjang Sungai Amazon, Sombroek menemukan bidang-bidang luas terra preta do índio (tanah hitam Indian). Lahan yang sesubur dan sehitam plaggen masa kecilnya itu menjadi dasar bagi pertanian di tanah yang seharusnya tak bisa ditanami. Tak pelak lagi, Sombroek memperhatikan hal ini. Bukunya yang diterbitkan pada 1966, Tanah Amazon, menyertakan kajian berkelanjutan pertama tentang terra preta.
!break!
Setelah itu Sombroek bekerja keliling dunia, dan akhirnya menjadi direktur ISRIC dan sekretaris jenderal International Society of Soil Science (sekarang International Union of Soil Sciences), jabatan yang dimanfaatkannya untuk melakukan survei dunia pertama tentang kerusakan tanah yang diakibatkan manusia. Sementara itu dia tidak pernah lupa dengan tanah hitam aneh di Brasil. Sebagian besar program restorasi, seperti di Tiongkok dan Sahel, mencoba memulihkan lahan yang rusak ke kondisi semula. Namun di sebagian besar negara tropis, kondisi alaminya marginal—salah satu alasan kenapa banyak negara tropis yang miskin. Sombroek akhirnya percaya bahwa terra preta mungkin mengajari para ilmuwan cara membuat tanah lebih subur dari sebelumnya, dan dengan ini membantu negara-negara termiskin di dunia untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
Sombroek tidak sempat melihat mimpinya terwujud—dia meninggal pada 2003. Namun dia membantu membentuk kerja sama riset multinasional untuk meneliti sumber dan fungsi terra preta. Salah satu anggotanya adalah Eduardo Góes Neves, arkeolog Universitas São Paulo yang saya kunjungi belum lama ini di sebush perkebunan pepaya sekitar 1.500 kilometer di hulu Amazon, menyeberangi sungai dari kota Manaus. Di bawah pepohonan terlihat jejak penelitian arkeologi: petak lubang yang sangat presisi, beberapa di antaranya lebih dari dua meter dalamnya. Di dalam lubang itu terra preta, yang lebih hitam daripada kopi terhitam, ditemukan dari permukaan hingga hampir sedalam dua meter. Dari atas hingga ke bawah, tanah itu terisi oleh pecahan gerabah pra-Columbus. Seakan-akan pemukim pertama di sungai itu mengadakan pesta sekolah urakan besar-besaran, menghancurkan semua piring yang ada, lalu menyembunyikan buktinya.
Terra preta hanya ditemukan di kawasan yang dihuni manusia, yang berarti bahwa itu tanah artifisial, buatan manusia, dari masa sebelum kedatangan orang Eropa. Neves dan rekan-rekannya mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat Amazon melakukannya, dan mengapa. Tanah itu kaya mineral-mineral penting seperti fosfor, kalsium, seng, dan mangan, yang langka di sebagian besar tanah tropis. Namun kandungan yang paling mengejutkan adalah arang—dalam jumlah besar, sumber warna terra preta. Neves tak yakin apakah kaum Indian mencampurkan arang ke tanah secara sengaja, atau apakah mereka melakukan itu tanpa sengaja saat membuang sampah rumah tangga, atau bahkan apakah terra preta yang diciptakan oleh arang itu awalnya digunakan untuk pertanian. Namun akhirnya, itu menjadi sumber daya yang mampu menghidupi seluruh pemukiman; bahkan seribu tahun lalu dua suku Indian mungkin saja berperang memperebutkan terra preta ini, tambah Neves.
Tak seperti tanah tropis biasa, terra preta tetap subur setelah berabad-abad terkena terik matahari dan hujan, catat Wenceslau Teixeira, seorang ilmuwan tanah di Embrapa, sebuah jaringan riset pertanian dan badan penyuluhan di Brasil. Ketahanannya yang luar biasa, ujarnya, telah diperagakan di fasilitas Embrapa di Manaus, tempat para ilmuwan menguji varietas tanaman pangan baru di petak replika terra preta. “Selama empat puluh tahun, di sana mereka mencoba padi, jagung, singkong, kacang, apa pun, “ ujar Teixeira. “Semua hal yang seharusnya tidak dilakukan di daerah tropis—tanaman tahunan, sepenuhnya diterpa hujan dan matahari. Seakan-akan kami berusaha menghancurkannya, dan kami gagal!” Teixeira sekarang menguji terra preta untuk pisang dan tanaman tropis lainnya.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR