Pada suatu hari yang hangat di Bulan September, petani dari berbagai penjuru negara bagian berkumpul di sekitar mesin-mesin raksasa. Mesin panen jenis gabungan (pemotong dan perontok), mesin bandela, mesin ripper, mesin penyiang, mesin garu piring, dan traktor dari berbagai jenis—semuanya ada di pameran tahunan Wisconsin Farm Technology Days. Namun, bintang kali ini adalah mesin-mesin panen raksasa, yang menjulang di tengah keramaian. Namanya mirip mobil sport—Claas Jaguar 970, Krone BiG X 1000—dengan cat secerah kembang api. Satu mesin ini beratnya 15 ton dan rodanya lebih tinggi daripada orang dewasa. Ketika saya mengunjungi Wisconsin Farm Technology Days tahun lalu, perusahaan John Deere mengizinkan pengunjung mencoba traktor 8530-nya, sebuah keajaiban elektromekanika yang demikian canggih sehingga saya tidak tahu cara mengoperasikannya. Tapi itu bukan masalah: Traktor itu dapat berjalan sendiri, dengan navigasi satelit. Aku tinggal duduk santai di tempat yang tinggi dan ber-AC, sementara di bawah kakiku roda besar menggelinding di atas tanah.
!break!
Para petani menyeringai saat menyaksikan mesin itu menderu di ladang jagung. Namun, pada jangka panjang, mereka mungkin menghancurkan mata pencariannya. Bunga tanah di daerah Midwest Amerika, salah satu lahan pertanian terbaik di dunia, terdiri atas gumpalan heterogen yang di sela-selanya dipenuhi kantong-kantong udara. Mesin yang besar dan berat seperti mesin panen ini memadatkan tanah basah menjadi lempeng seragam yang nyaris tak bisa ditembus—sebuah proses yang disebut pemadatan. Akar tak bisa menembus tanah padat; air tak bisa meresap ke dalam bumi, sehingga mengalir, mengakibatkan pengikisan. Dan karena pemadatan dapat terjadi jauh di dalam tanah, perlu waktu berpuluh-puluh tahun agar dapat pulih seperti sediakala. Karena menyadari hal ini, perusahaan pembuat mesin pertanian menggunakan ban-ban raksasa di mesin mereka untuk menyebarkan impak. Dan petani menggunakan navigasi satelit untuk membatasi pergerakan kendaraan itu pada jalur tertentu, agar tanah yang lain tak terganggu. Namun, pemadatan jenis ini tetap merupakan masalah serius—setidaknya di negara-negara yang petaninya mampu membeli mesin panen seharga 3,6 miliar rupiah.
Malangnya, pemadatan hanyalah satu keping yang relatif kecil dalam mosaik masalah yang saling terkait yang memengaruhi tanah di seluruh penjuru bumi. Di negara-negara berkembang, tanah yang jauh lebih subur hilang akibat pengikisan dan penggurunan akibat perbuatan manusia, dan secara langsung memengaruhi kehidupan 250 juta jiwa manusia. Dalam kajian pertama—dan tetap yang paling lengkap—tentang penyalahgunaan tanah global, para ilmuwan di International Soil Reference and Information Centre (ISRIC) di Belanda memperkirakan pada 1991 bahwa umat manusia telah mendegradasi hampir 20 juta kilometer persegi tanah kita. Dengan kata lain, spesies kita dengan cepat merusak kawasan seluas gabungan Amerika Serikat dan Kanada.
Defisit pangan yang terjadi tahun ini, yang sebagian disebabkan oleh menurunnya kualitas dan kuantitas tanah dunia (lihat “Miskin Papa", halaman 108), telah menyebabkan kerusuhan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pada 2030, ketika bayi-bayi saat ini sudah memiliki bayi, akan ada 8,3 miliar manusia yang menapaki muka bumi; untuk mencukupi pangannya, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB memperkirakan bahwa petani harus menanam biji-bijian hampir 30 persen lebih banyak daripada sekarang. Para pengamat keserampangan manusia akan melihat bahwa sementara manusia meningkatkan permintaannya terhadap tanah, kita malah merusaknya lebih cepat daripada sebelumnya. “Dalam jangka panjang, kita akan kehabisan tanah,” ujar David R. Montgomery, seorang geolog di University of Washington di Seattle.
Sayangnya, degradasi tanah adalah topik yang membosankan bagi banyak orang. Padahal, konsekuensinya—dan juga kesempatan—justru sangat besar, ujar Rattan Lal, ilmuwan tanah terkemuka di Ohio State University. Peneliti dan petani biasa di seluruh dunia menemukan bahwa tanah yang rusak pun bisa dipulihkan. Hasilnya, ujar Tal, adalah kesempatan bukan hanya untuk memberantas kelaparan namun juga memerangi masalah seperti kesulitan air dan bahkan pemanasan global. Bahkan, beberapa peneliti meyakini bahwa pemanasan global dapat dihambat secara signifikan dengan menggunakan cadangan karbon secara besar-besaran untuk merekayasa ulang lahan kritis dunia. “Stabilitas politik, kualitas lingkungan, kelaparan, dan kemiskinan memiliki akar yang sama,” ujar Lal. “Dalam jangka panjang, solusi untuk setiap masalah itu adalah memulihkan sumber daya yang paling dasar, tanah.”
!break!
Saat aku bertemu dengan Zhang Liubao di desanya di Tiongkok tengah musim gugur lalu, dia tengah menepuki ladang teras siringnya yang terkikis dengan sekop, agar dapat ditanami kembali—sesuatu yang dilakukannya setiap habis hujan selama lebih dari 40 tahun. Pada 1960-an, Zhang dikirimkan ke desa Dazhai, 320 kilometer di timur, untuk mempelajari Jalan Dazhai—suatu sistem pertanian yang dipercaya para pemimpin Tiongkok dapat mengubah bangsa. Di Dazhai, Zhang berkata dengan bangga kepadaku, “Tiongkok mengetahui segala hal tentang cara mengolah tanah." Hal yang benar, namun sayangnya tidak seperti yang dimaksud Zhang.
Dazhai merupakan anomali geologi yang disebut Dataran Tinggi Huangtu. Selamat berzaman-zaman, angin bertiup melintasi gurun pasir di sebelah barat, membawa pasir dan kerikil ke Tiongkok tengah. Ribuan tahun endapan debu menutupi kawasan itu dengan tumpukan lanau yang sangat banyak—loes (Huangtu), demikian para geolog menyebutnya—di beberapa tempat bahkan hingga ratusan meter tebalnya. Dataran Tinggi Huangtu kira-kira seluas gabungan Sumatra dan Jawa. Selama beberapa abad timbunan lanau hanyut ke Sungai Kuning—sebuah proses alami yang semakin parah, berkat Jalan Dazhai, hingga menjadi masalah pengikisan tanah yang dianggap terparah di dunia.
Setelah banjir melanda Dazhai pada 1963, sekretaris Partai Komunis setempat menolak bantuan pemerintah, alih-alih berjanji membuat desa baru yang lebih produktif. Panen melonjak, dan Beijing mengirimkan pengamat untuk mempelajari cara meniru metode Dazhai. Yang mereka lihat adalah para petani bersekop membuat teras pada seluruh lereng bukit-bukit loes, mencurahkan waktu istirahatnya untuk membaca buku merah kecil Mao Zedong yang berisi peribahasa revolusi. Terkesan oleh semangat mereka, Mao mengirimkan ribuan perwakilan desa ke pemukiman itu dengan bus, termasuk Zhang. Suasananya seperti pemujaan; suatu rombongan bahkan berjalan selama dua minggu hanya untuk melihat belulang di tangan pekerja Dazhai. Zhang terutama mempelajari bahwa Tiongkok memerlukan dirinya untuk menghasilkan padi-padian dari semua bidang tanah. Slogan, yang selalu mewarnai Tiongkok Maois, menjelaskan caranya: Ratakan Bukit, Uruk Jurang, Buat Dataran! Babat Hutan, Buka Belantara! Bertani, Belajarlah Dari Dazhai!
Zhang Liubao kembali dari Dazhai ke kampung halamannya di Zuitou dengan dipenuhi inspirasi. Zuitou demikian miskin, ujarnya kepada saya, sehingga orang hanya bisa makan enak cukup satu dua kali dalam setahun. Mengikuti petunjuk Zhang, para petani menyebar, memotongi pohon-pohon kerdil di lereng bukit, memahat lereng menjadi teras-teras tanah, lalu menanam jawawut pada setiap permukaan datar baru yang diciptakan. Walaupun selalu kelaparan, mereka bekerja sepanjang hari, lalu kemudian menyalakan lampu dan terus bekerja pada malam hari. Akhirnya, ujar Zhang, mereka memperluas lahan pertanian Zuitou "sekitar seperlimanya"—hal besar bagi kawasan miskin.
!break!
Sayangnya, dampak sebenarnya justru membuat lingkaran setan, demikian menurut Vaclav Smil, ahli geografi di University of Manitoba yang telah lama mempelajari lingkungan hidup Tiongkok. Pematang teras Zuitou, yang hanya terbuat dari lanau yang dipadatkan, terus-menerus runtuh, oleh karena itu Zhang perlu selalu menopang teras yang runtuh. Bahkan jika teras tidak tergerus sekalipun, air hujan menghanyutkan zat hara dan organik di dalam tanah. Setelah kenaikan awal, panen mulai menurun. Untuk mempertahankan hasil, petani membuka lahan dan membuat teras baru, yang kemudian terkikis juga.
Konsekuensinya berat. Hasil panen yang menurun pada tanah yang semakin gersang memaksa banyak petani pindah. Salah satunya karena sebab ini, Zuitou kemudian kehilangan setengah penduduknya. “Itu merupakan salah satu penyia-nyiaan tenaga kerja terbesar dalam sejarah,” ujar Smil. “Puluhan juta manusia siang malam mengerjakan proyek yang tampak bodohnya bagi anak kecil sekalipun. Menebang pohon dan menanam padi-padian di lereng yang curam—ide baik dari mana?”
Menanggapi hal tersebut, Republik Rakyat Tiongkok memulai rencana untuk menghentikan pembabatan hutan. Pada 1981 Beijing memerintahkan semua warga negara yang mampu dan berusia lebih dari 11 tahun untuk “menanam tiga hingga lima pohon per tahun” di mana pun yang mungkin. Beijing juga meluncurkan program ekologi yang mungkin terbesar di dunia hingga saat ini, proyek Tiga Utara: pepohonan sepanjang 4.500 kilometer yang berjajar seperti saringan panjang di sepanjang utara, timur laut, dan barat laut Tiongkok, termasuk perbatasan Dataran Tinggi Huangtu. Dijadwalkan selesai pada 2050, Tembok Hijau Tiongkok ini, secara teoretis, akan memperlambat angin yang menyebabkan penggurunan dan badai pasir.
Walaupun cakupannya luas, upaya ini tidak secara langsung menanggulangi degradasi tanah yang merupakan warisan Dazhai. Menentangnya terang-terangan itu sulit secara politis: Itu harus dilakukan tanpa mengakui kesalahan Mao. (Ketika saya menanyai pegawai dan ilmuwan setempat apakah “Sang Ketua” melakukan kesalahan, mereka mengalihkan topik pembicaraan.) Baru selama dasawarsa terakhir ini, Beijing mencanangkan arah baru: mengganti Jalan Dazhai dengan yang mungkin akan disebut sebagai Jalan Gaoxigou.
!break!
Gaoxigou (Ngarai Gaoxi) terletak di barat Dazhai, di seberang Sungai Kuning. Penduduknya yang berjumlah 522 jiwa hidup di dalam yaodong—gua yang digali seperti sarang burung layang-layang di lereng terjal di sekitar desa. Dimulai pada 1953, saat para petani berbaris keluar dari Gaoxigou dan dengan upaya heroik membuat teras siring bukan hanya pada lereng gunung, namun seluruh pegunungan, memahatnya satu demi satu menjadi kue pengantin seratus tingkat, yang berlapis ladang jawawut, sorgum, dan jagung. Dalam pola yang nanti sangat dikenal, produksi naik sampai matahari dan hujan memanggang dan menghancurkan tanah pada teras yang telanjang itu. Untuk menampung loes yang tergerus, penduduk desa membangun bendungan tanah di sepanjang ngarai, dengan niat membuat ladang baru begitu ngarai tersebut penuh terisi lanau. Namun, karena hanya sedikit tumbuhan yang menghambat air, “setiap musim hujan dam-dam tersebut jebol,” ujar Fu Mingxing yang menjabat Kakanwil Departemen Pendidikan. Akhirnya, ujarnya, penduduk desa menyadari bahwa “mereka harus melindungi ekosistem, yang berarti melindungi tanah.”
Sekarang banyak teras Gaoxigou yang dengan susah payah dibuang loesnya kembali ke keadaannya yang alami. Dalam sistem yang disebut penduduk setempat sebagai sistem “tiga-tiga”, petani menanami ulang sepertiga tanah mereka—lereng yang paling curam dan rawan erosi-–dengan rumput dan pohon, penahan erosi alami. Mereka menggunakan sepertiga lainnya untuk kebun buah-buahan. Sepertiga terakhir, terutama bidang di dasar ngarai yang telah diperkaya oleh erosi sebelumnya, ditanami secara intensif. Dengan memusatkan persediaan pupuk mereka yang terbatas pada bagian itu, kaum petani mampu meningkatkan hasil panen untuk mengimbangi tanah yang mereka korbankan, ujar Jiang Liangbiao, kepala desa Gaoxigou.
Pada 1999 Beijing mengumumkan akan melaksanakan Jalan Gaoxigou di seluruh Dataran Tinggi Huangtu. Program Konversi Lahan Miring—dikenal sebagai “penghijauan lahan pertanian”—menyeru para petani agar mengubah lahan mereka yang paling curam kembali menjadi padang rumput, kebun buah-buahan, atau hutan, dan memberi mereka kompensasi berupa padi-padian dan sedikit uang sampai paling lama delapan tahun. Pada 2010 penghijauan lahan pertanian bisa mencapai lebih dari 210.000 kilometer persegi, sebagian besarnya berada di Dataran Tinggi Huangtu.
Namun, rencana besar yang dicanangkan di Beijing yang jauh itu sulit diejawantahkan di tempat seperti Zuitou. Pejabat desa, kabupaten, dan provinsi diberi imbalan jika mereka menanam pohon sesuai rencana, tanpa peduli apakah mereka memilih spesies yang cocok dengan kondisi setempat (atau mengindahkan para ilmuwan yang mengatakan bahwa pohon tidak cocok untuk tanaman di padang rumput sejak awal). Petani yang tidak memetik keuntungan dari pekerjaan itu tidak tergerak untuk memelihara pohon yang terpaksa mereka tanam. Saya melihat hasil yang sangat mudah diramalkan itu di jalan sepi dua jam di utara Gaoxigou: hamparan pohon mati, ditanam di lubang kecil berbentuk sisik ikan, di sisi jalan sepanjang beberapa kilometer. "Setiap tahun kami menanam pohon," ujar para petani, "namun tak ada yang hidup.”
!break!
Beberapa petani di Dataran Tinggi Huangtu mengeluh bahwa almond yang wajib mereka tanam kini membanjiri pasar. Yang lain mengeluh bahwa rencana bagus Beijing dimanipulasi oleh pejabat lokal yang tidak membayarkan subsidi kepada petani. Yang lain tidak tahu mengapa mereka diminta berhenti menanam jawawut, atau bahkan arti “erosi” sekalipun. Walaupun Beijing telah mengeluarkan banyak perintah, masih banyak kalau tidak sebagian besar petani yang tetap bercocok tanam di lereng curam. Setelah berbincang dengan Zhang Liubao di Zuitou, saya melihat salah satu tetangganya mencabut lobak dari ladang yang demikian curam sehingga dia sulit berdiri tegak di sana. Setiap kali dia mencabut, tanah berguguran melewati kakinya ke bawah bukit.
Suatu saat pada 1970-an, “Sahel” menjadi semboyan bagi kelaparan, kemiskinan, dan kehancuran lingkungan hidup. Secara teknis, nama itu merujuk ke zona semiarid di antara gurun Sahara dan hutan basah Afrika tengah. Hingga 1950-an, Sahel hanya didiami segelintir orang. Namun ketika terjadi ledakan penduduk, orang mulai bercocok tanam di kawasan itu secara lebih intensif. Masalah teredam cukup lama berkat masa curah hujan tinggi yang tidak biasa. Namun kemudian kemarau tiba. Akibat terburuknya terjadi dalam dua gelombang—satu di awal 1970-an dan yang kedua, lebih parah lagi, pada awal 1980-an—dan membentang dari Mauritania di Atlantik hingga Cad di tengah benua Afrika. Lebih dari 100.000 pria, wanita, dan anak-anak, bahkan mungkin lebih banyak lagi, meninggal akibat kelaparan yang diakibatkannya.
“Jika punya modal untuk pindah, orang pasti pindah,” ujar Mathieu Ouédraogo, spesialis pembangunan di Burkina Faso, sebuah negara di tengah daratan yang berada di jantung Sahel. “Yang tertinggal di sini hanyalah orang yang tak punya apa-apa—tidak cukup untuk pergi.”
Para ilmuwan masih memperdebatkan penyebab Sahel berubah dari sabana menjadi lahan kritis. Beberapa teori menyatakan penyebabnya termasuk perubahan acak pada suhu permukaan laut, polusi udara yang mengakibatkan awan terbentuk terlalu cepat, pembabatan tumbuhan oleh petani yang pindah ke pinggiran gurun—dan tentu saja, pemanasan global. Apa pun penyebabnya, konsekuensinya jelas: Didera oleh terik matahari dan angin kencang, sebagian besar tanah berubah menjadi gumpalan sekeras baru yang tak tembus akar tanaman dan air hujan. Seorang petani Sahel pernah membiarkanku mencangkul ladang jawawutnya dengan beliung. Serasa mencacah aspal.
!break!
Saat kekeringan mendera, berbagai kelompok bantuan internasional tumplak ke Sahel. (Ouédraogo, misalnya, memimpin proyek Oxfam untuk daerah Burkina tempat dia dilahirkan dan dibesarkan.) Banyak yang masih berada di sana; setengah plang-plang di Niamey, ibu kota Niger yang bertetangga dengannya, berisi pengumuman program baru dari Persatuan Bangsa-Bangsa, pemerintah negara Barat, atau lembaga amal swasta. Salah satu yang terbesar adalah proyek Keita, yang didirikan 24 tahun lalu oleh pemerintah Italia di Niger tengah yang bergunung-gunung. Tujuannya: membuat 4.860 kilometer persegi tanah tandus yang rusak—kini ditinggali oleh 230.000 jiwa—menjadi sehat secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Para insinyur dan agronom Italia membangun 312 kilometer jalan melintasi lereng, menggali 684 sumur di tanah berbatu itu, mendirikan 52 sekolah desa, dan menanam lebih dari 18 juta pohon. Dengan buldoser dan traktor, pekerja menggali 41 bendungan di bukit untuk menampung air hujan musim panas. Untuk melubangi tanah yang akan ditanami pohon, seorang Italia bernama Venanzio Vallerani merancang dan membuat dua bajak besar—“raksasa” demikian gambaran yang disampaikan oleh Amadou Haya, seorang spesialis lingkungan di proyek itu. Pekerja menghela mesin-mesin itu ke bukit-bukit gundul, mengisi tangkinya dengan bahan bakar, lalu menghidupkannya. Menderu di dataran tinggi itu selama berbulan-bulan, mesin itu bisa membuat hingga 1.500 lubang per jam.
Pada suatu pagi Haya membawa kami ke waduk penampung air hujan di luar desa Koutki, sekitar 20 menit melalui jalan tanah yang tidak rata dari pusat proyek Keita. Airnya yang terbentang seperti oase seluas beberapa hektare terlihat sangat tenang; burung-burung terdengar ramai berkicau. Beberapa wanita merandai untuk mengisi jeriken plastik, sementara pakaian mereka yang cerah mengapung di sekitar mata kakinya. Dua puluh lima tahun lalu Koutki hanyalah pemain kecil dalam tragedi Sahel. Sebagian besar hewan peliharaan sudah mati atau dimakan. Tak terlihat tumbuhan hijau sedikit pun. Tak ada burung yang bernyanyi. Masyarakatnya bertahan hidup dengan sesuap nasi pemberian badan amal asing. Dalam perjalanan ke Koutki kami bertemu dengan mantan tentara yang ikut membagikan bantuan. Wajahnya membeku saat dia berbicara tentang anak-anak kelaparan yang dilihatnya. Sekarang ada barikade pohon untuk menahan angin, teras rendah untuk menanam pohon, serta barisan batu untuk menghambat aliran air hujan yang menggerus. Tanah di sekitar waduk masih kering dan gersang, namun masih bisa menjadi mata pencarian.
Dengan anggaran lebih dari 900 miliar rupiah, Keita merupakan proyek yang mahal—pendapatan per kapita Niger, rendah bahkan untuk ukuran Sahel, hanya 7,2 juta rupiah per tahun. Pendukung Keita dapat berargumen bahwa itu hanya dua pertiga harga jet tempur F-22. Namun, Sahel sangat luas—lebar Niger saja sekitar 1.500 kilometer. Reklamasi sebagian wilayah ini saja memerlukan uang yang sangat banyak jika dilakukan dengan metode Keita. Akibatnya, para pengkritik berpendapat bahwa upaya pemulihan tanah di lahan kering nyaris tak ada gunanya: lebih baik mengurusi lahan yang lebih menjanjikan.
Salah, kata Chris Reij, seorang ahli geografi di Vrije Universiteit Amsterdam. Setelah bekerja sama dengan mitra Sahel selama lebih dari 30 tahun, Reij kini percaya bahwa petani sendiri telah mengalahkan gurun di beberapa kawasan yang luas. “Ini adalah salah satu kisah keberhasilan ekologi terbesar di Afrika,” katanya, “sebuah contoh bagi tempat lain di dunia.” Namun hampir tak ada orang luar yang memperhatikan; jika tanah itu topik yang membosankan, tanah di Afrika merupakan topik yang membosankan kuadrat.
!break!
Di Burkina, Mathieu Ouédraogo mengikuti dari awal. Dia mengumpulkan petani di daerahnya, dan pada 1981 mereka bersama-sama telah mencoba banyak teknik untuk memulihkan tanah, beberapa di antaranya adalah tradisi yang pernah didengar Ouédraogo di sekolah. Salah satunya adalah cordons pierreux: barisan panjang batu, masing-masing sebesar kepalan tangan. Tertahan oleh barisan ini, air hujan yang turun di atas tanah Sahel yang mengeras berhenti cukup lama hingga meresap. Lanau yang tertahan mengendap, bersama dengan benih yang tumbuh dalam lingkungan yang sedikit lebih baik. Barisan batu kemudian menjelma menjadi barisan tanaman yang semakin memperlambat air. Semakin banyak benih yang tumbuh di sisi hulu. Rumput berganti belukar dan pepohonan, yang memperkaya tanah dengan daunnya yang gugur. Dalam beberapa tahun, sebaris batu yang sederhana dapat memulihkan seluruh lahan.
Sekali waktu, Ouédraogo bekerja sama dengan seorang petani bernama Yacouba Sawadogo. Sebagai seorang yang inovatif dan bermental mandiri, dia ingin bertahan di ladangnya dengan tiga istri dan 31 anaknya. “Dari mbahnya mbah mbah saya, kami selalu di sini,” ujarnya. Sawadogo juga membuat cordons pierreux di ladangnya. Namun selama musim kemarau dia juga membuat ribuan lubang sedalam 20 sentimeter di ladangnya—zaï, demikian namanya, suatu teknik yang didengarnya dari orang tuanya. Sawadogo mengisi setiap lubang dengan kotoran hewan, yang menarik rayap. Rayap mencerna bahan organik, membuat zat haranya lebih siap diserap tanaman. Sama pentingnya, serangga tersebut menggali terowongan dalam tanah. Ketika hujan turun, air meresap ke dalam tanah melalui lubang rayap. Pada setiap lubang Sawadogo menanam pohon. “Tanpa pohon, tak ada tanah,” ujarnya. Pepohonan tumbuh subur di zaï yang bertanah lebih gembur dan basah. Batu demi batu, lubang demi lubang, akhirnya Sawadogo mengubah 20 ekar lahan kritis menjadi hutan pribadi terluas dalam kawasan ratusan kilometer.
Berkat zaï, ujar Sawadogo, dia hampir menjadi “satu-satunya petani dari sini sampai Mali yang memiliki jawawut.” Tak heran tetangganya memperhatikan. Sawadogo membentuk perkumpulan zaï, yang mempromosikan teknik ini pada pameran tahunan di kompleks keluarganya. Ratusan petani datang untuk melihat dia menggali zaï dengan paculnya. Teknik baru yang mudah dan murah ini tersebar luas. Semakin banyak orang yang mengerjakan tanah, semakin subur jadinya. Curah hujan yang lebih tinggi turut andil dalam pertumbuhan kembali (walaupun tidak sebanyak curah hujan tahun 1950-an). Namun sebab utamanya adalah jutaan pria wanita yang bekerja keras mengolah tanah.
Tahun lalu Reij melakukan perjalanan 1.600 kilometer melintasi Mali lalu masuk ke barat daya Burkina bersama Edwige Botoni, seorang peneliti di Komite Tetap Antarnegara untuk Pengendalian Kekeringan di Sahel, sebuah pusat kebijakan regional yang berpusat di Burkina. Mereka melihat “jutaan hektare” lahan yang dipulihkan, ujar Botoni, “lebih dari yang kukira mungkin.” Niger yang bertetangga mencapai keberhasilan yang lebih besar, ujar Mahamane Larwanou, seorang ahli kehutanan di Universitas Abdou Moumouni Dioffo di Niamey. Nyaris tanpa dukungan atau arahan dari pemerintah atau lembaga bantuan, petani setempat menggunakan beliung dan sekop untuk menghidupkan kembali lima juta hektare tanah.
!break!
Di samping ekologi, ilmu ekonomi merupakan kunci keberhasilan Niger, ujar Larwanou. Pada 1990-an pemerintah Niger, yang membagi tanah menurut cara totaliter ortodoks, mulai membiarkan petani memiliki kontrol lebih atas ladangnya. Orang mulai percaya bahwa mereka dapat berinvestasi di tanahnya, hampir tanpa risiko bahwa tanah itu akan diambil kembali secara sewenang-wenang. Digabungkan dengan teknik seperti zaï dan cordons pierreux, reformasi tanah telah membantu penduduk desa lebih tahan terhadap perubahan iklim. Sekalipun terjadi kemarau panjang , kata Larwanou, penduduk Niger “tak akan merasakan dampak seperti yang mereka alami pada 1973 atau 1984.”
Burkina Faso belum sepulih Niger. Kisah Sawadogo menawarkan salah satu alasannya. Sementara penduduk desa di Niger memiliki kontrol atas tanahnya, petani kecil di Burkina masih menyewanya, sering secara gratis, dari tuan tanah yang dapat menghentikan sewa setelah habis waktunya. Untuk menyediakan penghasilan bagi kota-kota di Burkina, pemerintah pusat membiarkan mereka mencaplok tanah di sekelilingnya dan kemudian menjualnya—tanpa memberi kompensasi yang pantas pada orang yang telah tinggal di sana. Desa Sawadogo terletak sekitar lima kilometer dari Ouahigouya, kota berpenduduk 64.000 jiwa. Salah satu tanah terbaik di antara lahan yang baru dianeksasi Ouahigouya adalah hutan Sawadogo, gudang kayu. Surveyor datang ke tanah itu, membagi-baginya menjadi petak 400 meter persegi yang ditandai dengan tonggak berat. Sebagai pemilik asli, Sawadogo akan kebagian satu petak, anak-anaknya yang telah dewasa masing-masing menerima petak tanah. Sisanya akan dijual, mungkin tahun depan. Dia menatap tak berdaya saat pegawai kota memancang tonggak di lantai kamar tidurnya. Batas petak yang lain melintasi makam ayahnya. Kini Yacouba Sawadogo tengah berusaha mengumpulkan cukup uang untuk membeli hutan yang telah diupayakannya seumur hidup itu. Karena dia telah membuat tanah itu bernilai, harganya menjadi luar biasa mahal: sekitar 180 juta rupiah. Sementara ini, dia tetap mengurus pohon-pohonnya. “Aku masih cukup berani untuk berharap,” ujarnya.
Wim Sombroek belajar tentang tanah sejak kanak-kanak, selama hongerwinter—kelaparan di Belanda pada masa perang 1944-45, di mana 20.000 orang atau lebih meninggal. Keluarganya selamat berkat hasil panen dari lahan sempit yang bertanah plaggen: tanah yang diperkaya oleh sekian generasi pemupukan yang saksama. Dia pernah memberi tahu saya, andai nenek moyangnya tidak mengurus tanah mereka, mungkin seluruh keluarga akan mati.
Pada 1950-an, di awal kariernya sebagai ilmuwan tanah, Sombroek mengunjungi Amazon. Secara mengejutkan, dia menemukan kawasan-kawasan tanah yang subur dan kaya unsur hara. Setiap mahasiswa Ekologi 101 tahu bahwa tanah hutan hujan Amazon rapuh dan miskin. Jika petani menebang kanopi hutan untuk membuka lahan pertanian, mereka membuat tanah terpapar terik matahari dan hujan, yang dengan cepat menghanyutkan kandungan mineral dan unsur haranya yang sedikit lalu memanggang sisanya hingga menjadi sesuatu yang mirip bata—“gurun basah” demikian tanah yang rusak ini terkadang disebut. Menurut pendapat ahli lingkungan hidup, keniscayaan kerusakan tanah ini membuat pertanian skala besar tidak dapat dilakukan di daerah tropis. Namun, tersebar di sepanjang Sungai Amazon, Sombroek menemukan bidang-bidang luas terra preta do índio (tanah hitam Indian). Lahan yang sesubur dan sehitam plaggen masa kecilnya itu menjadi dasar bagi pertanian di tanah yang seharusnya tak bisa ditanami. Tak pelak lagi, Sombroek memperhatikan hal ini. Bukunya yang diterbitkan pada 1966, Tanah Amazon, menyertakan kajian berkelanjutan pertama tentang terra preta.
!break!
Setelah itu Sombroek bekerja keliling dunia, dan akhirnya menjadi direktur ISRIC dan sekretaris jenderal International Society of Soil Science (sekarang International Union of Soil Sciences), jabatan yang dimanfaatkannya untuk melakukan survei dunia pertama tentang kerusakan tanah yang diakibatkan manusia. Sementara itu dia tidak pernah lupa dengan tanah hitam aneh di Brasil. Sebagian besar program restorasi, seperti di Tiongkok dan Sahel, mencoba memulihkan lahan yang rusak ke kondisi semula. Namun di sebagian besar negara tropis, kondisi alaminya marginal—salah satu alasan kenapa banyak negara tropis yang miskin. Sombroek akhirnya percaya bahwa terra preta mungkin mengajari para ilmuwan cara membuat tanah lebih subur dari sebelumnya, dan dengan ini membantu negara-negara termiskin di dunia untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
Sombroek tidak sempat melihat mimpinya terwujud—dia meninggal pada 2003. Namun dia membantu membentuk kerja sama riset multinasional untuk meneliti sumber dan fungsi terra preta. Salah satu anggotanya adalah Eduardo Góes Neves, arkeolog Universitas São Paulo yang saya kunjungi belum lama ini di sebush perkebunan pepaya sekitar 1.500 kilometer di hulu Amazon, menyeberangi sungai dari kota Manaus. Di bawah pepohonan terlihat jejak penelitian arkeologi: petak lubang yang sangat presisi, beberapa di antaranya lebih dari dua meter dalamnya. Di dalam lubang itu terra preta, yang lebih hitam daripada kopi terhitam, ditemukan dari permukaan hingga hampir sedalam dua meter. Dari atas hingga ke bawah, tanah itu terisi oleh pecahan gerabah pra-Columbus. Seakan-akan pemukim pertama di sungai itu mengadakan pesta sekolah urakan besar-besaran, menghancurkan semua piring yang ada, lalu menyembunyikan buktinya.
Terra preta hanya ditemukan di kawasan yang dihuni manusia, yang berarti bahwa itu tanah artifisial, buatan manusia, dari masa sebelum kedatangan orang Eropa. Neves dan rekan-rekannya mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat Amazon melakukannya, dan mengapa. Tanah itu kaya mineral-mineral penting seperti fosfor, kalsium, seng, dan mangan, yang langka di sebagian besar tanah tropis. Namun kandungan yang paling mengejutkan adalah arang—dalam jumlah besar, sumber warna terra preta. Neves tak yakin apakah kaum Indian mencampurkan arang ke tanah secara sengaja, atau apakah mereka melakukan itu tanpa sengaja saat membuang sampah rumah tangga, atau bahkan apakah terra preta yang diciptakan oleh arang itu awalnya digunakan untuk pertanian. Namun akhirnya, itu menjadi sumber daya yang mampu menghidupi seluruh pemukiman; bahkan seribu tahun lalu dua suku Indian mungkin saja berperang memperebutkan terra preta ini, tambah Neves.
Tak seperti tanah tropis biasa, terra preta tetap subur setelah berabad-abad terkena terik matahari dan hujan, catat Wenceslau Teixeira, seorang ilmuwan tanah di Embrapa, sebuah jaringan riset pertanian dan badan penyuluhan di Brasil. Ketahanannya yang luar biasa, ujarnya, telah diperagakan di fasilitas Embrapa di Manaus, tempat para ilmuwan menguji varietas tanaman pangan baru di petak replika terra preta. “Selama empat puluh tahun, di sana mereka mencoba padi, jagung, singkong, kacang, apa pun, “ ujar Teixeira. “Semua hal yang seharusnya tidak dilakukan di daerah tropis—tanaman tahunan, sepenuhnya diterpa hujan dan matahari. Seakan-akan kami berusaha menghancurkannya, dan kami gagal!” Teixeira sekarang menguji terra preta untuk pisang dan tanaman tropis lainnya.
!break!
Sombroek bertanya-tanya apakah petani modern dapat membuat terra preta sendiri—terra preta nova, demikian dia menyebutnya. Sama seperti revolusi hijau yang secara dramatis memperbaiki panen dunia berkembang, terra preta dapat menciptakan sesuatu yang disebut jurnal ilmiah Nature sebagai “revolusi hitam”, di sepanjang lengkungan tanah miskin dari Asia Tenggara hingga Afrika.
Kunci terra preta adalah arang yang dibuat dengan membakar tanaman dan sampah pada suhu rendah. Pada bulan Maret, sebuah tim peneliti yang dipimpin Christoph Steiner, yang saat itu bekerja di Universitas Bayreuth, melaporkan bahwa penambahan kepingan arang dan asap cair pada lahan kritis tropis yang umum dapat menghasilkan “kenaikan eksponensial” pada populasi mikrobe—memicu ekosistem bawah tanah yang penting bagi kesuburan. Tanah tropis kehilangan kandungan mikrobe dengan cepat ketika dijadikan lahan pertanian. Arang sepertinya menyediakan habitat bagi mikrobe—membuat tanah buatan di dalam tanah—sebagian karena zat hara jadi terikat ke arang, tak lagi dihanyutkan air. Pengujian yang dilakukan oleh tim AS-Brasil pada 2006 menemukan bahwa terra preta mengandung mikroorganisme yang jauh lebih banyak dan beragam daripada tanah tropis pada umumnya—tanah itu secara harfiah lebih hidup .
Revolusi hitam bahkan mungkin membantu memerangi pemanasan global. Pertanian menyumbang lebih dari seperdelapan gas rumah kaca produksi manusia. Tanah yang sering dibajak mengeluarkan karbon dioksida begitu bahan organik yang terkubur di dalamnya terpapar. Sombroek berpendapat bahwa pembuatan terra preta di seluruh dunia akan menggunakan banyak sekali arang yang kaya karbon sehingga dapat mengimbangi pelepasan karbon tanah ke atmosfer. Menurut William I. Woods, seorang ahli geografi dan ilmu tanah di University of Kansas, terra preta yang kaya arang mengandung karbon 10 hingga 20 kali tanah tropis pada umumnya, dan karbon itu bisa dikuburkan lebih dalam. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa “jumlah karbon yang dapat kita masukkan ke dalam tanah mengejutkan,” ujar Woods. Tahun lalu ilmuwan tanah Johannes Lehmann dari Cornell University memperkirakan dalam Nature, bahwa dengan mengubah sisa-sisa dari hutan komersial, lahan pertanian yang tidak ditanami, serta tanaman tahunan menjadi arang, hal itu dapat mengompensasi sepertiga emisi bahan bakar fosil AS. Bahkan, Lehmann dan dua rekannya berpendapat bahwa penggunaan bahan bakar fosil oleh manusia di seluruh dunia dapat diimbangi dengan menyimpan karbon di terra preta nova.
Harapan seperti itu tak mudah dipenuhi. Mengidentifikasi organisme yang ada di terra preta tak mudah dilakukan. Dan tak seorang pun yang tahu pasti berapa banyak karbon yang dapat disimpan di dalam tanah—beberapa kajian menyatakan bahwa mungkin ada batasnya. Namun Woods percaya bahwa kemungkinan keberhasilan itu cukup besar. “Dunia akan mendengar lebih banyak tentang terra preta,” ujarnya.
!break!
Saat berjalan sepanjang jalan pertanian yang menjadi tuan rumah Wisconsin Farm Technology Days, mudah bagi saya menebak apa yang membuat Jethro Tull khawatir. Bukan Jethro Tull band rock tahun 1970-an—tapi Jethro Tull pembaharu pertanian abad ke-18. Di bawah telapak kaki, tanah prairi ini telah digencet oleh traktor dan mesin panen menjadi permukaan aneh yang terasa seperti lantai karet tuang di tepi kolam renang. Ini adalah versi modern fenomena yang dicatat Tull: Ketika petani terus membajak jalur yang sama, tanah menjadi “padat seperti Jalan Tol oleh Kerbau yang menarik Garu.”
Tull tahu pemecahannya: Jangan membajak di jalur yang sama. Kenyataannya, petani semakin meninggalkan bajak sama sekali—sebuah sistem yang disebut pertanian tanpa bajak. Namun mesin-mesin lainnya terus tumbuh semakin besar dan berat. Di Eropa, pemadatan tanah diperkirakan memengaruhi 33 juta hektare lahan pertanian, dan seorang pakar memperkirakan penurunan hasil panen akibat pemadatan tanah itu merugikan petani Midwest sebesar 900 miliar rupiah setiap tahun.
Alasan utama bahwa pemadatan tetap merundung negara kaya itu sama dengan alasan yang membuat masalah degradasi tanah lain merundung negara miskin: Lembaga politik dan ekonomi tidak dibuat untuk memperhatikan tanah. Pejabat Tiongkok yang diberi imbalan karena menanam pohon tanpa peduli kelangsungan hidupnya tak jauh berbeda dengan petani di Midwest yang tetap menggunakan mesin panen raksasa karena tak dapat membayar pekerja untuk menjalankan beberapa mesin yang lebih kecil.
Di tepi jalan padat pertanian Wisconsin ada peragaan bajak yang ditarik kuda. Tanah yang melingkar dari mata bajak berwarna hitam, lembap, dan terang—bunga tanah Midwest yang sempurna. Fotografer Jim Richardson tiarap di tanah untuk memotretnya. Dia memintaku berjongkok dan memegang lampu. Tak lama kemudian kami dikerumuni sekelompok kecil orang yang heran. Seseorang menjelaskan bahwa kami sedang melihat tanah. “Buat apa mereka melakukan hal itu?” tanya seorang wanita dengan lantang. Di suaranya dapat kudengar pikirannya: membosankan.
Saat aku menceritakan kisah ini via telepon kepada David Montgomery, geolog di University of Washington, aku hampir dapat mendengar dia menggelengkan kepalanya. “Dengan adanya delapan miliar manusia, kita semua harus mulai tertarik pada tanah,” ujarnya. “Kita tak akan bisa memperlakukannya seperti kotoran lagi.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR