Saya menanyakan padanya mengenai kebiasaan-kebiasaan kerja. Ia berpikir sesaat kemudian berkata: ”Hal terpenting adalah Anda tidak meremehkan mereka. Jika Anda jujur dan berterus terang serta tidak mempersulit keadaan, jika Anda berperan sebagai seorang ayah bagi mereka, tetapi bukan seorang ayah yang terlalu menggurui, mereka akan berdisiplin, bekerja keras, dan berupaya untuk belajar mandiri. Saya beritahu Anda, saya sangat puas terhadap pencapaian pemuda-pemuda ini, Ja!”
Keributan Monyet di Kemah Hutan
Di Sumatra, di seberang Laut Jawa dari Borneo, kami menyaksikan perusahaan AS mengatasi masalah pembangunan yang dimulai dari nol. Caltex memulai eksplorasinya dalam skala besar di dekat Pekanbaru pada tahun 1935; mereka menemukan minyak empat tahun kemudian, tetapi terpaksa membiarkan Jepang menikmati hasil dari sumur pertamanya pada masa pendudukan. Tim-tim pertama datang kembali ke Pekanbaru pada tahun 1949.
”Saya baru tiba dari pusat perminyakan di Amerika Selatan,” kata istri manajer operasional dengan tawa hambar, ”dan kurasa aku mengharapkan sesuatu yang serupa—Anda tahu, suasana yang indah dan fasilitas yang lengkap. Aku turun dari pesawat lalu diantar ke dermaga dan kucium bau sungai dan kudengar monyet bersahut-sahutan di hutan dan terus kukatakan pada diriku sendiri bahwa keadaannya akan berbeda jika perahu kami telah mencapai kemah. Keadaannya memang berbeda, lebih parah. Aku hanya dapat berdiri di sana, berupaya menahan air mataku.”
Ia bertahan dan kini Kamp Rumbal yang dia tempati sudah hampir menyerupai lingkungan tempat tinggal yang mewah di California.
Gerombolan monyet masih membuat keributan setiap pagi dari hutan sekitar, tetapi rumah-rumah baru tersebut cukup luas, sejuk, dilengkapi fasilitas perpipaan yang modern, kulkas, dan mesin cuci. Terdapat fasilitas sekolah dan sebuah rumah sakit, lapangan sofbol dan badminton, gedung bioskop, sebuah klub, dan sebuah toko kebutuhan pokok.
!break!
Produksi minyak yang didukung oleh investasi sebesar 70 juta dolar AS melaju kencang; kini produksinya mencapai 50.000 barel per hari. Namun aktivitas tersebut menghadapi beberapa kesulitan yang unik. Salah satunya adalah masalah jalan. Di daerah tropis ini, beberapa kilometer dari Khatulistiwa, truk-truk Caltex menggunakan ban khusus untuk permukaan es dan juga rantai!
”Kami tidak memiliki pasir, atau jenis tanah padat apapun untuk membangun jalan,” jelas sang manajer administrasi dan pelayanan di Kamp Rumbai kepadaku. ”Kami hanya mengeraskan tanah dan menyiraminya dengan minyak. Jika hujan sedikit, permukaannya menjadi mulus, semulus kulit semangka. Jika hujan deras, kami harus membangunnya kembali—rata-rata setiap enam minggu!”
Masalah lainnya adalah satwa—gajah, ular piton, harimau. ”Kami tidak menanam pipa minyak di sekitar sini,” kata sang manajer, ”seringkali ada gajah yang menggalinya. Di selatan, mereka sering merusak kabel-kabel telepon dan mengusutkannya seperti spaghetti. Mereka suka menggaruk punggung di tiang-tiangnya.”
Namun Sumatra lebih dari sekedar kebun binatang alami dan sumber minyak. Pulau itu disebut ”Pulau Pengharapan,” dan tampaknya itulah yang dipercayai oleh penduduk Indonesia yang padat. ”Sumatera,” kata Duta Besar AS Bill Kelly di Medan, ”merupakan masa depan Indonesia. Ukurannya tiga kali Jawa dengan jumlah penduduk yang hanya seperempat Jawa. Sumatra memiliki semuanya: batubara, minyak, karet, teh, kopi, tembakau, tenaga air, tanah subur yang banyak—dan penduduk yang rajin dan mandiri. ”Namun pembangunan tidak akan tercapai dalam satu malam. Terdapat masalah-masalah yang sama dengan wilayah lainnya di Indonesia: investasi asing minim, jumlah teknisi terlatih di bidang apapun sangat sedikit, dan ada masalah keamanan di tiap perkebunan besar. Namun suatu saat semuanya akan teratasi. Anda lihat saja.”
!break!
Akupun mulai berpikir demikian setelah mengunjungi sebuah pabrik baru di Medan yang didirikan oleh seorang veteran Indonesia dengan menggunakan uang pinjaman dari pemerintah. Menggunakan mesin-mesin modern, 600 karyawan perempuannya yang direkrut dari kampung-kampung Batak menghasilkan dua juta kaos setiap tahun. Jumlah pinjaman, 68.200 dolar AS dan nilai jual pabrik saat ini, 333.000 dolar AS.
Republik Indonesia tentu saja dapat mencapai banyak hal melalui usahanya sendiri dan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan Barat, Indonesia dapat semakin memproduktifkan upayanya. ”Ambil contoh pertanian,” kata Ambrose Lewis, ahli teknik pertanian yang telah bekerja di Sumatra selama dua tahun. ”Petani Indonesia menganggap hasil panennya sudah cukup baik jika mereka mampu mendapatkan 15 bushel jagung per akre. Kini FOA telah memperkenalkan beberapa varietas Amerika Tengah yang dapat meningkatkan hasil panen hingga mencapai 300 persen dengan menggunakan pupuk dalam jumlah yang lebih sedikit. Selain itu, jagung baru ini diperkirakan lebih bergizi. Atau beras. Kurang lebih seperempat petani di Jawa menggunakan benih improvisasi kami dan memperoleh panen 20 hingga 30 persen lebih banyak. Kini kami mencobanya di Sumatera.”
Efek Perang Masih Menekan
Ketika Marco Polo pertama kali melihat Indonesia, ia menulis tentang Jawa dan menulis, ”Kekayaan pulau ini sungguh luar biasa.” Namun 663 tahun kemudian, Indonesia berjuang keras menghadapi pendapatan per kapita yang minim dan menyedihkan. Status kemerdekaan selama lima tahun belum menghasilkan peningkatan standar kehidupan dibandingkan masa sebelum perang. Mengapa?
Mantan Menteri Keuangan Dr. Sumitro Djojohadikusumo menjelaskan, ”Banyak yang tidak menyadari bahwa penjajahan Jepang yang berlangsung selama beberapa tahun, perseteruan internal, dua agresi militer, gangguan terdahap sumber daya alam produktif, perpecahan otoritas, gangguan sosial, dan semua yang diakibatkan oleh hal-hal tersebut, menimbulkan pengaruh yang dapat dirasakan selama bertahun-tahun ke depan.”
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR