Kami menyusuri jalan tanah yang berliku menembus dataran tinggi Sumatra di atas Bukittinggi. Setelah mengitari serumpun ladang tebu, terlihatlah sekitar 60 bocah berkumpul di bantaran sungai yang berumput. Mereka berdiri berjejer dalam satu barisan panjang yang berawal dari lokasi penggalian di sisi sebuah bukit. Mereka memindahkan bebatuan dari satu orang ke orang berikutnya, menumpuk bebatuan itu di samping sebuah gubuk beratap seng yang tak memiliki dinding dan lantai. Bocah-bocah itu berkumpul setiap akhir pekan selama dua bulan terakhir untuk membangun sekolah mereka dan akan terus melanjutkannya selama satu tahun hingga selesai. ”Di Indonesia,” kata salah seorang guru mereka, ”kami menyebutnya gotong royong; saling membantu untuk menolong orang lain.”
!break!
Indonesia, sebuah bangsa yang masih belia, baru berusia lima tahun Desember yang lalu, sangat menggantungkan diri pada semangat kerja sama di tingkat desa dalam upayanya untuk bertahan hidup. Dengan populasi penduduk yang menduduki urutan keenam terbesar di dunia dan berpotensi menjadi salah satu negara terkuat di Timur Jauh, republik yang muda belia ini masih tertatih-tatih akibat ekonomi yang carut marut dan kemelut politik yang diwariskan oleh satu dekade pendudukan asing, revolusi, dan perang saudara. Namun kini Indonesia tengah berdiri tegak, berupaya untuk menangani masalah-masalah yang paling mendesak—khususnya pendidikan—dan ”saling membantu satu sama lain” untuk menuju kedewasaan.
Ditemani Joe Roberts, staf fotografer National Geographic, saya baru saja menjelajahi lebih dari 16.000 kilometer panjang dan lebar kepulauan tersebut, menyaksikan Indonesia bekerja keras untuk menyukseskan sebuah proyek besar pembaharuan bangsa. Dua bulan perjalanan membawa kami dari Timor di timur hingga Sumatra di barat; lokasi-lokasi yang tidak dapat dijangkau oleh sayap Garuda, maskapai penerbangan Indonesia, kami datangi dengan pesawat amfibi, jip, perahu, atau berjalan kaki
Masyarakat dari republik yang baru ini masih berupaya mengenali negaranya sendiri serta saling membandingkan perilaku dan aspirasi antardaerah dalam setiap kesempatan. Ini bukanlah tugas yang mudah. Bangsa Indonesia terdiri atas 79 juta orang yang berbicara dalam dua ribu bahasa daerah dan hidup berkelompok di 3.000 pulau yang tersebar di sepanjang Khatulistiwa. Jika disandingkan dengan AS, Indonesia terentang dari Atlantik hingga Pasifik.
Namun beberapa karakteristik nampak sama jelasnya di berbagai daerah di kepulauan tersebut. Orang Indonesia, sebagai sebuah masyarakat, bersikap sangat ramah, sangat sopan, sangat bersih—dan tidak terburu-buru. Di setiap daerah, siapapun bisa merasakan energi anak muda yang berlebih. Bertubuh lentur dengan proporsi yang baik dan berotot, mereka berjalan dengan kepala tegak, bangga, dan melangkah selincah penari—kenyataannya sebagian besar diantaranya memang dapat menari. Jarang sekali mereka meninggikan nada bicara kecuali ketika tertawa dan tampaknya tidak pernah marah. Namun jika mereka benar-benar mengamuk, waspadalah! ”Amok,” alias mengamuk, adalah istilah yang berasal dari wilayah ini, yang bertetangga dengan Malaya.
!break!
Sikap mereka terhadap waktu, juga diberi sebuah istilah: jam karet, waktu yang dapat diulur-ulur. Sambutan tersebut dan sikap mereka yang sangat santai dapat semakin dipahami ketika menyadari salah satu fakta tak mengenakkan: standar penghasilan di Indonesia hanya berkisar 50 dolar AS per kapita pertahun.
Mungkin salah satu penyebabnya adalah iklim Indonesia yang lembut kerap membuat sebuah usaha yang sederhana dapat bertahan lama. Tanpa suhu dingin ataupun serangan angin kencang yang harus dilawan, gubuk yang terbuat dari daun palem sudah cukup memberi perlindungan. Sebuah sarung dan beberapa kaos mencukupi perlengkapan pakaian. Harga beras dipatok pada batas yang wajar, dan tanah sempit manapun akan menghasilkan pisang, singkong, kelapa, sukun, dan sejenisnya. Di sebuah negara yang masyarakatnya selalu mengumbar senyum dan mengalami panen sebanyak dua hingga tiga kali setahun, penduduknya tidak terlalu dipusingkan dengan krisis keuangan.
Wilayah Kota Memerangi Kekejaman Nyamuk
Perjalanan kami dimulai di Djakarta, yang masih dikenal oleh banyak orang Barat sebagai Batavia. Saat penjajah Belanda mendirikan pos perdagangan, kota tersebut masih menyentuh Laut Jawa. Kini, dengan mendangkalnya sungai-sungai, terdapat hampir dua kilometer daratan lumpur dan kolam-kolam ikan yang memisahkan genteng-genteng rumah yang merah bata dengan lautan; kota baru yang menjadi gerbang utama Indonesia lewat jalur udara telah berkembang 16 kilometer ke arah pedalaman menuju daratan yang lebih tinggi, dan cenderung lebih sehat. Kampanye penyemprotan DDT yang kerap dilakukan untuk melawan perkembangbiakan nyamuk anopheles berhasil menambah kawasan permukiman yang aman di Djakarta.
Jika Djakarta diibaratkan sebagai sebuah lahan pertempuran, aksi tersebut melibatkan 30.000 kendaraan beroda tiga yang disebut, Target pilihannya adalah para pejalan kaki. Gerombolan becak berderap maju menyerang penyeberang jalan bagaikan kereta-kereta kuda bangsa Assyria.
!break!
Dengan semua hal itu dan di luar pertumbuhan masifnya yang membentuk sebuah metropolis dengan lebih dari 2,5 juta manusia, Djakarta masih memiliki suasana pedesaan yang mencolok. Dengan segelintir gedung bertingkat dan berbagai jalan dengan bungalow berpohon rindang, kota tersebut bagaikan sekumpulan kampung yang padat. Bahkan di distrik perkantoran yang panas, burung layang-layang beterbangan keluar-masuk gedung-gedung bank yang berdiri tegak, di atas kepala para juru tulis yang tertunduk.
Terdapat banyak toko di Djakarta, tetapi Anda tidak perlu mendatanginya; cepat atau lambat semua barang akan mendatangi pintu depan rumah. Pedagang keliling yang memikul barang jajaan yang terpasang di kedua ujung batang bambu tidak hanya membawa daging, tahu, ikan, telur, dan sayuran, tetapi juga panci dan penggorengan, furnitur, kain batik, minuman ringan, mainan, dan penganan. Sambil duduk di bawah pohon di luar kamar saya di Hotel Transaera, seorang tukang sepatu memperbaiki sol sepatu saya dengan ongkos beberapa rupiah.
Pertumbuhan kota secara alamiah membuatnya lahan tempat tinggal berkurang; Sebagian besar rumah dihuni oleh dua keluarga dan rumah manapun yang tidak dihuni untuk waktu yang lama akan segera diambil alih oleh pendatang ilegal yang enggan diusir oleh pemerintah. Untuk memenuhi permintaan yang mendesak, proyek-proyek perumahan baru yang terencana dengan baik seperti Kebajoran, sebuah kecamatan yang terdiri dari sekitar 7.500 bangunan, telah dibangun dan masih banyak yang sedang dalam tahap perencanaan.
Surabaja, seperti yang kami lihat, tampak seperti Djakarta yang lain. Mungkin sebuah ”statistik” dapat menceritakan kisah yang utuh mengenai Surabaja. Ketika kantor US Information Service di sana membuat iklan lowongan untuk satu posisi juru ketik, tak satu pun lamaran yang datang selama berminggu-minggu. Ketika kantor itu mengiklankan lowongan untuk seorang seniman pembuat poster, 50 pelamar langsung datang—sebagian besar adalah seniman berkualitas!
!break!
Perampok Menyerang Jalanan Makassar
Di Celebes yang telah dinamakan kembali menjadi Sulawesi oleh Republik, untuk pertama kalinya kami diresahkan oleh masalah keamanan di Indonesia. Jalan yang menyusuri sisi kanan bandara Makassar menjadi tidak aman setelah 9,5 kilometer: perampok dan pemberontak yang saling memperebutkan ”wilayah kekuasaan” seringkali menyerangnya. Secara alamiah kami mengambil jalan di sisi kiri bandara, tetapi tetap ada tiga pos pengecekan militer sebelum mencapai kota. Satu atau dua pekan kemudian, para pemberontak di wilayah ini membakar lebih dari 6.000 rumah dalam teror selama tiga hari.
Di Makassar kami melewati Fort Rotterdam yang terlihat tangguh, sebuah bangunan berbentuk bintang dengan kubu-kubu pertahanan yang menyerupai ujung anak mata panah. Di sepanjang pelabuhan yang bersebelahan dengan pasar rotan terbesar di Indonesia, kami menyaksikan kapal-kapal tertambat saling berdampingan, mengingatkan siapapun pada keahlian melaut orang-orang Sulawesi.
Sebelum caravel-caravel Belanda atau Portugis pertama memasuki perairan ini, perahu-perahu besar Makassar telah berlayar sepanjang pesisir Cathay menuju Formosa dan ke arah barat ke Madagaskar, bernavigasi menggunakan bintang-bintang dengan keakuratan yang mengagumkan. Dengan lengkungan yang halus, dek yang mulus, tiang yang tinggi, dan dua dayung panjang yang dipasang di kedua sisi belakang kapal sebagai kemudi bawah air, perahu tersebut merupakan kapal yang luar biasa tangguh.
Saya tidak dapat pergi ke Manado di bagian utara Sulawesi, tetapi Joe pergi ke sana dan pulang dengan membawa banyak cerita mengenai orang-orang Minahasa. Sebagian besar di antara mereka memeluk agama Kristen, berpendidikan, memiliki banyak keahlian, dan sangat bangga akan proses westernisasi yang mereka jalani. Kopi, kopra, kelapa kering, dan keahlian berdagang memberikan penghidupan yang baik bagi mereka. Sebuah pelabuhan baru seharga 43 juta dolar AS di Bitung baru setengah jadi, seharusnya akan semakin memacu perekonomian mereka.
!break!
Tanpa jalur penerbangan langsung yang dapat membawa kami dari Sulawesi, kami mundur kembali ke Surabaja kemudian ke utara ke Bandjarmasin, di pesisir selatan Borneo. Inggris mengontrol ujung utara Borneo yang terdiri dari Sarawak, Brunei, dan Borneo Utara. Wilayah Indonesia dinamakan Kalimantan. Jika digabung, wilayah-wilayah tersebut menjadi salah satu pulau terbesar di dunia dan salah satu yang paling minim dijelajahi. Mudah bagi kami untuk mengetahui alasannya ketika terbang melintasi Laut Jawa; dari ketinggian 8.000 kaki pada hari yang cerah, pucuk-pucuk pohon di hutan yang menyerupai gerombolan kembang kol hijau tumbuh meluas bagaikan selimut hingga pegunungan terjauh, hanya terputus oleh lengkungan coklat Sungai Barito dan cabang-cabangnya.
Teknologi Barat di Ladang Minyak Borneo
Martapura bermakna ”Gerbang Menuju Intan”—batu permata yang terdapat di berbagai aliran sungai di pulau tersebut dan didulang seperti emas. Namun Borneo juga menghasilkan banyak karet, batu bara, merica, dan—yang paling penting—minyak. Di wilayah Indonesia, ladang minyak bumi terdapat di sekitar Balikpapan, Sanga-sanga, dan di Pulau Tarakan, dan dioperasikan oleh Bataafsche Petroleoum Maatschappij—yang lebih dikenal sebagai BPM, salah satu cabang pembantu Royal Dutch Shell.
Situasi perminyakan ini menarik disimak untuk beberapa alasan. BPM mendominasi produksi minyak di Borneo, tetapi di Sumatra, perusahaan tersebut turut ditemani oleh dua perusahaan AS, Standard-Vacuum dan Caltex Pacific. Ketiganya mengontrol sumber minyak yang diperkirakan lebih dari satu miliar barel. Pembagian keuntungan yang diterima oleh pemerintah Indonesia setiap tahun mencapai 60 juta dolar AS, tambahan yang masuk akal untuk budget yang tersedia.
Namun artikel ini tidak berhubungan dengan masalah keuangan. Cerita ini terkait dengan bertemunya teknologi Barat dengan aspirasi bangsa Indonesia di tengah perjalanannya. Contohnya Balikpapan. Ketika pasukan Jepang menarik diri tahun 1945, kota, tempat pelatihan, dan gedung-gedung perkantoran dibiarkan hancur ditelan asap, menara-menara penyulingnya menjadi tumpukan sisa material yang semrawut, tanki-tanki penyimpanan minyak ambruk seperti roti kosong yang remuk. Kini, kurang lebih sepuluh tahun kemudian, Balikpapan telah beroperasi kembali dalam kapasitas penuh dengan 4.500 pegawai yang menangani 2,7 juta ton minyak mentah per tahun.
!break!
”Kami tidak hanya belajar bagaimana cara mengebor, menyuling, serta mengirim minyak,” kata tuan rumah kami yang menghisap pipa, HJ Houtman, direktur yang ramah di Balikpapan. ”Kami harus membangun sebuah masyarakat dari awal—dari kursi dokter gigi hingga rumah jagal, dari gedung bioskop hingga pengendalian malaria.”
Ia juga menghadapi masalah lain. Perang dan revolusi yang berlangsung bertahun-tahun meninggalkan kenangan pahit bagi banyak orang Belanda dan Indonesia. Dapatkah mereka bekerja berdampingan dalam keakraban yang dipaksakan pada sebuah industri yang dijalankan di kota yang sama?
Kenyataannya, mereka telah melakukan hal itu. Saya menyaksikan orang Indonesia, Belanda, Eurasia, dan China di Balikpapan yang tidak hanya bekerja berdampingan, tetapi bermain tenis, berenang, berdansa bersama, dan bertukar lelucon. Saya menyaksikan sesuatu yang lebih penting: Saya menyaksikan BPM secara aktif mendorong program ”regionalisasi”nya, yang berarti semakin banyak jabatan akan diserahkan kepada orang Indonesia. Saat ini jumlah orang Eropa di Balikpapan hanya setengah dari jumlah pegawai dan merupakan persentase yang kecil dibandingkan jumlah total angkatan kerja; jumlahnya akan menurun apabila para ”pribumi” mendapatkan pengalaman dan pelatihan yang meningkat.
WJH Wenselaar yang menjalankan sekolah teknik usaha di Balikpapan, memberitahu bahwa ia memiliki 100 lelaki Borneo yang tengah mengikuti kursus penuh waktu, 140 mengikuti kursus sekali seminggu, dan 110 orang mendaftarkan diri dalam kelas malam reguler. Di dalam ruangan-ruangan yang dilengkapi oleh peralatan dan fasilitas modern (banyak di antaranya didesain dan dibangun oleh para siswa) mereka mempelajari segalanya, dari pemasangan pipa hingga peleburan elektrikal.
!break!
Saya menanyakan padanya mengenai kebiasaan-kebiasaan kerja. Ia berpikir sesaat kemudian berkata: ”Hal terpenting adalah Anda tidak meremehkan mereka. Jika Anda jujur dan berterus terang serta tidak mempersulit keadaan, jika Anda berperan sebagai seorang ayah bagi mereka, tetapi bukan seorang ayah yang terlalu menggurui, mereka akan berdisiplin, bekerja keras, dan berupaya untuk belajar mandiri. Saya beritahu Anda, saya sangat puas terhadap pencapaian pemuda-pemuda ini, Ja!”
Keributan Monyet di Kemah Hutan
Di Sumatra, di seberang Laut Jawa dari Borneo, kami menyaksikan perusahaan AS mengatasi masalah pembangunan yang dimulai dari nol. Caltex memulai eksplorasinya dalam skala besar di dekat Pekanbaru pada tahun 1935; mereka menemukan minyak empat tahun kemudian, tetapi terpaksa membiarkan Jepang menikmati hasil dari sumur pertamanya pada masa pendudukan. Tim-tim pertama datang kembali ke Pekanbaru pada tahun 1949.
”Saya baru tiba dari pusat perminyakan di Amerika Selatan,” kata istri manajer operasional dengan tawa hambar, ”dan kurasa aku mengharapkan sesuatu yang serupa—Anda tahu, suasana yang indah dan fasilitas yang lengkap. Aku turun dari pesawat lalu diantar ke dermaga dan kucium bau sungai dan kudengar monyet bersahut-sahutan di hutan dan terus kukatakan pada diriku sendiri bahwa keadaannya akan berbeda jika perahu kami telah mencapai kemah. Keadaannya memang berbeda, lebih parah. Aku hanya dapat berdiri di sana, berupaya menahan air mataku.”
Ia bertahan dan kini Kamp Rumbal yang dia tempati sudah hampir menyerupai lingkungan tempat tinggal yang mewah di California.
Gerombolan monyet masih membuat keributan setiap pagi dari hutan sekitar, tetapi rumah-rumah baru tersebut cukup luas, sejuk, dilengkapi fasilitas perpipaan yang modern, kulkas, dan mesin cuci. Terdapat fasilitas sekolah dan sebuah rumah sakit, lapangan sofbol dan badminton, gedung bioskop, sebuah klub, dan sebuah toko kebutuhan pokok.
!break!
Produksi minyak yang didukung oleh investasi sebesar 70 juta dolar AS melaju kencang; kini produksinya mencapai 50.000 barel per hari. Namun aktivitas tersebut menghadapi beberapa kesulitan yang unik. Salah satunya adalah masalah jalan. Di daerah tropis ini, beberapa kilometer dari Khatulistiwa, truk-truk Caltex menggunakan ban khusus untuk permukaan es dan juga rantai!
”Kami tidak memiliki pasir, atau jenis tanah padat apapun untuk membangun jalan,” jelas sang manajer administrasi dan pelayanan di Kamp Rumbai kepadaku. ”Kami hanya mengeraskan tanah dan menyiraminya dengan minyak. Jika hujan sedikit, permukaannya menjadi mulus, semulus kulit semangka. Jika hujan deras, kami harus membangunnya kembali—rata-rata setiap enam minggu!”
Masalah lainnya adalah satwa—gajah, ular piton, harimau. ”Kami tidak menanam pipa minyak di sekitar sini,” kata sang manajer, ”seringkali ada gajah yang menggalinya. Di selatan, mereka sering merusak kabel-kabel telepon dan mengusutkannya seperti spaghetti. Mereka suka menggaruk punggung di tiang-tiangnya.”
Namun Sumatra lebih dari sekedar kebun binatang alami dan sumber minyak. Pulau itu disebut ”Pulau Pengharapan,” dan tampaknya itulah yang dipercayai oleh penduduk Indonesia yang padat. ”Sumatera,” kata Duta Besar AS Bill Kelly di Medan, ”merupakan masa depan Indonesia. Ukurannya tiga kali Jawa dengan jumlah penduduk yang hanya seperempat Jawa. Sumatra memiliki semuanya: batubara, minyak, karet, teh, kopi, tembakau, tenaga air, tanah subur yang banyak—dan penduduk yang rajin dan mandiri. ”Namun pembangunan tidak akan tercapai dalam satu malam. Terdapat masalah-masalah yang sama dengan wilayah lainnya di Indonesia: investasi asing minim, jumlah teknisi terlatih di bidang apapun sangat sedikit, dan ada masalah keamanan di tiap perkebunan besar. Namun suatu saat semuanya akan teratasi. Anda lihat saja.”
!break!
Akupun mulai berpikir demikian setelah mengunjungi sebuah pabrik baru di Medan yang didirikan oleh seorang veteran Indonesia dengan menggunakan uang pinjaman dari pemerintah. Menggunakan mesin-mesin modern, 600 karyawan perempuannya yang direkrut dari kampung-kampung Batak menghasilkan dua juta kaos setiap tahun. Jumlah pinjaman, 68.200 dolar AS dan nilai jual pabrik saat ini, 333.000 dolar AS.
Republik Indonesia tentu saja dapat mencapai banyak hal melalui usahanya sendiri dan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan Barat, Indonesia dapat semakin memproduktifkan upayanya. ”Ambil contoh pertanian,” kata Ambrose Lewis, ahli teknik pertanian yang telah bekerja di Sumatra selama dua tahun. ”Petani Indonesia menganggap hasil panennya sudah cukup baik jika mereka mampu mendapatkan 15 bushel jagung per akre. Kini FOA telah memperkenalkan beberapa varietas Amerika Tengah yang dapat meningkatkan hasil panen hingga mencapai 300 persen dengan menggunakan pupuk dalam jumlah yang lebih sedikit. Selain itu, jagung baru ini diperkirakan lebih bergizi. Atau beras. Kurang lebih seperempat petani di Jawa menggunakan benih improvisasi kami dan memperoleh panen 20 hingga 30 persen lebih banyak. Kini kami mencobanya di Sumatera.”
Efek Perang Masih Menekan
Ketika Marco Polo pertama kali melihat Indonesia, ia menulis tentang Jawa dan menulis, ”Kekayaan pulau ini sungguh luar biasa.” Namun 663 tahun kemudian, Indonesia berjuang keras menghadapi pendapatan per kapita yang minim dan menyedihkan. Status kemerdekaan selama lima tahun belum menghasilkan peningkatan standar kehidupan dibandingkan masa sebelum perang. Mengapa?
Mantan Menteri Keuangan Dr. Sumitro Djojohadikusumo menjelaskan, ”Banyak yang tidak menyadari bahwa penjajahan Jepang yang berlangsung selama beberapa tahun, perseteruan internal, dua agresi militer, gangguan terdahap sumber daya alam produktif, perpecahan otoritas, gangguan sosial, dan semua yang diakibatkan oleh hal-hal tersebut, menimbulkan pengaruh yang dapat dirasakan selama bertahun-tahun ke depan.”
!break!
Angka-angka statistik mendukung pernyataannya. Sebagai contoh, di bawah penjajahan Jepang, hasil panen karet menurun hingga sekitar 20 persen, kopi hampir 30 persen, teh turun hingga 5 persen. Lalu, bayangkan sebuah permasalahan yang terkait erat dengan kemampuan bangsa tersebut dalam bekerja: kesehatannya. Di timur Jawa saja, 50 persen penduduk menggigil dalam sekurang-kurangnya satu serangan malaria per tahun. Hampir dua setengah juta menderita tuberkulosis, dan 600.000 buta—mayoritas disebabkan oleh trachoma.
Kekuatan medis seperti apa yang dimiliki oleh Indonesia untuk menghadapi situasi tersebut? Kurang lebih satu dokter untuk setiap 57.000 jiwa! Kurangnya personil terlatih berlaku di setiap bidang ekonomi—pengacara, ahli teknik, ahli pertanian, guru, tukang pipa, tukang listrik. Sebutkan saja, dan Indonesia belum memilikinya. Sebagian besar perencanaan rekonstruksi dan pembangunan Indonesia telah tertulis di atas kertas dan merupakan rencana yang baik. Masalahnya, siapa yang akan mengimplementasikannya, dan kapan?
Seluruh Indonesia Bersekolah
Mungkin salah satu fakta terpenting tentang Indonesia adalah kenyataan bahwa Indonesia sangat ingin belajar. Saya ingat orang-orang yang saya temui di seluruh Indonesia berupaya sebaik mungkin, melawan segala rintangan, untuk membantu diri sendiri dan negara mereka agar tumbuh dan menjadi dewasa. Saya teringat teman saya, Haroun el-Raschid, mantan Hakim Ketua Sumatra, yang kini menjabat sebagai kepala sekolah hukum yang didirikannya di Padang bersama lima guru lainnya. Gaji bulanannya tidak akan mencukupi untuk membeli sebuah ban mobil. Saya teringat seorang anak lelaki siswa sekolah menengah di Surakarta yang belajar di pagi hari dan kemudian mengajar di sore hari.
Melalui upaya-upaya orang seperti itulah Indonesia berhasil memotong tingkat buta hurufnya dari sekitar 93 persen menjadi 45 persen dan berharap (mungkin secara optimis) untuk mengentaskannya pada 1961. Indonesia telah berhasil meningkatkan jumlah sekolah dasar dari 18.000 tahun 1940 menjadi 32.000 hari ini, sekolah menengah dari 144 menjadi 2.700, siswanya dari 2 juta hingga lebih dari 8 juta. Jumlah buku cetak, peralatan laboratorium, dan guru masih sangat menyedihkan, dan kelas-kelas seringkali diadakan di gubuk-gubuk beratap daun nipah. Namun pencapaian Indonesia cukup mengesankan.
!break!
Di bidang medis, saya teringat seorang dokter Borneo yang wilayah kerjanya meliputi sebuah hutan dengan kurang lebih 300.000 penghuni; untuk mencapai sektor utara ia harus berjalan ke arah hulu menggunakan perahu motor tempel selama enam jam. Dengan perawat-perawat tak berpengalaman, tanpa ahli anastesi, tanpa sinar X, sebuah tempat tidur lipat tua yang berfungsi sebagai meja operasi, dan sebuah lampu minyak sebagai alat penerang, tempat tidur tanpa seprai dan sebuah tungku arang untuk dapur, lelaki ini terus bekerja dengan efektivitas yang semakin meningkat.
Waktu Semakin Mendesak bagi Indonesia
Di beberapa daerah di Indonesia, jika Anda bertanya kepada seorang lelaki di sawah mengenai jarak yang harus ditempuh untuk mencapai sebuah kota, ia akan menghitungnya menggunakan jumlah bakul nasi yang harus dimasak selama perjalanan. Ia mungkin pernah melihat sebuah jam tangan, tetapi waktu dalam konteks Barat masih sedikit aneh bagi pemahaman si lelaki.
Namun, dalam masyarakat Indonesia yang luas, sebuah kesadaran mengenai arti waktu bagi Republik yang masih muda menjadi semakin jelas kini. Mereka paham bahwa kemerdekaan saja tidak cukup untuk memberikan solusi. Mereka tahu bahwa sementara ekonomi mereka bergantung pada tanah subur yang menjadi fondasi konkretnya, superstruktur bisnisnya masih goyah, dan upaya menyelamatkannya harus segera dimulai, sebelum terlambat.
Seorang industrialis di Medan mengatakan, ”Kami tengah melakukan kemajuan. Perdagangan ekspor dan impor kami akhirnya mencapai titik keseimbangan. Namun untuk menanggulangi pokok permasalahannya dibutuhkan 25 tahun, atau mungkin seratus tahun. Saya bertanya pada diri sendiri, apakah dunia akan memberikan kami waktu barang lima tahun?”
Itulah pertanyaan yang paling kuingat ketika meninggalkan Indonesia. Di bandara Kemajoran, bendera-bendera dari 29 negara yang telah menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung yang bersejarah masih berkibar. ”Selamat djalan!” sahut teman-temanku. ”Semoga nasib baik menyertaimu di jalan!” Saya membalas, ”Selamat tinggal! Semoga nasib baik menyertaimu di sini.” Saya berharap mereka akan memperolehnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR