Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim telah menjadi ancaman global yang mendesak, mendorong kita untuk mencari solusi inovatif. Salah satu jawaban yang semakin menarik perhatian adalah potensi "blue carbon" atau "karbon biru".
Istilah ini merujuk pada karbon dioksida yang ditangkap dan disimpan oleh ekosistem laut dan pesisir, terutama mangrove, lamun, dan rawa garam. Disebut "biru" karena sebagian besar karbon ini tersimpan di dalam sedimen laut, terkubur hingga kedalaman enam meter di bawah permukaan.
Laut, yang sering disebut sebagai "paru-paru Bumi", memainkan peran krusial dalam mengatur iklim planet kita. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa lautan telah menyerap 90% panas berlebih akibat aktivitas manusia dan 23% emisi karbon dioksida kita.
Namun, yang lebih mengagumkan adalah kontribusi ekosistem karbon biru. Meskipun hanya mencakup 2% dari permukaan laut, ekosistem ini mampu menyerap hingga 50% karbon dioksida global.
Mangrove, misalnya, adalah juara sejati dalam menyimpan karbon. Hutan bakau ini dapat menyimpan karbon lima kali lebih banyak per hektar dibandingkan hutan daratan.
Lamun, padang rumput bawah laut yang sering terabaikan, juga memiliki peran penting. Diperkirakan lamun mampu mencegah pelepasan hingga 650 juta ton CO2 per tahun, setara dengan emisi industri pengiriman global.
Selain manfaatnya dalam mitigasi perubahan iklim, ekosistem karbon biru juga memberikan berbagai layanan ekosistem lainnya. Mangrove, misalnya, bertindak sebagai benteng alami yang melindungi garis pantai dari abrasi dan gelombang badai, sekaligus menyediakan habitat bagi berbagai spesies laut.
Keberadaan ekosistem karbon biru yang sehat tidak hanya memberikan manfaat lingkungan yang signifikan, tetapi juga membuka peluang ekonomi yang menarik.
Melalui skema perdagangan karbon, negara-negara dan perusahaan dapat memperoleh kredit karbon dengan cara melindungi dan memulihkan ekosistem karbon biru. Kredit karbon ini kemudian dapat diperdagangkan di pasar karbon global, menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat setempat.
"Wilayah Delta Indus di Sindh, Pakistan, merupakan salah satu contoh potensi besar dari sektor karbon biru," ungkap Murtaza Talpur (asisten direktur Climate Change Adaptation di Pakistan Red Crescent Society, yang bertempat di Islamabad, Pakistan) di laman The News.
Proyek Delta Blue Carbon (DBC) telah menunjukkan bagaimana negara ini dapat memanfaatkan potensi karbon birunya untuk berkontribusi pada pasar karbon global dan meraih keuntungan ekonomi yang signifikan.
Baca Juga: Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
KOMENTAR