Kawanan lumba-lumba berenang di antara pepohonan. Dengan meliuk-liukkan tubuh, binatang-binatang itu meluncur di antara cabang pohon, lalu menggelung seperti ular mengitari batang pohon yang bergalur. Tatkala ikan berwarna hijau menyala melesat di antara dedaunan, lumba-lumba yang warnanya merah dadu seperti permen karet itu pun menyergapnya bermodalkan moncong panjang yang penuh gigi.
!break!
Ini bukanlah alam mimpi warna-warni dari novel Gabriel García Márquez; inilah musim hujan di bagian hulu Sungai Amazon, di hilir kota Iquitos, Peru. Sungai tersebut meluap menggenangi hutan hujan, sehingga lumba-lumba air tawar tergoda untuk berburu ke dalam rimba.
Lumba-lumba Amazon, Inia geoffrensis, atau boto terpisah dari nenek moyang baharinya sekitar 15 juta tahun lalu, pada kala Miosen. Menurut ahli biologi dari California Academy of Sciences di San Francisco Healy Hamilton, permukaan laut saat itu lebih tinggi dan sebagian besar Amerika Selatan, termasuk lembah sungai Amazon, mungkin digenangi oleh air dangkal yang bisa dikatakan payau. Hamilton menduga, saat laut pedalaman ini menyurut, boto tetap berada di lembah sungai, berevolusi menjadi makhluk tersendiri yang sedikit saja kemiripannya dengan lumba-lumba hidung botol. Boto memiliki jidat bulat menonjol serta moncong ramping panjang yang cocok untuk menangkap ikan di antara cabang pohon atau mengaduk lumpur sungai untuk mencari krustasea. Tak seperti lumba-lumba laut, tulang-tulang leher boto tidaklah menyatu sehingga dapat ditekuk sampai 90 derajat—ideal untuk meliuk di antara pepohonan. Binatang ini juga punya sirip depan yang besar, sirip punggung yang kecil (sirip punggung yang besar hanya akan menghambat gerak di tempat sempit), dan mata yang kecil—pantulan suara atau ekolokasi membantu boto menentukan letak mangsanya di dalam air keruh.
Dengan berat mencapai 200 kilogram dan panjang dua setengah meter, boto atau lengkapnya boto vermelho (lumba-lumba merah) adalah yang terbesar di antara empat spesies lumba-lumba sungai yang sejauh ini diketahui. Spesies lainnya hidup di Sungai Gangga India dan Sungai Indus Pakistan, di Sungai Yangtze China, serta di Sungai Río de la Plata antara Argentina dan Uruguay. Semua lumba-lumba sungai ini tampak serupa dari luar, ujar Hamilton, padahal keempatnya tidak tergolong dalam famili yang sama. Penelitian DNA oleh Hamilton dan ilmuwan lainnya menunjukkan bahwa lumba-lumba sungai berevolusi dari cetacea (ordo yang juga mencakup paus) laut purba pada setidaknya tiga peristiwa—pertama di India, kemudian di China dan di Amerika Selatan—sebelum lumba-lumba laut modern muncul sebagai kelompok tersendiri. Dalam sebuah contoh peristiwa yang disebut sebagai evolusi konvergen ini, spesies yang terisolasi letaknya dan tersendiri genetikanya mengembangkan ciri-ciri yang sama karena beradaptasi pada lingkungan yang serupa.
Setiap musim semi, boto dapat meninggalkan kurungan sungainya untuk kembali mencicipi habitat mereka dahulu kala. Di Cagar Alam Mamirauá di Brasil barat yang jadi lokasi Tony Martin dari University of Kent, Inggris, mempelajari boto selama 16 tahun terakhir, dua anak sungai Amazon membanjiri ribuan kilometer persegi hutan untuk selama setengah tahun, mengubah hutan tersebut menjadi laut luas yang bertajuk pepohonan. Martin dan kolega Brasilnya Vera da Silva menemukan bahwa boto khususnya betina berkelana jauh ke dalam rimba—mungkin untuk berlindung dari jantan jambon terang yang agresif. Boto betina umumnya berwarna abu-abu; warna jambon pada ikan jantan, Martin dan da Silva percaya, warna jantan yang merah dadu adalah jaringan bekas luka (kulit yang rusak akibat terkikis).
!break!
“Jantannya saling serang dengan sengit,” ujar Martin. “Mereka brutal. Saling gigit rahang, ekor, sirip, mencabik lubang pernapasan. Boto jantan yang besar secara harfiah dipenuhi bekas luka.” Hanya sebagian kecil jantan yang berubah menjadi jambon terang, kata Martin, dan jantan-jantan seperti itulah yang paling menarik betina—setidaknya selama musim kawin, saat air kembali surut ke tubuh sungai dan keduanya hidup di tempat yang sama.
Berwarna jambon bukanlah strategi satu-satunya bagi jantan untuk menarik betina. Boto jantan juga terkadang mengambil rumput atau potongan kayu dengan moncongnya, berputar dengan kepala keluar dari air, lalu menghempaskan benda tersebut ke permukaan air. Penduduk setempat selama ini menganggap boto tersebut hanya bermain-main, tetapi Martin menemukan bahwa hanya jantan yang membawa benda dan hanya kalau ada betina di dekatnya. Di samping itu, kemungkinan binatang itu berkelahi 40 kali lebih besar saat sedang pamer seperti itu. Tak ada mamalia lain kecuali manusia dan simpanse yang membawa benda untuk dipamerkan, kata Martin. “Ini seperti cowok yang sedang nampang—sama halnya seperti punya Ferrari,” katanya menjelaskan.
Lumba-lumba sungai tidak dimangsa selain oleh manusia. Pada Desember 2006, lumba-lumba sungai Yangtze yang disebut baiji, kalah oleh polusi, baling-baling kapal, bendungan, dan penangkapan ikan berlebihan; hewan itu menjadi cetacea pertama yang dinyatakan punah secara “fungsional”— artinya tak dapat berkembang biak secara mandiri, walaupun masih ada satu atau dua spesimen yang tersisa. “Hilangnya baiji ibarat menggergaji pohon kehidupan cetacea,” ujar Hamilton. “Kita kehilangan 20 juta tahun evolusi independen.” Lumba-lumba sungai Gangga juga dalam keadaan genting; hanya beberapa ribu yang tersisa, dan hewan itu hidup dalam beberapa sungai paling tercemar di bumi.
Spesies Amazon mungkin memiliki peluang terbaik; walaupun jumlahnya tidak pasti, Martin memperkirakan setidaknya masih tersisa 100.000 ekor boto. Namun, kecenderungannya mengkhawatirkan. Di Cagar Alam Mamirauá, populasi boto yang diteliti Martin berkurang separuh dalam kurun tujuh tahun terakhir. Nelayan menangkap boto untuk umpan ikan lele, ujar Martin, atau mamalia air itu secara tak sengaja mati tersangkut jaring apung.
Dulu tak terbayangkan bahwa manusia dapat membunuh lumba-lumba. Dalam kepercayaan masyarakat Amazon, boto adalah encantado—makhluk gaib, jadi-jadian yang terkadang berubah wujud menjadi manusia, keluar dari air untuk memukau manusia dan mengajak mereka ke negerinya yang di bawah air. Sebagian orang mengatakan makhluk itu memakai topi untuk menyembunyikan lubang napas dan jidatnya yang nongnong. Sayang disayang, cerita-cerita itu terdengar tak masuk akal bagi masyarakat modern. Karena untuk bertahan hidup di masa sekarang, boto mungkin perlu memukau khalayak yang lebih luas.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR