Fauna-fauna dari China, Kamboja, maupun Vietnam bisa beriringan mencapai Jawa ketika itu—dalam hal ini dibuktikan oleh fosil-fosil fauna yang ditemukan di daerah Punung dekat Pacitan, Jawa Timur. Daftar ini diisi oleh fauna seperti Capricornus sumatraensis (kambing), Ursus malayanus (beruang), dan—jangan terkejut—Pongo pygmaeus (orangutan).
Pada zaman purba, orangutan memang hidup pula di Jawa, tidak hanya di Sumatra dan Kalimantan seperti yang kita ketahui sekarang. Fosil orangutan tidak hanya diketemukan satu-dua, melainkan banyak. ”Sehingga,” kata Fachroel, ”agaknya kita dapat menyimpulkan pada masa tersebut Jawa mulai banyak tertutup oleh hutan hujan tropis yang lembap, menggantikan sabana yang tadinya mendominasi lanskap.”
BERENANG KE SULAWESI
Kepulauan Indonesia yang terdiri dari 17.000 lebih pulau dibentuk oleh serangkaian peristiwa geologis yang memakan waktu sekitar 50 juta tahun—dimulai pada Kala Eosen Awal. Adapun bentuk Kepulauan Indonesia yang persis seperti sekarang barulah mengemuka pada sekitar 10.000 tahun lampau—awal dari Kala Holosen, sebuah rentang waktu geologis yang juga mencakup masa sekarang saat kita hidup.
Dalam rangkaian peristiwa geologis tersebut, bagian barat Sulawesi awalnya tersambung dengan Kalimantan dan baru mulai terpisah pada 40 juta tahun silam. Itulah saat terbentuknya selat nan dalam di antara kedua pulau tersebut, Selat Makassar. Dalam konteks migrasi dan penyebaran satwa purba, selat tersebut menjadi penghalang efektif bagi migrasi fauna darat Asia—bahkan di Kala Pleistosen yang memunculkan jembatan darat sekalipun. Kendati begitu, beberapa jenis fauna berhasil mencapai Sulawesi.
!break!
Dari penemuan-penemuan fosil di Lembah Walanae dekat Beru, sejak tahun 1947 tersusun pengetahuan mengenai satwa-satwa purba Sulawesi. Yang ditemukan paling berlimpah ruah adalah fosil Celebochoerus heekereni—sejenis babi endemik. Akan tetapi, ditemukan pula spesies-spesies yang diperkirakan mencapai pulau tersebut melalui ”penyeberangan”. Misalnya saja gajah pigmi Archidiskodon celebensis, Stegoloxodon celebensis (sebelumnya “Elephas” celebensis), dan stegodon pigmi Stegodon sompoensis (pada 1972, Stegodon trigonochepalus ditambahkan ke dalam barisan ini). Fauna airnya diwakili kura-kura raksasa Megalochelys sp.
Inilah berbagai dalil mengenai kenapa fosil satwa-satwa tersebut bisa ditemukan di Sulawesi, Flores, Timor, dan Sangihe: beberapa puluh tahun lalu, seorang ahli Belanda bernama DA Hooijer berteori bahwa semacam daratan pernah terbentuk menghubungkan Sulawesi dengan Flores dan Timor. Daratan itu kemudian hilang akibat pergerakan tektonik pada Kala Pleistosen Pertengahan hingga Akhir. Hooijer menyebut daratan tersebut dengan nama yang kedengarannya menarik: Stegoland—mengacu kepada stegodon yang sama-sama pernah mendiami pulau-pulau tersebut.
Bagaimanapun, konsep Stegoland mendapat tentangan dari beberapa ilmuwan lain. Gert van den Bergh bahkan menyebut teori itu, ”Sudah bisa dicoret.”
Gert mengemukakan, jawaban paling masuk akal mengenai fosil-fosil gajah purba di pulau-pulau yang sekarang (atau sejak dulu) terpisah oleh lautan adalah karena satwa-satwa itu berenang. Untuk kasus stegodon, ia menduga penyeberangan dilakukan di bagian Selat Makassar yang paling sempit pada masa itu yakni dari Kalimantan bagian tenggara (yang dulu terkoneksi dengan daratan Asia) ke Sulawesi barat daya.
”Fosil gajah purba yang ditemukan di Jawa dan Sulawesi atau fosil-fosil nenek moyang gajah seperti mastodon dan stegodon menjadi bukti bahwa gajah mampu berenang. Dalam kondisi tertekan dan stres, gajah memiliki kemampuan berenang hingga sejauh 48 kilometer,” kata Gert. Belalai gajah dapat berfungsi sebagai snorkel yang memungkinkan untuk bertahan lebih lama di air. Tubuh gajah juga memiliki mekanisme sedemikian rupa sehingga mungkin mengapung. Dengan berbagai kemampuan tersebut, lanjut Gert, “Gajah mampu bertahan hidup di perairan luas selama sekitar tiga hari. Gajah primitif pun mungkin demikian.”
!break!
Mudahnya disimpulkan begini: Mastodon, stegodon, atau gajah purba lainnya mungkin tiba di Jawa setelah melintasi daratan yang pernah terbentuk, mungkin juga ditambah berenang sedikit. Mari ingat bahwa di Jawa pun ditemukan banyak mamalia purba lain—yang tidak bisa berenang—yang banyak kemiripannya dengan fauna Asia. Adapun stegodon Sulawesi, hampir dapat dipastikan datang ke pulau itu dengan cara berenang menyeberangi laut.
CERMIN MASA KINI
Lalu, apa yang terjadi sehingga fauna-fauna tersebut punah? Fachroel mengemukakan gagasannya, ”Kemungkinan pada awal Holosen, Paparan Sunda terpisah-pisah lagi sebagai akibat dari naiknya permukaan laut dalam periode interglasial. Jawa terpisah lagi dari Kalimantan, dan juga dari Sumatra. Pada akhirnya, terjadi ’pemiskinan’ pada fauna di tiap-tiap pulau.”
Hal-hal yang menjadi pemunah satwa purba juga termasuk perubahan iklim, persaingan akan makanan dan habitat dengan fauna gelombang berikutnya, juga dengan manusia yang kemudian hadir—walaupun yang terakhir ini mungkin belum menjadi faktor signifikan pada masa itu.
Ketika pertama kujumpai di Bandung sekitar setahun sebelum penemuan fosil gajah purba yang terperosok Blora, Fachroel Aziz sudah mulai menjelaskan banyak hal seraya kami berjalan menelusuri lorong-lorong di antara rak-rak penyimpanan fosil yang bertingkat-tingkat di Museum Geologi, tempatnya bekerja.
Dengan suka hati ia menceritakan sejarah paleontologi di Indonesia yang telah dimulai sejak 1800-an. Nama-nama terkenal di bidang ini seperti Eugene Dubois, Raden Saleh, Von Koeinigswald, H. R. van Heekeren, atau D.A. Hooijer meluncur keluar dari mulutnya, untuk kemudian disebut-disebut lagi di bagian lain.
!break!
Fachroel tampak begitu hidup. Bersemangat. Selama ia berbicara, diam-diam kubayangkan, suatu saat kelak mungkin banyak paleontolog yang menyebut namanya pula, atau nama Gert, ketika bicara tentang paleontologi Indonesia.
Di tengah semangatnya bercerita, Fachroel sesekali kembali kepada kenyataan: dunia yang digelutinya belum mendapat tempat luas di Indonesia. Negeri ini masih memiliki begitu banyak bidang yang barangkali perlu terlebih dahulu diperhatikan dibanding paleontologi. ”Siapa mau memperhatikan fosil?” begitu dia mengatakan. ”Dibanding menganggarkan dana untuk penelitian-penelitian ini, bukankah lebih nyata membangun jembatan?”
Bagaimanapun, inti dari semua yang diungkapkan Fachroel, seperti yang diulanginya lagi di tengah-tengah penggalian fosil gajah di Blora, terletak pada kalimat-kalimatnya yang ini: ”Penelitian-penelitian fosil membuka pengetahuan mengenai kilasan kehidupan di masa lalu, termasuk kehidupan manusia, fenomena alam, iklim, dan mungkin dapat menjadi cermin di masa sekarang dan menuju masa depan.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR