PETUNJUK DARI RAHANG
Segera setelah fosil tersebut ditemukan, media massa memberitakan bahwa temuan itu adalah spesies Elephas hysudrindicus, salah satu jenis hewan pendahulu gajah yang hidup pada Kala Pleistosen Akhir (diperkirakan 400.000-200.000 tahun lalu). Masuk akal, mengingat Dusun Sunggun hanya berjarak beberapa kilometer dari Ngandong, tempat fosil-fosil Pleistosen pernah ditemukan dan memopulerkan tempat tersebut ke telinga para paleontolog di seluruh dunia.
Akan tetapi dalam perjalanan ke lokasi, melalui pesan singkat di ponsel, Gert yang juga pakar spesialis gajah purba mengatakan bahwa masih diperlukan waktu cukup lama untuk menyimpulkan spesies si fosil gajah yang dilihat dari ukuran tulang-tulangnya, paling tidak setinggi tiga meter. ”Belum 100 persen itu Elephas hysudrindicus karena detail tengkorak belum diteliti.”
Di lokasi penggalian, Fachroel mengatakan nama spesies barulah dugaan. ”Untuk memastikannya, kita perlu meneliti gigi dan rahang bagian bawah gajah ini,” katanya. Dalam penelitian lanjutan setelah fosil dipindahkan ke Museum Geologi Bandung, ternyata tidak ditemukan kecocokan antara geraham bawah fosil gajah ini dengan Elephas hysudrindicus, bahkan dengan geraham gajah-gajah purba lain yang mereka miliki fosil dan datanya. “Kelihatannya satwa ini lebih primitif daripada dugaan semula,” ucap Iwan Kurniawan.
Sampel lapisan tanah yang dibawa dari lokasi penemuan di Blora mungkin bisa membantu penentuan umur fosil secara lebih akurat. Namun, teknologi itu hanya bisa dilakukan di Australia. Fachroel menambahkan kalimat yang menjadi pegangan para paleontolog, ”Fosil-fosil ini bagi kami adalah data. Semakin banyak data, semakin dekat kita kepada kebenaran.”
!break!
JEMBATAN DARI ASIA
Kebenaran yang dituju oleh para paleontolog seperti Fachroel bukan hanya tentang spesies si gajah. Lebih dari itu, terkait pula dengan proses evolusi gajah, asal-usul, pola migrasi, dan penyebaran satwa pada masa lalu. Satu yang telah lama diyakini oleh para ilmuwan, gajah ini—seperti juga satwa-satwa purba yang fosilnya ditemukan sebelumnya di Jawa—merupakan pendatang dari daratan Asia.
Banyak jenis mamalia purba tiba setelah melintasi apa yang saat ini menjadi Selat Karimata ataupun Laut Jawa. Dari utara mereka menuju selatan, kemudian bermukim di daratan yang sekarang dikenal sebagai Jawa, Sumatra, atau Kalimantan, beranak-pinak di tempat-tempat yang lalu terkepung oleh laut itu. Segalanya terjadi sebelum hukum alam berlaku dan satwa-satwa tersebut punah dari muka Bumi.
Pada Kala Pleistosen, Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dalam bentuk Paparan Sunda pernah menyatu dengan Benua Asia. Adapun Irian dan pulau-pulau sekitarnya (Paparan Sahul) pernah menyambung dengan Australia.
”Koneksi tersebut terjadi akibat pendinginan global pada Kala Pliosen Akhir hingga Pleistosen Awal,” jelas Gert. Akibatnya, permukaan laut menurun secara fluktuatif sehingga beberapa kali menciptakan koridor yang menghubungkan Paparan Sunda dan Asia.
Meski sering disebut zaman es, sebenarnya suhu udara pada waktu itu tidaklah selalu dingin, tidak pula di semua tempat. Di Indonesia misalnya, pada waktu itu iklimnya kering—seperti di Nusa Tenggara kini. Singkat kata, iklim pada masa itu juga merangsang tumbuhnya sabana di umumnya tanah Jawa.
!break!
Koridor yang tercipta merupakan kunci yang menghubungkan proses geologis dengan terjadinya migrasi fauna purba. Sebagian jenis fauna dari Asia pada saat itu dapat menyeberang ke pulau-pulau Indonesia bagian barat. Gert mengatakan, ”Penurunan permukaan laut pada masa itu sering terjadi minimal 100 meter dari permukaan laut saat ini sehingga banyak terdapat daratan yang menghubungkan pulau-pulau.”
Para ahli cenderung berpendapat bahwa satwa bermigrasi melintasi koridor akibat perubahan iklim yang berulang kali terjadi. Saat di Asia bagian utara menjadi lebih dingin, fauna bermigrasi ke selatan, termasuk ke Jawa yang waktu itu lebih hangat. Binatang-binatang itu terjebak ketika permukaan laut kembali naik, memutus daratan Asia dengan habitat barunya. Yang terjadi kemudian, mereka mencoba beradaptasi dengan habitat di Jawa.
Gelombang fauna yang termasuk perintis di tanah Nusantara antara lain Sinomastodon bumiayuensis (mastodon, sejenis gajah primitif), Hexaprotodon simplex (kuda nil primitif berukuran kecil), dan Megalochelys sp. (kura-kura raksasa). Fosil binatang-binatang itu ditemukan di daerah Satir, Bumiayu, Jawa Tengah. Berdasarkan rekonstruksi ciri-ciri fisiknya, diperkirakan bahwa kelompok fauna ini memang hidup di dataran menyerupai padang luas seperti sabana yang diselingi mangrove.
Kemudian datanglah migrasi tahap berikutnya. Yang paling menonjol dari kontingen ini adalah satwa yang digambarkan seperti gajah modern, tetapi masih lebih primitif, yakni Stegodon trigonochepalus. ”Diperkirakan berasal dari Siwalik dan Narbada (India) serta Myanmar, fauna ini melintasi rute Siva-Malaya menuju Jawa dalam kurun waktu yang kelihatannya tidak jauh berselisih dengan kedatangan Homo erectus,” jelas Fachroel panjang lebar.
Kelompok fauna yang baru tiba ini mendorong terjadinya pergantian ”kekuasaan” dalam dunia fauna di Jawa. Dalam konteks inilah Sinomastodon bumiayuensis digantikan oleh Stegodon trigonochepalus. Keduanya merupakan jenis-jenis fauna yang serupa, tetapi tak sama dengan gajah sekarang, dan keduanya pernah hidup berdampingan pada masa yang sama.
Gelombang migrasi berikutnya diisi oleh fauna yang fosil-fosilnya ditemukan di daerah Ngandong dan Kedungbrubus (dekat Madiun, Jawa Timur). Dalam daftar ini termasuklah nenek moyang gajah modern yakni Elephas hysudrindicus, tapir (Tapirus indicus), ataupun babi (Sus magrognathus).
!break!
Sebelum permukaan laut meninggi lagi pada Pleistosen Akhir, koridor yang menghubungkan Paparan Sunda dengan Benua Asia meluas, kira-kira 80.000-10.000 tahun lalu. Inilah episode di mana terjadi migrasi fauna yang mendekati apa yang kita kenali di masa sekarang. ”Ini saat di mana hutan hujan tropis pertama kali tumbuh,” kata Gert. Mereka menduga, pada masa inilah manusia modern (Homo sapiens) tiba di Jawa.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR