Masih ada tantangan-tantangan filosofis yang harus diatasi. Sebagian besar tantangan tersebut terkait dengan topik ini: atapnya harus seperti apa dan bagaimana seharusnya berfungsi. Para klien cenderung menginginkan atap yang mudah untuk dipelihara dan warnanya seragam hijau sepanjang tahun. Mereka juga menginginkan “rumput yang abadi di langit”, bukan padang rumput musiman. Para pembangun dan arsitek cenderung menginginkan solusi yang dapat timbal-balik, dibakukan, dan universal, semacam sistem atap hijau yang sekarang ditawarkan beberapa “pemain kelas perusahaan besar” dalam industri atap hijau.
Atap hijau, betapa pun, bukan hanya sebuah alternatif biologis untuk menggantikan atap yang biasa. Atap hijau membutuhkan cara berpikir yang berbeda sama sekali. Atap hijau yang distandarkan, seperti misalnya hamparan sedum, lebih baik daripada atap biasa. Tetapi membangun atap yang lebih menguntungkan bagi lingkungan juga mungkin saja—katakanlah misalnya atap hijau yang ditumbuhi spesies lokal. Tujuan beberapa peneliti sekarang adalah menemukan cara membangun atap hijau yang secara ekologis dan sosial dapat diterima dalam segala cara: biaya lingkungannya murah dan dapat dinikmati orang sebanyak mungkin.
Stephan Brenneisen, ilmuwan Swiss dan pendukung fanatik potensi keanekaragaman hayati dari atap-atap hijau, mengatakan dengan sederhana, “Saya harus menemukan solusi yang mudah dan murah, menggunakan bahan-bahan dari wilayah ini.” Itu berarti, semakin berkurangnya ketergantungan struktur atap dan tetumbuhannya terhadap plastik dan bahan-bahan boros energi lainnya. Persoalannya bukan hanya apakah atap hijau bisa berfungsi. Melainkan bagaimana membuat atap-atap tersebut berfungsi dalam cara yang paling berkelanjutan, menggunakan sesedikit mungkin energi, seraya menciptakan keuntungan terbesar untuk habitat manusia dan bukan manusia.
Musim gugur lalu saya naik ke atap Portland Building yang berlantai 15 di pusat kota Portland, AS. Pemandu saya bernama Tom Liptan. Ia adalah Manager Program Ecoroof di kota dan orang yang mengaku terobsesi masalah air-badai. Ia memulai percobaan-percobaannya mengenai atap hijau dengan membangun atap hijau di garasi miliknya sendiri pada 1996. Kami berjalan menuju dinding pembatas atap melintasi penanaman sedum dan selang-selang. Kami melihat ke bawah ke atap balai kota Portland, beberapa lantai di bawah kami. Bangunan itu memiliki atap tar hitam biasa, jenis atap yang biasa kita pakai selama puluhan tahun. Tetapi sebagai bagian dari proyek “Kelabu menjadi Hijau” di Portland—rencana untuk manajemen air-badai yang berkelanjutan—bangunan itu akan segera dilengkapi dengan atap hijau. “Para karyawan menginginkannya,” kata Liptan.
!break!
Dalam sejarah bangunan pemerintahan tersebut, seberapa sering orang yang bekerja di sana berpikir tentang atap tar hitam yang tampak di atas kepala mereka? Setelah atap hijau selesai dipasang, mereka mungkin hanya mengunjunginya sesekali, tetapi mereka tidak akan lupa bahwa atap itu ada di sana, menambah habitat di pusat kota, menyaring hujan, menurunkan suhu. Hal tersebut mengingatkan saya akan sesuatu yang dikatakan oleh Stephan Brenneisen: “Orang-orang merasa lebih senang berada di dalam bangunan di mana kita telah memberi sesuatu terkait dengan tema kembali ke alam.”
Pikirkan jutaan hektare puncak atap yang tidak alami di seluruh dunia. Sekarang bayangkan mengembalikan sebagian jejak manusia kepada alam yang berdampak sangat besar—menciptakan ruang-ruang hijau di tempat yang tadinya hanya ada aspal dan kerikil. Jika sebagian kebahagiaan manusia berasal dari hal yang dibuat sendiri, mengapa tidak?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR