Kemah-kemah suku Badui tersebar di sekiling lokasi lomba dan setiap subuh, para peserta menuntun unta mereka menuju arena. Kendaraan SUV mewah—lebih dari 140 Range Rover, Nissan, Toyota, semuanya hadiah untuk para pemenang—diparkir baris demi baris memagari arena lomba. Para juri memberikan hadiah kedua kepada sejumlah unta lajang, unta yang masih belia, bahkan unta jantan.
Pada hari puncak dalam lomba terbesar tersebut—parade unta sebanyak rombongan pengelana di gurun—Bin Tanaf dan saudara misannya Rames memeriksa unta-unta mereka. Mata-mata mereka telah memilih dengan baik malam itu. Saat Matahari terbit, diam-diam Rames telah menghabiskan uang sekitar 20 miliar rupiah untuk membeli beberapa ekor unta yang sangat sedap dipandang. Bin Tanaf pernah menghabiskan uang lebih dari 10 miliar rupiah untuk membeli seekor unta saja. Sekarang, kedua lelaki itu bergerak santai, bahkan di saat Matahari sudah tinggi. Budaya mereka, yang berakar pada kebutuhan kaum pengelana untuk selalu bergerak, menghargai kemewahan relatif untuk tidak bergerak dan duduk dengan tenang. Ditunggu orang lain menyiratkan peringkat dan status. Jadi, setiap orang ingin datang paling akhir di arena, agar penampilan mereka ibarat seekor burung merak yang menampilkan keagungan lemah gemulai.
Salah seorang penata lomba tiba di tenda Rames dan memintanya bergegas. “Rames, aku khawatir para juri akan menutup pintu gerbang.”
Rames memandang ke sekeliling dengan tenang. Gayanya seperti seorang raja saja layaknya. “Jangan khawatir,” katanya. “Mereka tidak akan menutup pintu gerbang.”
Agak jauh dari sana, Bin Tanaf mondar-mandir di antara unta-untanya, menunggu kabar bahwa Rames sudah meninggalkan kandang untanya. Bin Tanaf adalah sheikh dalam sukunya yang memberinya posisi sebagai orang punya kewenangan, bahkan juga terhadap Rames. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, Rames telah menjalin persahabatan dengan Putra Mahkota Mohammed bin Zayed Al Nahyan—yang, kebetulan saja, berperan sebagai pelindung acara ini—sehingga menguntungkan Rames, mungkin, dalam urusan lomba unta maupun kedudukan dalam keluarga.
Bin Tanaf menunggu. Kemudian, saudara misannya mulai bergerak menuju arena. Bin Tanaf memberi isyarat agar unta-untanya juga bergerak. Perlahan, dia mendekati arena dan—astaga! Rames yang baru naik daun itu menyelimuti unta-untanya dengan jubah perak yang menyilaukan seperti rombongan penyanyi opera yang berjalan ke panggung. Rames menghabiskan dana sekitar 200 juta rupiah sebulan untuk pakan-unta yang istimewa dan hasilnya tampak jelas. Di pintu gerbang, para pengurus untanya melepaskan jubah unta untuk memperlihatkan leher yang menawan dan punuk yang jelas tampak simetris.
Kedua kelompok hewan itu berparade di depan penonton. Kemudian, kedua lelaki itu duduk di kursi kehormatan di panggung, menunggu keputusan juri. Para penyanyi berkumpul, dan pelantang suara memperdengarkan suara mereka keras-keras ke dalam tenda. Beberapa helikopter berputar-putar di atas, terbang miring sehingga anggota keluarga bangsawan ini atau itu dapat menyaksikan arak-arakan. Sementara itu, kedua saudara misan duduk dengan sama-sama menyunggingkan senyuman gelisah, seakan-akan sama-sama menyeringai.
Akhirnya pengumuman yang ditunggu-tunggu: Bin Tanaf.
!break!
Dengan penuh suka cita para lelaki dari keluarga Bin Tanaf melemparkan kain kepala mereka ke udara, meneriakkan pujian, dan memanggul sheikh mereka yang berseri-seri. Masih belum puas, mereka naik ke meja pualam dan memanggulnya lebih tinggi lagi; seluruh tumpukan manusia itu tumbang ketika meja pecah, menumpahkan jeruk, anggur, dan para lelaki di depan panggung. Mereka menata diri di tanah di bawah dan menarikan tarian liar, mengayun-ayunkan tali unta di atas kepala.
Dari satu segi, imbalan untuk Bin Tanaf dapat dengan mudah diuraikan secara modern: sebuah truk besar untuk perjalanan jarak jauh, uang tunai, sebuah piala. Tetapi, kemenangannya yang sejati—kemenangan mengatur siasat, dan kecintaan, serta mata-mata dalam kegelapan—mencerminkan sesuatu yang jauh lebih berharga dan lebih hebat.
Pesta lanjutan di tenda Bin Tanaf berlangsung sepanjang malam. Dua ratus lelaki Badui menyanyi, membaca puisi, dan menceritakan aneka kisah tentang unta. Kelompok lain menabrakkan Land Cruiser mereka dengan kecepatan tinggi ke gumuk pasir yang disinari cahaya rembulan, melempar pasir ke sekelompok anak-anak yang tertawa ria. Bin Tanaf dan putra sulungnya Mohamed duduk di lantai tenda yang terbuka, bercakap-cakap dengan teman-teman mereka mengelilingi tampah besar yang dipenuhi nasi dan daging. Wajah sang ayah berseri gembira. “Inilah hari terindah dalam hidupku,” katanya. Tidak lama kemudian, dua orang lelaki menghampiri sambil membawa tampah lagi, isinya seperti gundukan mungil kekuning-kuningan. “Ah,” kata sang anak. “Punuk unta.”
Itulah hal lainnya yang diberikan unta selama berabad-abad di gurun.
Punuk yang begitu dikagumi itu memberikan pangan bergizi, pertama-tama, bagi unta dan selanjutnya, makanan bergizi bagi penunggangnya. Jadi, kecantikan unta adalah kecantikan yang praktis: punuk yang bentuknya bagus bermakna makanan bergizi. Lubang hidung mirip celah sempit dapat tertutup rapat jika ada hembusan pasir. Kakinya yang panjang dan kurus membuat tubuh unta menjauhi sengatan panas lantai gurun.
Kaki unta yang lebar dan datar, dengan dua jari kaki yang berjarak, mungkin tampak aneh bagi orang asing. Namun, yang dilihat oleh orang Badui hanyalah tapak kaki berbentuk hati yang merambah gundukan pasir Arab, dan melintasi waktu pergeseran pasir.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR