Mobil itu bergerak perlahan mengelilingi kota dan Faradila terus meneriakkan pengumuman melalui pengeras suara. “Ayo cepat, Saudara-saudara! Salat Jumat sudah akan dimulai.” “Hentikan semua kegiatan. Sudah waktunya untuk salat.” Para lelaki di jalanan atau di toko—penjual karpet, tukang mebel, penjual buah-buahan, tukang tembok—menoleh dan memandang mereka. Beberapa orang melihat arloji masing-masing. “Hari ini hari Jumat. Lelaki wajib menjalankan salat Jumat.”
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki unit polisi syariah; seluruhnya ada 800 orang polisi, kebanyakan pria, yang mengawasi daerah itu siang dan malam. Namun, pada tengah hari di hari Jumat , hari Sabat bagi Muslim, penegakan hukum syariah diserahkan kepada kaum wanita, yang boleh salat di rumah. Faradila mengemudikan pickup-nya dengan cepat mengelilingi mesjid besar berkubah lima di pusat kota, kemudian menuju pesisir pantai, yang tampak menawan hati, dengan pegunungan menjulang hijau dari lautan, dan mencekam—lubang-lubang raksasa berubah menjadi lahan berawa akibat tsunami. Salah seorang polisi yang duduk di belakang melihat seorang gadis sedang berjalan di trotoar tanpa mengenakan jilbab, tindakan sembrono di sebuah kota yang penduduk wanitanya yang Muslim menutup hampir seluruh tubuhnya. Pickup itu segera berdenyit dan berhenti. “Jilbab! Jilbab! Jilbab!” si polisi berteriak. Gadis itu terperangah. Dia memberikan tanda seperti orang berpantomim bahwa dia akan segera mengenakan jilbab, dan pickup itu terus melaju.
Ketika waktu salat kian dekat, imbauan Faradila menjadi lebih gencar. “Tutup tokonya!” “Cepat ke mesjid terdekat!” Pikap itu berhenti di depan gedung bertingkat dua yang sudah butut, di pasar ikan, dan di sanggar seni, tempat yang biasa digunakan orang untuk minum-minum. Tim polisi itu melompat turun dari pikap—ibarat para bidadari Charlie’s Angels bergaya Taliban. Dua orang pria segera tertangkap basah. Mereka penjual ikan, begitu kata mereka, dan bau badan mereka pasti mengganggu jamaah mesjid. Para polisi wanita itu tetap saja memberikan surat peringatan.
Sebuah buklet yang disebarluaskan, berjudul Sekilas tentang Syariah Islam di Aceh—di sampulnya terdapat gambar seorang pria sedang dicambuk—merangkum peraturan itu. Jika Anda tertangkap sedang berjudi: enam hingga 12 cambukan. Bergaul dengan lawan jenis secara tidak patut: tiga hingga sembilan cambukan. Minum minuman keras: 40 cambukan. Tidak melaksanakan salat Jumat tiga kali berturut-turut: tiga cambukan. Cambuknya, menurut buklet itu, harus terbuat dari rotan yang tebalnya setengah hingga satu sentimeter. Di pos Polisi Syariah Banda Aceh, dua cambuk dipajang, masing-masing sepanjang tongkat dan kelenturannya seperti alat pemukul lalat . Di situ juga terdapat album foto yang dipenuhi foto pencambukan; lebih dari 100 foto sejak 2005. Orang yang melaksanakan hukuman cambuk itu mengenakan jubah merah hati, sarung tangan putih, dan tudung penutup wajah. Jumlah khalayak yang menonton sangat banyak. Jajak pendapat menunjukkan bahwa, meskipun sebagian besar orang Indonesia mengatakan mereka ingin hukum syariah menjadi landasan kehidupan masyarakat, mereka merasa tidak nyaman tentang pemberlakuan hukuman badan seperti itu. Di luar Aceh, penerapan peraturan berbasis-agama masih sporadis, dengan beberapa daerah melarang perjudian atau minum minuman keras, atau mengharuskan kaum wanita mengenakan jilbab. Meskipun demikian, peraturan tersebut diberlakukan oleh politisi sekuler yang memandang hukum Islam sebagai cara untuk membina nama baik di kalangan konstituen yang taat atau mengalihkan perhatian dari korupsi yang masih merajalela. Di masa depan, begitu kata para pakar, memainkan “kartu Islam” mungkin tidak akan menjadi daya pikat yang bisa menarik massa besar seperti yang terjadi tiga atau empat tahun yang lalu.
!break!
Kecuali, mungkin, di Aceh, yang tampaknya mempercepat proses Islamisasinya dan bahkan mempertimbangkan untuk menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri, sesuai dengan hukuman menurut Quran. Hukuman seperti ini disetujui oleh Faradila. Hukum syariah, begitu dia bersikeras, telah menjadikan Banda Aceh lebih bermartabat dan jauh lebih aman. Dia ingin menyaksikan hukum Islam lebih diperluas cakupannya. “Memotong tangan,” katanya, “dalam situasi yang tepat, bisa menjadi pelajaran bagi orang lain. Tindak kejahatan bisa menurun drastis.” Merajam penzina juga bagus. “Apabila kita mau mengamalkan Islam,” katanya, “kita harus menegakkan hukum.”
ISLAM FUNDAMENTALIS belum lama dikenal di Indonesia dan di sini bentuk agama yang kalem dan tidak berapi-api sudah lama diamalkan, sering disebut dengan “Islam yang Tersenyum.” Islam mula-mula tiba di sini seperti tibanya berbagai hal lain ke kepulauan ini—lewat laut. Tanah vulkanik di kepulauan ini sungguh ideal untuk menanam rempah-rempah, dan pada abad ke-12, sebagian besar pedagang yang mengambil lada dan pala dan cengkih Indonesia ke dunia Barat adalah kaum Muslim dari Timur Tengah. Bagi produsen Indonesia, berpindah agama menjadi Islam memberikan beberapa keuntungan—mitra dagang lebih menyukai sesama Muslim.
Penyebaran Islam ke Indonesia berlangsung secara bertahap dan damai. Apa yang dicapai dalam seabad nan hiruk-pikuk dan simbahan darah di Timur Tengah, berlangsung berlangsung dengan santai di Indonesia selama separuh milenium. Kepulauan Indonesia yang tersebar di bentangan samudra hampir 5000 kilometer dihuni oleh ratusan kelompok etnik dan mereka menganut berbagai agama. Islam turut berperan mempersatukan penduduk yang sebelumnya terpecah-pecah menjadi budaya kawasan nan tunggal. Pada saat VOC yang dikelola Belanda menguasai perdagangan rempah-rempah pada abad ke-17, Islam telah menyebar ke hampir semua masyarakat pesisir Indonesia. “Islam berhasil masuk Indonesia dengan baik karena agama ini mampu menampung budaya dan berbagai agama yang sudah ada saat itu,” kata Syafii Anwar, direktur pelaksana International Center for Islam and Pluralism di Jakarta. “Bahkan dalam arsitektur mesjid pun, gaya lokal tetap dipertahankan.”
Meskipun demikian, ketika penataan kembali dunia pasca Perang Dunia II membuka jalan menuju kemerdekaan dari penjajahan Belanda, presiden pertama Indonesia Sukarno memilih untuk tidak menetapkan agama resmi negara. Menciptakan republik Islam, menurut Sukarno, dapat mengucilkan kalangan minoritas non-Muslim; Sukarno sendiri dilahirkan oleh wanita Bali yang memiliki akar agama Hindu, sementara ayahnya seorang Muslim. Presiden kedua Indonesia Suharto mengambil alih kekuasaan pada 1966, ketika meletus kekerasan antikomunis yang menewaskan setengah juta jiwa, dan untuk sementara waktu dia berhasil meredam kekejaman dan memupuk pertumbuhan ekonomi. Namun, rezim pemerintahannya sarat penindasan dan bergaya militer. Pengunduran diri Suharto pada 1998 dipicu oleh gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa, berkekuatan jutaan orang yang sebagian besar Muslim—perkembangan yang oleh sejumlah ahli sejarah dikatakan sebagai tonggak sejarah dalam Islam modern.
!break!
Namun, akhir rezim Suharto juga menegaskan perpecahan di dalam masyarakat Muslim, antara pihak yang mendukung perpaduan tradisional antara Islam dengan kepercayaan setempat dan pihak yang berupaya “menyucikan” Islam dan mengikis nuansa regionalnya. Pertikaian ini berlanjut sampai sekarang, dikobarkan antara lain oleh ide dan praktik yang berasal dari aliran Wahabi yang ketat di Arab Saudi, yang mendanai sejumlah universitas Islam dan pondok pesantren di seluruh Indonesia.
Meski begitu, di seluruh negeri ini Islam terus berpadu dengan begitu banyak kepercayaan dan tradisi pribumi. Pukulan bedug yang dulu selalu berkaitan dengan berbagai upacara rakyat sering kali digunakan sebelum adzan, mengawali lantunan ayat-ayat Quran yang diperdengarkan lewat pengeras suara dari menara mesjid. Kelompok Islam di Pulau Lombok bahkan suka minum arak kelapa tradisional dalam upacara perayaan, meskipun Quran melarang orang minum minuman beralkohol.
MUNGKIN UNGKAPAN KHAS “Islam yang Tersenyum” dapat ditemukan di Jakarta, ibukota Indonesia yang kacau dan berantakan. Di sini dapat dijumpai mal dan bioskop megah nan mewah dengan nama seperti Hypermart dan Blitzmegaplex sedang dibangun, dan gedung pencakar langit mewah berbatasan dengan kawasan kumuh yang padat penduduk. Di sinilah, di gang berkerikil, terdapat kantor Ki Demit yang berdebu dan penuh barang. Ki adalah panggilan kehormatan bagi penganut aliran kebatinan Indonesia. Ki Demit yang berarti Hantu Kecil adalah lelaki 28 tahun, berwajah kekanak-kanakan, dan putra seorang ki juga—Hantu Besar. Dia juga cucu serta buyut sederetan ahli kebatinan. “Aku memiliki garis keturunan ahli kebatinan yang paling sakti di Indonesia,” katanya.
Di kebanyakan tempat di Timur Tengah, pernyataan seperti itu bisa dianggap bid’ah—segala sesuatu yang bersifat paranormal yang tidak berkaitan dengan Allah dilarang dalam Islam—tetapi, pada kain batik hitam di ruang tunggu Ki Demit tertulis daftar keahliannya. Yang tercantum antara lain santet, pelet, kekebalan, dan kejantanan. Satu dinding dipenuhi foto para selebritis—bintang sinetron, penyanyi, pelawak—yang pernah meminta bantuan Ki Demit atau ayahnya.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR