Para pelanggan Ki Demit duduk bersila di lantai di hadapannya, dengan kipas angin yang suaranya berdenyit di langit-langit. Ruangannya pun dipenuhi lilin, botol minyak wangi, tasbih, dan pisau antik. “Aku bisa membaca pikiran orang dan aku dapat melihat apa yang akan terjadi,” katanya. “Tapi, aku tidak bermaksud menyaingi Tuhan. Aku hanya perantara Tuhan.” Di banyak akhir pertemuan, dia memberikan kepada pelanggannya segenggam bunga kering yang menurutnya sudah diberi kekuatan gaib. Setelah pelanggannya mandi dengan air bunga itu, katanya, jampi-jampinya akan mulai bekerja. “Aku Muslim yang baik,” begitu Ki Demit bersikeras. “Tentu saja aku salat lima waktu. Tentu saja aku berpuasa di bulan Ramadan. Tetapi, jauh sebelum Islam datang ke Indonesia, leluhurku melaksanakan ritual ini. Ayahku mengajariku sebagai seorang ki, dan apabila aku punya anak lelaki, tentu aku akan mengajarinya juga. Aku pemeluk Islam yang taat, tetapi aku juga mengamalkan kesaktianku. Kita tidak bisa main-main dengan kesaktian ini.”
DI BAGIAN KOTA yang berseberangan dengan rumah Ki Demit terdapat studio televisi tempat penyanyi merangkap pembawa acara bincang-bincang Dorce Gamalama merekam acara hariannya (acara televisi itu berakhir Mei 2009). Dorce adalah Oprah Indonesia dan dikenal luas dengan nama panggilan Bunda. Dalam studio, dia merekam acaranya di hadapan penonton yang kebanyakan wanita setengah baya dan berjilbab—Muslim konservatif tampaknya merupakan penggemar setianya, mungkin karena Dorce sendiri, di balik semangat meluap-luap dan senyum lebarnya, adalah seorang Muslim yang taat. Di dekat rumahnya di Jakarta, dia membangun mesjid sendiri.
Oh ya, satu hal lagi: Dorce terlahir sebagai laki-laki. Dia seorang waria. Dia mengalami “kondisi” tersebut, begitu dia menyebutnya, sepanjang hidupnya dan melakukan operasi kelamin pada usia 20-an tahun. Dia pernah menikah dua kali, keduanya dengan pria. Dia punya 300 pasang sepatu dan seribu wig. Dia suka menyanyi, berjoget, dan melontarkan lelucon ringan yang menyerempet porno. Dia sering bercanda menertawakan diri sendiri.
Acara bincang-bincangnya, yang menampilkan sejumlah bintang film, pemusik, dan olahragawan, menayangkan obrolan khas bernuansa Indonesia—keunikan dirinya menyebabkanya dapat mengungkapkan secara bebas sesuatu yang orang lain mungkin sungkan mengemukakannya. Dia berceloteh tentang masalah perkawinan, dan bicara blak-blakan tentang seks. (“Para wanita, kalau kalian ingin bercinta, tidak usah menunggu ajakan suami. Langsung saja ajak suami untuk bercinta.”)
!break!
Di kamar gantinya setelah suatu acara berlangsung, dia menendang sepatunya sampai lepas dan menyambut penggemar yang terus berdatangan. Seorang pemuda 19 tahun berkata, “Aku suka acara Bunda karena Bunda menggemaskan.” Seorang wanita 90 tahun berkata, “Aku ingin sekali mencium Bunda.” Sepanjang pembicaraan itu, dia jarang berhenti bicara, mengenang saat-saat awal dia memasuki dunia hiburan, ketika dia menampilkan acara hiburan di atas pesawat dalam penerbangan carteran ke Mekah. Hanya di Indonesialah seorang penyanyi waria dianggap layak pergi menunaikan ibadah haji.
“Aku orang normal,” katanya. “Aku berperilaku sebagai seorang wanita. Aku juga bisa bersikap santun! Aku tidak setuju dengan seks sebelum menikah.” Ketika ditanya apakah keyakinannya lebih penting daripada kariernya, dia tampak tersinggung berat. “Hidupku untuk Tuhan,” katanya.
ITULAH YANG DIKATAKAN SEMUA ORANG: kaum militan, penganut aliran kebatinan, polisi syariah, bintang TV. Bersatu dalam menyembah kepada Tuhan, berbeda-beda dalam cara yang dianggap tepat untuk mengungkapkan cara menyembah. Bentuk Islam yang sesuai dengan pola pikir generasi berikutnya—Islam Tersenyum yang toleran atau Islam berhaluan keras dan kadang bengis yang didukung para ektremis—dapat menentukan jalan yang diambil Indonesia dan mungkin memberikan model untuk masa depan Islam global. Salah satu tempat untuk memperkirakan arahnya adalah di pondok-pondok pesantren, terutama pondok yang berada di ujung jalan pedesaan di Ngruki, tempat Abu Bakar Baasyir mengajar.
Pesantren itu sebenarnya sebuah tempat yang nyaman, beberapa gedung bertembok putih dengan atap genting berwarna merah dan biru. Di luar pintu gerbang tampak seorang lelaki menjual susu jahe dengan gerobak yang ditarik sepeda. Di depan mesjid pesantren, di tengah pondok, tampak deretan sandal jepit warna-warni dalam kotak-kotak rak kayu. Teriakan terdengar dari lapangan basket. Sekitar 1.500 orang santri, santri perempuan sedikit lebih banyak daripada santri lelaki, bersekolah di pesantren yang menyediakan pendidikan tingkat SMP dan SMU. Para santri tinggal di asrama, 20 hingga 30 orang per kamar, dan tidur di kasur yang digelar di lantai.
!break!
Noor Huda Ismail adalah mantan santri di Ngruki, sekarang berusia 36 tahun dan pakar tentang isu-isu keamanan di Asia Tenggara. Dialah yang kuajak untuk membantuku menyiapkan wawancara untuk artikel ini. Setelah bom Bali pertama, kata Ismail, pemerintah Indonesia mengirim tim penyelidik ke Ngruki. Hasilnya tidak meyakinkan. “Tidak ada yang khusus tentang terorisme dalam kurikulum,” kata Ismail. “Tampilan Ngruki sama saja dengan sekolah pada umumnya. Tidak ada yang dirahasiakan—kecuali jika Anda ‘dicomot.’”
Selama di Ngruki, Ismail memang dicomot. “Indoktrinasi yang kujalani berlangsung di luar kelas,” katanya. “Diawali dengan beberapa kali pertemuan kecil, pertemuan antara guru dan santri dalam acara olahraga, ketika jalan-jalan siang. Kepadaku dikatakan bahwa musuh kami kuat.” Dia adalah calon kuat, begitu menurut pendapatnya, karena kemahirannya berbahasa Inggris dan Arab.
“Tepat sebelum lulus,” kata Ismail, “aku diundang ke salah satu rumah guru. Aku duduk di tikar di lantai. Cahaya lampunya redup. Kami bertiga di situ, semuanya santri. Pesan yang kami terima adalah bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan dan jika aku ingin masuk surga, aku harus bergabung dengan pasukan mereka. Usiaku baru 15 tahun.” Salah seorang teman sekamar Ismail adalah Hutomo Pamungkas yang sekarang menjalani hukuman penjara seumur hidup karena terlibat dalam bom Bali. “Sungguh mencengangkan karena ternyata tidak banyak di antara kami yang beralih menjadi ekstremis,” ujar Ismail.
Robert W Hefner, antropolog yang mempelajari politik Muslim di Indonesia, percaya bahwa paham ekstrem Islam telah kehilangan sebagian besar momentumnya di kepulauan ini, meskipun mungkin mustahil menghentikan semua serangan. Pujian utama harus diberikan kepada kepolisian Indonesia yang bukan saja berhasil menangkap ratusan pendukung Islam garis keras, namun juga berhasil “meluluhkan hati” sejumlah militan narapidana dengan menawarkan kunjungan istri untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan beasiswa untuk anak-anak mereka. Namun, perubahan itu juga berkat upaya puluhan tahun yang dilancarkan para pendidik Islam yang menerapkan reformasi di sekolah mereka. Sejak 2004, semua murid yang bersekolah di pesantren harus mendapatkan pelajaran kewarganegaraan, hak asasi manusia, dan demokrasi. Bahkan Ngruki, kendati memiliki reputasi sebagai sarang penganut paham radikal, menerima garis haluan yang ditetapkan pemerintah itu.
!break!
Pada akhirnya, Indonesia mungkin memang terlalu luas dan beragam sehingga mustahil dimasukkan ke dalam definisi Islam yang sempit. Bahkan sesuatu yang bersifat sekuler seperti remaja Indonesia yang meniru American Idol bisa menunjukkan betapa beragamnya Islam di Indonesia. Pada sesi yang belum lama ini usai, dua finalisnya sama-sama wanita Muslim. Yang seorang mengenakan jilbab, sementara yang lainnya tidak. Tampaknya tidak ada yang mempermasalahkan hal ini. Motto nasional Indonesia pun adalah “Bhinneka Tunggal Ika—berbeda-beda, tetapi tetap satu.”
“Islam di Indonesia ibarat sebuah tenda raksasa yang menampung semua suara untuk saling berbicara,” kata Robin Bush dari Asia Foundation. Kelompok minoritas, begitu dia menjelaskan, dapat menerima banyak perhatian dari media dan membuat orang takut menyuarakan pendapat mereka secara terbuka. Mereka bahkan mengirimkan orang untuk melaksanakan bom bunuh diri ke hotel. Namun, jangkauan mereka belum sampai ke kotak suara.
Tentu saja hal ini dapat berubah. Korupsi pejabat pemerintah yang masih terus terjadi, pemimpin mirip-Suharto, seorang imam kharismatis yang dapat mempersatukan orang-orang yang tidak puas—semua ini mungkin saja menggoyahkan keseimbangan Indonesia. “Kalau pemerintahan kami yang sekuler gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyat, Jamaah Islamiyah bisa merekrut banyak orang yang resah ini,” kata Ismail. “Menurut pendapatku, kami akan terus-menerus berubah,” dia menambahkan. “Apabila pengaruh barat menjadi terlalu kuat, unsur-unsur Islam akan semakin lantang. Manakala suara Islam terlalu nyaring, semakin nyaring pula suara pihak sekuler. Akan selalu begitu keadaannya. Naik dan turun. Naik dan turun. Inilah Indonesia.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR