Perilaku orangutan yang dinilai dapat beradaptasi dengan baik akan menjadi “model” bagi orangutan yang masih dalam program rehabilitasi. Program pelatihan dapat dimodifikasi sehingga dapat mencapai atau mendekati perilaku orangutan yang “sukses”, yaitu perilaku yang mirip atau sama dengan orangutan liar yang mampu mencari makanan hutan termasuk makan dengan cukup, membuat sarang untuk istirahat dan tidur, berinteraksi sosial dengan baik dengan sesama orangutan, termasuk tahu bagaimana menghindari pemangsa.
Empat bulan setelah pelepasliaran, Gauri dan Victor menghilang. Sebulan setelah menghilang, Gauri ditemukan oleh asisten peneliti tidak jauh dari kandang singgahnya. Kondisi tubuh Gauri lemah dan tampak ketakutan. Selama dua hari kondisi Gauri tidak membaik, hanya duduk diam di sekitar kandang dan makan seadanya dari tanaman-tanaman di sekelilingnya. Akhirnya, peneliti mengizinkan Gauri untuk ikut ke kamp agar dapat diperiksa kesehatannya, juga untuk diberi tambahan vitamin. Selang sepekan kemudian, Victor ditemukan sekitar satu kilometer dari kandang singgahnya dahulu. Dia tengah bermain di tanah, dan begitu melihat tim peneliti, Victor langsung minta digendong oleh salah satu staf. Masih jinak.
Gauri yang hingga sekitar 120 hari kehidupannya di hutan Meratus masih tetap mendekap sifat jinaknya adalah anak orangutan pertama yang dipantau kemudian diketahui mati setelah pelepasliaran dilakukan. Hasil nekropsi menunjukkan bahwa Gauri keracunan makanan, mengidap pneumonia (paru-paru basah), radang hati, dan radang lambung. Lambung Gauri nyaris kosong dan juga dipenuhi oleh gelembung-gelembung stres. Sama seperti manusia, orangutan juga bisa mengalami stres, dan akibatnya bisa mematikan.
Gauri jelas bukanlah contoh sukses program rehabilitasi dan reintroduksi yang berdasarkan RSG-IUCN punya dua ukuran, yaitu kemampuan bertahan hidup dan kelanjutan bereproduksi. Pada kasus monyet golden lion tamarin asal Brasil misalnya, sukses program tersebut diukur lewat pengamatan jangka panjang yang membuahkan data individu yang lengkap, baik tentang jumlah yang di lepasliarkan, yang bertahan hidup, mati dan yang akhirnya bereproduksi.
!break!
Kalimantan Timur memiliki dua lokasi pelepasliaran orangutan, yaitu hutan lindung Sungai Wain dan hutan Gunung Meratus. Data Wanariset Orangutan Reintroduction Project (WORP) memperlihatkan, hingga tahun 2003 sudah sekitar 400 anak orangutan dilepasliarkan di kedua hutan tersebut, termasuk 63 orangutan liar yang ditranslokasi atau dipindahkan akibat kebakaran hutan 1997-1998. Beberapa ekor orangutan yang pernah dilepaskan di hutan Sungai Wain juga terpaksa dipindahkan ke hutan Meratus karena beberapa kali mencoba untuk keluar dari kawasan hutan dan mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar areal pelepasan.
Secara keseluruhan, hasil penelitian mengungkapkan bahwa 92 persen orangutan yang dilepasliarkan ke hutan Meratus sejak 1997 tidak diketahui nasibnya. Dapat diartikan, orangutan-orangutan itu mati atau hilang, kecuali mereka muncul kembali. Adapun total kematian yang pasti tercatat sebesar 3,5 persen dan orangutan yang diketahui berhasil berkembang biak sebanyak 0,3 persen dari total betina yang dilepasliarkan.
Sepanjang penelitian hingga 2003, hanya 14 ekor orangutan yang muncul kembali dan itu cuma 4,1 persen dari total yang dilepasliarkan. Survei 2004 menemukan sarang orangutan dan pertemuan langsung dengan orangutan—dari kelompok yang dilepasliarkan jauh sebelum Gauri—dan mereka menyebar cukup jauh dari lokasi pertama tempat mereka dilepas.
WORP mencatat, hingga 2009 ada 20 ekor orangutan hasil pelepasliaran yang terlihat, tetapi tidak dapat dipastikan apakah kera-kera itu adalah orangutan yang sama dengan yang dilihat pada tahun 2004. Pasalnya, tim survei dan teknisi yang bekerja sudah berganti dan tidak ada dokumentasi hasil pengamatan jangka panjang. Namun setidaknya, ada orangutan yang dapat bertahan hidup setelah dilepasliarkan selama 12 tahun sejak pelepasliaran pertama tahun 1997.
Sayang, tidak ada dokumentasi yang lengkap dari setiap proyek pelepasliaran yang dimulai hampir 20 tahun lampau itu. Padahal menurut Barita, indikator keberhasilan dari suatu usaha pelepasliaran spesies vertebrata besar baru bisa dipastikan lewat pengamatan jangka pendek selama 25 tahun ditambah pengamatan jangka panjang selama 50 tahun. “Tidak mudah memang karena memerlukan dana yang besar, juga komitmen warga sekitar hutan dalam mendukung program tersebut,” ujar Barita.
Mengubah sifat orangutan peliharaan dari jinak menjadi liar yang sama sekali tidak semudah membalikkan telapak tangan itu menambah gambaran betapa tidak bijaksananya membawa satwa tersebut ke dalam rumah. Memelihara bayi orang utan mungkin tampak menyenangkan karena anak orangutan hingga usia lima tahun sangatlah berpolah lucu. Namun, banyak orangutan yang lebih besar dipelihara di kandang karena tenaganya cukup besar dan mulai punya sifat merusak. Di kandang, orangutan yang stres akan berperilaku aneh seperti membentur-benturkan badan ke jeruji kandang, memeluk diri sendiri terutama bila takut atau diganggu, berulang kali mengangguk-anggukkan kepala, dan masih banyak lagi perilaku aneh lainnya.
Para peneliti menemukan, proses menjadi liar pun akan menjadi sulit dan berjalan sangat lambat. Pada orangutan yang sudah terbiasa hidup dengan nyaman saat dipelihara oleh manusia, bakal lebih sukar lagi prosesnya. Kemampuan anak-anak orangutan dalam beradaptasi di hutan yang sangat bervariasi akhirnya disebut peneliti dengan istilah daerah “abu-abu”. Oleh karena itulah, berbagai “pelatihan” untuk menjadi binatang liar merupakan hal yang sangat penting dalam program rehabilitasi anak-anak orangutan. Pelatihan itu mencakup pengenalan jenis-jenis pohon pakan, cara membuat sarang, gaya hidup yang sebagian besar dilakukan di atas pohon, interaksi dengan orangutan lain, serta sikap-sikap yang harus diambil saat mereka menghadapi pemangsa.
Penelitipun sampai pada kesimpulan, bahwa pengenalan dedaunan dan ranting untuk membuat sarang serta hal-hal alami yang nantinya akan ditemukan di hutan lebih berguna daripada benda-benda buatan yang berbau manusia seperti selimut, mainan anak kecil, bahkan boneka, yang selama ini lebih sering diperkenalkan kepada anak-anak orangutan.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR