Apa yang tampaknya dapat ditawarkan oleh suku Hadza—dan mengapa mereka sangat menarik bagi antropolog—adalah gambaran mengenai seperti apakah kehidupan sebelum budaya pertanian lahir 10.000 tahun lampau. Para antropolog tentu berhati-hati dalam melihat masyarakat pemburu dan peramu makanan di zaman sekarang sebagai “fosil hidup,” kata Frank Marlowe, profesor antropologi di Florida State University yang telah menghabiskan 15 tahun terakhir untuk mempelajari suku Hadza. Bagi mereka, waktu tidaklah beku. Namun, suku Hadza telah mempertahankan gaya hidup meramu makanan meskipun lama terpapar oleh lingkungan pertanian di sekelilingnya, dan kata Marlowe, ada kemungkinan bahwa cara hidup suku itu sudah sedikit berubah selama bertahun-tahun.
Selama lebih dari 99 persen kurun waktu sejak manusia genus Homo muncul dua juta tahun lalu, setiap manusia hidup sebagai pemburu dan peramu. Kemudian, ketika pertanian mulai dikembangkan dan hewan mulai diternakkan, penemuan tersebut meletikkan perombakan menyeluruh terhadap tatanan kehidupan di seluruh dunia. Produksi makanan berjalan seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk yang memungkinkan masyarakat pertanian menggusur atau menghancurkan kelompok-kelompok pemburu dan peramu. Dibentuklah desa, kemudian kota, kemudian negara. Dan dalam periode yang cukup singkat, cara hidup berburu dan meramu makanan nyaris tinggal menjadi sejarah. Kini hanya ada segelintir masyarakat seperti itu—beberapa di hutan Amazon, dua kelompok di kutub utara, sedikit di Papua Nugini dan sejumlah kecil kelompok di Afrika—yang mempertahankan berburu dan meramu sebagai cara hidup utama mereka. Walau demikian, kemunculan pertanian yang tiba-tiba memerlukan ongkos. Pertanian mengakibatkan wabah penyakit menular, stratifikasi sosial, masa panceklik, dan perang dalam skala besar. Jared Diamond, pengajar di UCLA sekaligus penulis, menyebut adopsi sistem pertanian tidak lebih dari “kesalahan terburuk dalam sejarah manusia”—sebuah kesalahan yang dia katakan tak pernah berhasil kita perbaiki.
Suku Hadza tidak pernah terlibat perang. Kepadatan penduduknya tidak pernah mencapai jumlah yang dapat terancam serius oleh penyakit menular. Sejarah mereka tidak pernah menunjukkan adanya masa panceklik; bahkan ada bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang dari kelompok pertanian pernah datang untuk hidup bersama mereka pada masa gagal panen. Pangan suku Hadza hingga sekarang bertahan lebih stabil dan lebih beragam daripada kebanyakan penduduk dunia. Mereka menikmati jumlah waktu senggang yang luar biasa banyaknya. Para antropolog pernah memperkirakan suku Hadza “bekerja”—yaitu aktif mencari makan—selama empat hingga enam jam per hari. Selain itu selama lebih dari ribuan tahun, mereka hanya meninggalkan kerusakan berupa jejak kaki di tanah.
Suku Hadza tradisional seperti Onwas dan teman-teman seperkemahan hidup dengan hampir sepenuhnya bebas dari harta benda. Benda-benda yang mereka miliki seperti panci masak, wadah air, dan kampak dapat dibungkus dalam selembar selimut dan dapat dipikul. Para perempuan Hadza mengumpulkan buah beri, buah baobab, dan menggali umbi-umbian yang dapat dimakan. Kaum lelaki mengumpulkan madu dan berburu. Mengintai babun di malam hari merupakan urusan kelompok dan hanya dilakukan beberapa kali dalam setahun; biasanya, perburuan dilakukan sendiri-sendiri. Mereka akan memakan hampir apapun yang dapat dibunuh, mulai dari burung sampai gnu (sejenis rusa), zebra dan kerbau liar. Mereka juga memakan daging celeng Afrika, babi semak, dan hyrax (mamalia herbivora yang mirip marmut). Mereka menyukai babun; Onwas bercanda bahwa lelaki Hadza tidak dapat menikah sampai ia dapat membunuh lima babon. Pengecualian utama adalah ular. Suku Hadza membenci ular.
!break!
Racun yang dilumuri di anak panah pemburu Hadza terbuat dari getah mawar gurun yang dididihkan, cukup kuat untuk melumpuhkan seekor jerapah. Tapi tidak cukup kuat untuk membunuh gajah dewasa. Jika para pemburu melewati bangkai gajah yang baru saja mati, mereka akan merayap masuk ke perut gajah dan memotong daging, organ dalam dan mengambil lemak dan memasaknya di atas api. Kadang kala, alih-alih menarik ke perkemahan, seluruh anggota perkemahan akan pindah mendekati bangkai tersebut.
Perkemahan suku Hadza adalah afiliasi yang longgar dari kumpulan kerabat, saudara ipar, dan teman. Setiap perkemahan punya beberapa anggota inti—dalam perkemahan Onwas, kedua anaknya Giga dan Ngaola seringkali bersama sang bapak, tetapi kebanyakan lainnya datang dan pergi sesuka hati. Suku Hadza tidak mengenal pemimpin resmi. Perkemahan secara tradisional dinamai sesuai nama lelaki tertua di kelompok tersebut (oleh karena itu kelompok yang saya tinggali dinamakan perkemahan Onwas), tetapi penghargaan tersebut tidak disertai dengan pemberian kekuasaan apapun. Kebebasan individu adalah karakteristik suku Hadza. Tidak ada seorang dewasa pun di suku Hadza yang punya otoritas terhadap lainnya. Tidak ada yang lebih kaya; dengan kata lain mereka semua tidak memiliki kekayaan. Hanya ada sedikit kewajiban sosial—tidak ada ulang tahun, tidak ada hari libur keagamaan, tidak ada hari peringatan.
Setiap orang boleh tidur kapanpun ia mau. Beberapa berjaga sampai larut dan tidur pada siang hari yang panas. Dini dan senja hari merupakan saat utama untuk berburu; sebaliknya jika sedang tidak berburu, para lelaki menghabiskan waktu di perkemahan, meluruskan panah, meraut busur panah, membuat tali busur dari ligamen jerapah atau impala, atau memaku mata panah. Mereka menukar madu dengan paku, plastik berwarna, dan manik-manik kaca yang kemudian dibuat menjadi kalung oleh para perempuan. Jika seorang lelaki menerima pemberian kalung, itu merupakan pertanda bagus bahwa ada seorang perempuan yang mengaguminya.
Di Hadza tidak ada pesta pernikahan. Sepasang lelaki dan perempuan yang tidur bersama di sebuah api unggun selama beberapa waktu dapat menganggap diri mereka menikah. Sebagian besar suku Hadza yang saya temui, lelaki dan perempuan, menganut paham monogami dalam satu rentang waktu. Mereka berganti pasangan beberapa tahun sekali. Onwas merupakan perkecualian; ia dan istrinya Mille telah bersama sepanjang usia dewasa mereka dan mereka dikaruniai tujuh anak yang hidup dan beberapa cucu. Ada sekelompok anak kecil di perkemahan yang diasuh oleh seorang perempuan tua bertubuh mungil dan ceria Nsalu. Dia yang menjagai anak-anak di saat orang-orang dewasa berada di alam liar. Terkecuali bayi yang masih disusui, sulit untuk menentukan siapa orang tua dari anak-anak tersebut.
!break!
Peran berdasarkan gender terbagi jelas, tetapi bagi wanita tidak ada keterpaksaan untuk mengikat diri pada budaya lain yang berbeda. Perempuan Hadza dalam jumlah cukup besar yang menikah dengan lelaki di luar kelompok tidak lama kemudian kembali, mereka tidak sanggup menerima perlakuan tidak menyenangkan. Di antara suku Hadza, perempuan kerap menjadi pihak yang memulai perpisahan. Hal itu menjadi peringatan bagi kaum lelaki yang menunjukkan dirinya tidak pandai pemburu atau yang telah memperlakukan istrinya dengan buruk. Di perkemahan Onwas, beberapa anggota yang paling berisik dan lancang adalah para perempuannya. Salah satunya adalah Nduku yang mengangkat dirinya sebagai guru bahasa saya dan menghabiskan banyak waktu belajar dengan menggoda saya tanpa ampun. Dia kerap keliling perkemahan menertawakan saya jika saya gagal menghasilkan suara decakan lidah yang khas.
Onwas tahu ada sekitar 20 kelompok Hadza tersebar di alam liar wilayahnya, secara teratur saling bertukar anggota seperti tarian serampang duabelas raksasa. Sebagian besar konflik diselesaikan oleh pihak-pihak yang bertikai hanya dengan berpisah ke kelompok perkemahan yang berlainan. Hasil buruan yang dibawa pulang oleh seorang pemburu dimakan oleh semua orang dalam perkemahannya. Hal itu yang menyebabkan setiap kelompok perkemahan hanya terdiri tidak lebih dari 30 anggota—itu jumlah terbanyak yang masih dapat berbagi satu atau dua binatang buruan dan masih dapat duduk berkumpul dengan nyaman. Saya tinggal di sana saat musim kemarau yang berlangsung enam bulan, dari Mei sampai Oktober. Di musim itulah suku Hadza tidur di alam terbuka, hanya terbungkus selimut tipis di sisi api unggun—berkelompok dua hingga enam orang dengan delapan atau sembilan api unggun menyebar setengah lingkaran menghadap ke area umum yang sudah disapu. Kelompok tidur tersebut beragam mulai dari keluarga, lelaki lajang, perempuan muda (dengan seorang perempuan yang lebih tua sebagai penjaga), dan pasangan. Selama musim hujan mereka membangun tempat berlindung berbentuk kubah kecil terbuat dari ranting-ranting dan ilalang yang dianyam menjadi seperti sarang burung yang terbalik. Untuk membangun sebuah kubah dibutuhkan waktu tidak sampai satu jam. Mereka berpindah perkemahan kira-kira sekali dalam sebulan, ketika persediaan buah beri mulai habis atau hasil perburuan makin sulit didapat atau timbul penyakit keras atau kematian.
Di perkemahan Onwas, tidak ada seorang pun yang tidur sendirian. Onwas menugaskan putranya Ngaola—yang menunggu kedatangan saya selama beberapa hari di bawah pohon—untuk tinggal bersama saya. Ngaola juga mengajak temannya Maduru untuk bergabung. Kami bertiga tidur dalam bentuk segitiga, kaki bertemu kepala, mengelilingi api unggun. Namun jika gigitan nyamuk menggila, saya tidur di dalam tenda.
Ngaola adalah lelaki pendiam dan selalu berhati-hati. Dia juga seorang pemburu yang teramat buruk. Ngaola berumur sekitar 30 tahun dan masih belum menikah; mungkin dia korban aturan membunuh lima babun. Sangat menyakitkan baginya bahwa Giga kakaknya mungkin merupakan pemanah terbaik di perkemahan itu. Sementara Maduru adalah penjelajah alam tulen, khususnya seorang pencari madu yang baik. namun canggung. Ketika obat penawar untuk racun ular diedarkan ke sekeliling kampong, Maduru tidak kebagian. Hal ini sangat mengecewakan baginya, dan Onwas terpaksa menghabiskan satu jam duduk di sampingnya, sambil merangkul bahunya seperti seorang paman yang baik, berusaha menenangkannya.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR