Gadulia Lohar, salah satu suku pengembara di India, hidup secara nomaden. Perdana menteri setempat pernah membuat prakarsa agar suku-suku pengembara berhenti dari kebiasannya. Sayangnya prakarsa itu tidak berlangsung lama. Permukiman tempat para pandai besi itu, yang dimaksudkan agar mereka mempelajari seluk-beluk peternakan, ditinggalkan setelah dua orang gadis meninggal karena sakit—yang ditafsirkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang melanggar tradisi Lohar. Kebijakan lainnya gagal karena dikotori tindakan korupsi dan perencanaan yang buruk.
!break!
Di kegemilangan masa lalu mereka, Gadulia Lohar menempa baju besi untuk raja-raja Hindu. Sekarang, para pandai besi ini mendirikan perkemahan di pinggiran desa-desa kecil India dan membuat barang sederhana dari lembaran logam.
Pada suatu hari yang hangat di bulan Februari, aku tiba di sebuah perkemahan di negara bagian Rajasthan yang terletak di barat laut India, membawa beberapa batang sabun untuk memuluskan proses perkenalanku. Kejutan langsung menyongsongku begitu aku mendekat. Kaum lelaki, wanita, dan anak-anak mengelilingiku, merenggut tas dan merobek-robeknya, menumpahkan batangan sabun ke tanah. Lalu, terdengar suara bersungut-sungut mengiringi perebutan brutal tersebut. Kericuhan itupun akhirnya berujung dengan tangisan sedikitnya seorang anak yang sudah agak besar.
Insiden sabun itu mungkin terkesan liar, namun sejatinya mewakili masalah kemiskinan dan keputusasaan yang dihadapi kaum pengembara yang telah menjelajahi anak benua itu selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Gadulia Lohar (nama mereka berasal dari kata Hindi "gerobak," gaadi, dan "pandai besi," lohar) adalah suku pengembara yang paling terkenal; suku lainnya adalah penggembala, seperti Rabari, yang terkenal di seluruh India Barat karena turban mereka yang besar dan pengetahuan mereka yang luas tentang segala hal yang berkaitan dengan unta. Sebagian di antara mereka adalah pemburu dan pengumpul tanaman. Sebagian lagi penyedia layanan—pedagang garam, peramal, tukang sihir, tabib ayurveda. Dan sebagian lainnya adalah pemain sulap, pemain akrobat, pembuat batu asah, pendongeng, pawang ular, dokter hewan, tukang tato, penganyam keranjang. Jika semua dihitung, para antropolog telah mengidentifikasi sekitar 500 kelompok pengembara di India, yang jumlahnya mungkin mencapai 80 juta orang—sekitar 7 persen dari seluruh populasi yang hitungannya mencapai lebih dari satu milyar orang.
Kaum pengembara ini dulunya merupakan bagian dari penduduk India pada umumnya. Mereka menjalin hubungan baik dengan penduduk desa yang tinggal di sepanjang rute migrasi tahunan mereka. Namun, pada abad ke-19, sikap mereka mulai berubah. Perubahan itu dipicu sikap penguasa Inggris yang meremehkan mereka sebagai gelandangan dan pelaku kejahatan, menabur prasangka yang terus hidup sampai sekarang, meskipun masa penjajahan sudah berakhir. Kemudian ditambah dengan modernisasi India yang dengan cepat merambah kegiatan telemarketing dan kaum muda yang keranjingan merek nyaris tidak pernah lagi menggunakan jasa para pengumpul kaleng, pelatih beruang, dan para penggembala yang tentu saja kalah bersaing dengan industri dan perkembangan kota. Selain terpecah-belah oleh kasta, bahasa, dan wilayah, kaum pengembara ini juga diabaikan oleh para politisi dan, berbeda dengan kelompok tertindas lain, hanya bisa memetik sedikit manfaat dari program kesejahteraan sosial.
Mendefinisikan istilah "pengembara" saja sudah menimbulkan masalah di India. Banyak sekali kelompok yang dulu jelas-jelas sesuai dengan kategori itu sekarang mengelompok di daerah-daerah kumuh yang oleh para antropolog disebut “menetap.” Namun, India tetap merupakan negara dengan lapisan masyarakat yang kaku dan pandangan tentang kelahiran yang kerap diidentikkan dengan takdir. Jadi, baik berpindah-pindah ataupun tidak, kaum pengembara India dipersatukan oleh sebuah sejarah kemiskinan dan pengucilan, yang terus berlanjut hingga sekarang: yang mana hal tersebut bisa dikatakan krisis hak asasi manusia terbesar yang terlupakan orang.
!break!
Bagi segelintir orang yang peduli pada para pengembara ini, jalan keluar yang terpenting adalah memberi mereka tempat berteduh, atau setidaknya memberi mereka alamat tempat tinggal, sehingga akan lebih mudah bagi mereka untuk memperoleh tunjangan kesejahteraan dan menyekolahkan anak-anak mereka. Namun, upaya seperti itu terhalangi oleh penolakan keras dari penduduk desa dan politisi setempat, yang memandang para pengembara ini sebagai orang luar yang kotor dan hina. Di samping hambatan praktis ini, masalah lain yang lebih serius mengintai: Apakah para pengembara ini harus mengorbankan jatidiri mereka agar bisa bertahan hidup?
Setelah peristiwa keributan tentang sabun itu, pada pagi harinya keadaan sudah menjadi lebih nyaman bagiku. Perkemahan itu terasa sepi, yang terdengar hanyalah suara batuk-batuk sesekali yang mengkhawatirkan. Asap membubung dari tembikar yang masih mentah, para wanita bergantian meniup-niup ubub dari kulit kambing, sementara para lelaki dan pemuda memukuli lembaran logam pada alas kecil dari besi, membentuknya menjadi sendok untuk memasak, kepala kapak, dan peralatan sederhana lainnya.
Aku dan juru bahasaku menghitung ada 23 orang dalam empat keluarga Lohar itu, semuanya memiliki hubungan kekerabatan. Mereka membawa harta benda mereka dalam lima gerobak terbuka yang dibangun dari kayu akasia dan kayu jati, dihiasi ukiran bunga teratai, giwang kuningan, dan lukisan swastika Hindu. Semuanya tampak tidak menyukai kehadiranku, dan beberapa di antaranya tanpa tedeng aling-aling menampilkan sikap garang. “Apa pun yang kami katakan, apa pun yang kami lakukan, kamu selalu menuliskannya!” seorang wanita melancarkan protes. Tetapi, beberapa orang lainnya bersikap lebih ramah. Di antaranya Lallu dan Kailashi, sepasang suami istri berusia 40-an—orang Lohar hanya bisa menduga-duga usia mereka—yang memiliki empat orang anak. Lallu yang mengenakan pakaian dhoti—semacam sarung—katun yang sangat kumal, berperawakan kecil dan kurus kering, dengan anting-anting emas berbentuk mirip kacang polong dan sebuah jimat bergantung dari seutas tali yang melingkari lehernya. Kailashi berperawakan kurus dan bermata belok. Tulang dadanya ditato dengan lambang om—simbol suci agama Hindu yang mewakili figur Brahmana. Ia berambut kusut ditutupi selendang ungu. Kondisi gigi keduanya tampak buruk dan mereka sering menyelingi pekerjaan untuk menyalakan rokok lintingan murahan yang dijuluki bidis dari bara api peralatan penempa besi.
Kailashi merasa malu dengan kejadian berebutan sabun itu. “Aku orang miskin, tetapi masih punya rasa malu,” katanya. “Sementara mereka sudah tidak punya malu lagi.”
!break!
Putri sulungnya, Kanya, meraih dipan lipat dari tali dan mempersilakan aku duduk. Berusia sekitar 20 tahun, Kanya terlihat riang dan cantik sekali, dengan tulang pipi lebar dan alis yang dicabuti dengan rapi. Kepribadiannya juga kuat. “Jangan nakal!” dia memarahi salah seorang saudara sepupunya ketika anak lelaki itu terus saja mengemis-ngemis, meminta sesuatu dariku. Kanya baru saja kembali ke keluarganya setelah meninggalkan suaminya yang ringan tangan.
Aku menanyakan kepada Lallu dari mana dia berasal, dan mengira dia akan menyebutkan tempat kelahirannya, atau mungkin kota tempat keluarganya berkemah pada musim panas yang lalu, ketika cuaca terlalu panas untuk bepergian. Alih-alih dia malah menyebutkan nama tempat yang belum pernah dilihatnya.
“Chittaurgarh,” katanya. Lalu, dia mengangkat kepalan tangannya ke atas kepalanya, seakan memberi hormat.
Chittaurgarh adalah sebuah benteng besar dibangun dari batu pasir padat yang terletak di dataran rendah di Rajasthan selatan. Benteng itu dibangun pada abad ke-7, dan merupakan ibukota Mewar, sebuah kerajaan yang sangat berkuasa, yang dipimpin oleh para pejuang Hindu berkasta tinggi yang dikenal dengan nama Rajput. Orang Lohar juga termasuk kaum Rajput, menurut cerita lama dari mulut ke mulut. Mereka bekerja di kerajaan itu sebagai pembuat senjata. Namun, pada 1568, Chittaurgarh dikuasai oleh Akbar, Kaisar Mogul yang agung, dan orang Lohar lari menyelamatkan diri.
Malu dengan pelarian tersebut, mereka bertekad untuk hidup mengembara dan tidak mau menjalani kehidupan yang nyaman, bersumpah untuk tidak akan mau lagi bermalam di desa, menyalakan lampu setelah gelap, atau bahkan menggunakan tali untuk menimba air dari sumur—keseluruhan janji itu disebut sebagai Sumpah. (Mereka juga bersumpah untuk tidak tidur di tempat tidur yang nyaman dan bahkan sampai sekarang berkelana sambil membawa dipan yang dipasang terbalik, sebagai lambang ketaatan memenuhi janji kuno itu).
!break!
Namun, mereka tetap harus mencari nafkah, sehingga mereka menggunakan keterampilan sebagai pandai besi untuk membuat barang yang lebih sederhana. Peralatan dapur dan peralatan pertanian mereka terkenal karena awet dan, sebelum barang impor murah buatan Cina membanjir, mereka tidak pernah kekurangan pembeli.
India pernah dipenuhi para pengrajin yang senang berkelana ini. Kehidupan mereka pada mulanya pernah dipaparkan secara terperinci oleh seorang pegawai negeri Inggris, Denzil Ibbetson, dalam laporan tahun 1883 berdasarkan data sensus dari wilayah Punjab. Di antara para pengelana itu terdapat suku Qalandari ("pekerjaan nyata mereka adalah pawang beruang, monyet, dan binatang pertunjukan lainnya"); suku Nat ("pemain akrobat dan pesulap kelas picisan"); suku Gagra (“gemar menangkap, memelihara, dan menempelkan lintah "); dan suku Kanjar ("tukang mengobati barah”). "Mereka bukan orang-orang yang menyenangkan," begitu Ibbetson menyimpulkan, "dan syukurlah kami tidak perlu terlalu sering berhubungan dengan mereka."
Pengamatan Ibbetson mencerminkan prasangka zaman itu dan keyakinan yang dianut banyak orang di Inggris bahwa para pengelana—terutama yang berkulit gelap dan menggunakan bahasa Romany yang dikenal sebagai orang Gipsi—adalah orang-orang jahat. Prasangka seperti itu dengan mudah ditularkan ke penduduk anak benua tersebut. Pada 1871, pemerintah kolonial menyetujui undang-undang yang terkenal karena keburukannya, disebut Criminal Tribes Act, yang menyatakan bahwa puluhan kelompok pengembara, pada dasarnya, adalah penjahat karena sudah merupakan sifat bawaan. Keluarga pengembara ini diwajibkan mendaftar ke polisi, dan ribuan lelaki, wanita, dan anak-anak secara paksa dikumpulkan di kamp-kamp pekerja, beberapa di antaranya dikelola oleh Bala Keselamatan, menurut buku Dishonoured by History, karya sosiolog India Meena Radhakrishna.
Setelah kemerdekaan pada 1947, undang-undang itu digantikan oleh undang-undang lain yang tak kalah diskriminatifnya, yaitu Habitual Offenders Act, dan cap sebagai orang jahat terus berlanjut. "Aku tidak pernah bisa membayangkan bahwa keturunan mereka akan tetap dipandang dengan prasangka yang sama dari tahun ke tahun," kata Radhakrishna. “Bukannya mereka tidak ingin menjadi bagian dari masyarakat—mereka justru tidak diperbolehkan menjadi bagian dari masyarakat.”
!break!
Para wanita bertugas menyiapkan makan malam. Dengan lesung dan alu, Kailashi melumatkan cabai untuk dijadikan tumis sayuran, sementara di atas api terbuka Kanya menyiapkan chapati, roti India tipis yang mudah didapatkan di mana-mana. Malam sudah datang menjelang, sehingga mereka harus bekerja dengan cepat, karena sumpah masa lalu mereka janji tidak menyalakan lampu di malam hari. Orang Lohar tiba di desa itu beberapa hari sebelumnya dan tidak yakin berapa lama mereka akan tinggal di situ. Hal itu tergantung pada ada tidaknya pekerjaan. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang dari mereka, sambil menganggukkan kepalanya ke arah kerbau di dekatnya,” "Tidak banyak perbedaan antara hidupku dan kehidupan si kerbau. Dia merambah mencari makanan, dan kami juga mengembara untuk mencari makan.”
Memang sulit menyanggah perbandingan itu. Orang Lohar belum pernah mengenal sekolah. Mereka membuang hajat di lapangan dan tidur beratapkan langit, kecuali selama musim hujan, ketika mereka memasang atap peneduh pada gerobak dan membentenginya dengan dinding lumpur rendah untuk mencegah banjir. Mereka belum pernah mendengar tentang Amerika Serikat. Pada kedatanganku yang pertama, Kanya mengira—meskipun aku berkulit putih—bahwa aku berasal dari Jaipur, ibukota negara bagian Rajasthan, yang jaraknya 65 kilometer dan hal itu menunjukkan betapa terbatasnya pengetahuannya tentang ilmu bumi. “Ahhh," katanya ketika aku menceritakan pesawat terbang. "Kamu datang naik cheel Gaadi." Kereta elang.
Seperti kelompok pengembara lain, sesekali Gadulia Lohar dijadikan sasaran untuk upaya rehabilitasi. Pada 1955, Jawaharlal Nehru, perdana menteri India yang pertama, mengatakan dalam sebuah pidato terkenal di Chittaurgarh bahwa kehormatan para pandai besi itu telah dipulihkan dengan pembentukan kedaulatan India dan meminta kepada mereka untuk berhenti mengembara. Ribuan orang yang menempuh perjalanan ke benteng dengan naik gerobak sapi dan kereta api menyaksikan ketika secara simbolis Nehru menjungkirkan dipan yang terbalik, kemudian mengundang mereka untuk masuk dengan berjalan menyeberangi jembatan yang penuh dengan kelopak bunga mawar, menuju sebuah sekolah berasrama untuk anak laki-laki Lohar yang didirikan di dekat tempat itu. Lantas, program perumahan dan lapangan kerja pun diluncurkan.
Sayangnya prakarsa itu tidak berlangsung lama. Permukiman tempat para pandai besi itu, yang dimaksudkan agar mereka mempelajari seluk-beluk peternakan, ditinggalkan setelah dua orang gadis meninggal karena sakit—yang ditafsirkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang melanggar tradisi Lohar. Kebijakan lainnya gagal karena dikotori tindakan korupsi dan perencanaan yang buruk.
!break!
Tetapi, nasib para perantau itu terus diperjuangkan oleh kelompok hak asasi manusia, dan pada 2005 Parlemen India membentuk sebuah komisi sementara untuk menangani masalah kesejahteraan mereka. Ketuanya, Balkrishna Renke, secara unik memenuhi syarat untuk tugas itu: dia dilahirkan dalam kelompok peminta-minta, menghabiskan masa kecilnya merambah pedesaan di India barat, bernyanyi sebagai upaya mencari nafkah guna membeli makan malamnya, sampai kemudian badan amal mengasuhnya dan menyekolahkannya.
Bagi Renke, sasarannya jelas. "Jika mereka ingin memiliki hak kewarganegaraan, pendidikan, dan berpartisipasi dalam kemajuan modern, mereka harus tinggal menetap," katanya. Renke amat maklum bahwa tantangannya besar sekali . Sistem kesejahteraan sosial India yang lamban, namun begitu luas yang harus ditangani, telah lama diarahkan untuk menangani ketidakadilan kasta. Karena para pengembara ini meliputi banyak kasta, mereka hanya bisa memetik sedikit sekali manfaat program kesejahteraan sosial—tanpa dukungan pengaruh politik manapun tentunya—yang diperoleh kelompok teraniaya lain, seperti kasta pariah. "Mereka tidak punya organisasi. Tidak mengalami kebangkitan,"kata Renke. "Mereka adalah orang-orang yang suaranya tidak dipedulikan."
Setelah seminggu bergaul dengan orang Lohar, aku mulai memaklumi salah satu alasan tersebut: memang tidak mudah bergaul dengan mereka. Walaupun telah menjelaskan sejak awal bahwa aku tidak akan memberi mereka uang, aku berusaha untuk tetap menarik hati mereka dengan membagikan hadiah kecil—biasanya beberapa bungkus lentil dan tepung—dan sesekali membelikan mereka chai—minuman khas India campuran the dan beberapa jenis rempah—dari penjual yang berjualan di dekat situ. Namun, untuk beberapa orang, hal itu tidak pernah cukup. Kartar, kakak Lallu, terus-menerus merecoki diriku, minta dibelikan kalakand, semacam puding susu, dan merajuk ketika aku tidak memenuhi rengekannya. Istrinya, Pooni, sama juga, suka merengek. "Beri aku uang untuk membeli chai!" katanya sambil menyapaku di suatu pagi, dan setiap kali aku menatap matanya, ia menarik-narik bajunya yang compang-camping atau memberi isyarat keinginannya untuk membeli bidi dengan mengangkat dua jari ke bibirnya, seperti orang merokok. Aku pun kemudian berusaha untuk tidak menatap matanya.
Bahkan Lallu, yang menurut Kailashi "terlalu malu untuk mengemis," tidak malu untuk sesekali merengek kepadaku.
“Aku belum makan sejak kemarin karena ayamku mati,” katanya di suatu sore. “Aku sedih sekali. Ada anjing yang menerkamnya sampai mati.”
Aku bergumam menyampaikan belasungkawa.
"Ayam baru harganya 300 rupee."
Aku mengangguk tanda bersimpati.
“Minta uang 100 rupee ya?”
Ya ampun!
!break!
Meskipun begitu, aku tetap mengagumi orang-orang Lohar ini. Mereka adalah seniman yang terampil dan pekerja keras, serta tampak jelas selalu bangga akan pekerjaan mereka. Pada suatu sore, datang seorang wanita yang rambutnya sudah beruban dari desa, hendak membeli sendok. "Aku mungkin akan minta beberapa rupee lagi, tapi bakal sepadan karena barang-barang buatanku bermutu baik," Kartar berjanji. Sambil berjongkok di bawah naungan sebuah pohon neem (keluarga Meliaceae), dia memanaskan sepotong besi hingga membara, kemudian meletakkannya di atas sebuah alas dengan penjepit, sementara Pooni berdiri dengan kaki merentang lebar-lebar di tanah, memipihkan besi itu dengan palu godam. Ketika logam itu sudah pipih dan lentur, Katar meraih palu yang lebih kecil dan dengan cekatan membentuk sendok bergagang panjang, memukuli permukaannya sehingga membentuk banyak lekukan kecil yang sangat indah.
Ia mengikir pinggirannya sampai halus, lalu menyerahkannya kepada wanita itu dengan mimik wajah yang menunjukkan rasa bangga dan hormat. "Silakan, Ibu," katanya, dan menerima 30 rupee—sekitar 6.500 rupiah—sebagai imbalannya.
Orang Lohar peduli akan keterampilan mereka karena mereka peduli akan jatidiri mereka. Semuanya, termasuk anak-anak, mengenal cerita Chittaurgarh, dan anak-anak yang menangis disuruh diam dengan kata-kata, "Jangan menangis—kamu orang Lohar." Putra Kartar, Arjun, adalah perwujudan kebanggaan orang Lohar. Pada usianya yang baru sekitar sepuluh tahun, perawakannya besar dan meyakinkan, dengan tubuh yang cocok untuk seorang juara gulat tingkat junior. Arjun menunjukkan rasa bangganya akan kehebatan tubuhnya dengan palu godam, yang terus diangkatnya berulang-ulang tanpa lelah, sementara ayahnya terus mengobarkan semangatnya dengan teriakan, Ayo, lebih keras! Lebih cepat! "
Sudah beberapa hari aku bertanya kepada orang-orang Lohar itu, kapan mereka berencana untuk berangkat, dan setiap kali jawabannya sama: besok. Kemudian, waktu keberangkatan itu pun akhirnya tiba. Aku muncul di perkemahan pada suatu pagi dan kulihat mereka sedang memuat barang ke gerobak. Peralatan disimpan dalam beberapa kompartemen, hewan ternak diikat dengan susah payah, selimut dilipat dan ditumpuk di gerobak bersama dengan dipan, bersama dengan peralatan masak yang sudah menghitam karena sering digunakan di atas api, dan anggota keluarga yang masih terlalu kecil atau lemah diatur untuk berjalan di sisi gerobak. Akhirnya, dengan isyarat tanpa suara, rombongan karavan yang butut itu bergerak maju, suara roda besi terdengar berderak-derak menapaki jalan. Kendaraan di jalan, kebanyakan sepeda motor dan jalopies (mobil) bertenaga diesel buatan dalam negeri yang dinamakan jugards, menepi ketika orang-orang Lohar itu bergerak menuruni jalanan sempit, melewati ladang sayuran dan ladang gandum yang tampak bergelombang tertiup angin musim dingin.
Sulit rasanya untuk tidak terpesona oleh pemandangan yang romantis itu. Tambahan lagi, inilah suku yang semakin punah, yang sedang mengembara. Jika kita abaikan keberadaan peralatan dunia modern—mobil Honda buatan India dan menara microwave berwarna jingga-putih—maka suku Lohar itu hampir tidak bisa dibedakan dari seniman Rajput yang bangga, yang melarikan diri dari Chittaurgarh hampir setengah milenium yang lalu. Apa sajakah yang akan dirasakan hilang oleh para penjelajah abad pertengahan ini jika mereka tidak lagi mengembara dan menyatu dengan masyarakat? Dalam hal budaya dan tradisi mereka, mungkin segalanya.
!break!
Tampaknya hal itu merupakan pengorbanan yang sangat besar. Orang Lohar yang kutemui di mana-mana berpegang teguh pada jatidiri mereka sebagai bangsa pengembara. Namun, sebagian besar menyatakan dengan jelas bahwa mereka hidup dengan mengandalkan gerobak mereka karena alasan sederhana: mereka tidak memiliki pilihan lain.
"Aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia jika punya tanah dan rumah," Lallu berkata kepadaku di suatu malam. Kanya juga sangat ingin memiliki rumah yang nyaman, pengalaman yang belum pernah dialaminya. Dambaan mereka ini mudah dipahami. Transformasi ekonomi yang begitu cepat tengah terjadi di India, bahkan di pedesaan Rajasthan sekalipun. Misalnya ponsel yang dibawa para pelanggan orang Lohar (meskipun orang Lohar sendiri tidak memilikinya) dan parabola yang dipasang di rumah-rumah besar milik para petani. Wajar saja jika mereka juga ingin menikmati kemakmuran baru ini. Apalagi karena kesadaran mereka telah dibangkitkan. Seperti yang dialami kelompok pengembara lainnya di Rajasthan utara, orang Lohar telah didorong oleh para aktivis setempat yang memperjuangkan hak atas tanah untuk mengajukan permohonan kepada dewan pemerintahan daerah urusan tanah dan perumahan. Selain menyediakan tempat berteduh bagi mereka, hal ini juga akan memudahkan birokrasi India yang memerlukan alamat tetap, untuk menyalurkan tunjangan kesejahteraan, seperti minyak goreng bersubsidi dan perawatan kesehatan gratis.
Tetapi, sejauh ini usaha mereka sia-sia. Para pejabat kota yang menerima permintaan orang Lohar mengatakan bahwa mereka tidak memiliki tanah untuk diberikan—dan seandainya pun mereka memiliki tanah, mereka ragu orang Lohar akan mau menerimanya. "Mereka tidak ingin tinggal menetap di suatu tempat," kata seorang pejabat dengan acuh tak acuh. "Mereka ingin terus berkelana."
Tanggapan yang sama juga dikemukakan di Thana Ghazi, sekitar 95 kilometer timur laut Jaipur; ketika para pejabat setempat dengan enggan memberikan lahan untuk puluhan keluarga orang Lohar di tepian jalan tersibuk di kota itu. Para pandai besi itu ditempatkan di rumah tembok berkamar satu, sementara gerobak dan perkakas mereka berada di depan rumah. Namun, setelah lima tahun berlalu, kota itu tetap tidak mengalirkan listrik dan menolak permohonan orang Lohar untuk diberi jamban bersama.
Pradhan, sebutan bagi pejabat senior terpilih untuk distrik itu, menegaskan bahwa ia menolak menyediakan layanan ke permukiman itu karena menurut pendapatnya sejak awal orang Lohar seharusnya tidak diizinkan menetap di tempat itu. Lokasi permukiman itu terlalu dekat dengan asrama putri dan SMA, begitu alasannya, dan orang Lohar akan lebih baik tinggal di lokasi lain di luar kota.
!break!
Beberapa hari setelah aku mempertanyakan kasus tersebut, para pekerja datang untuk mulai memasang kabel listrik di permukiman itu. Sayangnya beberapa warga kota secara terang-terangan menunjukkan sikap tidak senang. Ketika aku meninggalkan permukiman itu bersama seorang petugas badan amal di suatu sore, tiga orang pemuda bercelana panjang dan memakai sweater mengejek kami dari atap sekolah yang berdekatan. "Apa yang akan kamu lakukan untuk mereka?" salah seorang dari mereka berteriak. "Mereka itu pengembara, dan mereka akan selalu berkelana."
Saat itu awal Maret, dan panen musim semi sudah hampir tiba bagi Lallu dan Kailashi serta klan mereka. Ladang gandum tampak seperti emas di bawah terik matahari yang semakin terasa panas dari hari ke hari. Di perkemahan mereka di desa yang baru, orang Lohar berlindung di balik bayangan gerobak dan mendinginkan badan di sumur yang ada di dekat situ.
Musim semi biasanya merupakan waktu yang penuh harapan di pedesaan Rajasthan, tetapi bagi Kanya musim ini penuh dengan ketakutan. Orang tuanya memutuskan bahwa setelah festival Hindu Akha Teej, yang jatuh pada April, Kanya akan kembali tinggal bersama suami dan keluarganya. "Pemuda itu jahat," katanya.
Dia berkata bahwa pemuda itu dan ibunya memaksanya bekerja sepanjang hari meniup-niup ubub, dan pemuda itu memukulinya kalau dia menolak. Namun, Kanya tahu bahwa perceraian adalah sesuatu yang mustahil bagi wanita seperti dirinya. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa," katanya. "Kalau aku tinggal di sini, aku akan menderita. Kalau aku tinggal bersama keluarga suamiku, aku juga akan menderita. Ini semua sudah takdir.”
Ketidakberdayaan Kanya diperparah oleh statusnya sebagai wanita, yang pada tingkat tertentu juga dialami oleh semua orang Lohar; kedudukan sosial mereka yang rendah membuat mereka rentan terhadap tekanan dan prasangka yang dilancarkan penduduk pedesaan India. Pada suatu sore, aku muncul di perkemahan dan mendapat kabar bahwa sehari sebelumnya suku Lohar itu dikunjungi oleh pengikut Swayamsevak Rashtriya Sangh, atau RSS, kelompok nasionalis Hindu India yang terkemuka. Para ekstremis dari kelompok itu mendengar kabar tentang kehadiranku, dan mengira aku adalah misionaris Kristen, dan langsung saja mereka mengancam akan menghajarku. Orang-orang Lohar itu jelas ketakutan dan memintaku pergi.
!break!
Akhirnya aku bisa menjelaskan pada mereka bahwa aku seorang wartawan, bukan evangelis. Para pekerja RSS meminta maaf dan bahkan menemaniku untuk bertemu lagi dengan orang-orang Lohar itu, yang sekarang telah pindah untuk kedua kalinya, ke padang rumput gersang di pinggiran desa lain. RSS mendesak orang Lohar untuk mau bekerja sama, tetapi hubunganku dengan para pandai besi itu tidak lagi bisa pulih sepenuhnya.
Karena sudah curiga sejak awal, apalagi setelah munculnya masalah dengan RSS, mereka tidak mau menerima alasan apa pun untuk menerimaku lagi. "Kamu memberi kami segenggam tepung, tetapi kamu menulis terlalu banyak," kata Kartar, dengan mata membelalak. "Pergilah. Kami sudah muak denganmu. "
Pada suatu sore, aku mengendarai mobil keluar dari Jaipur dalam upaya terakhir untuk berdamai. Sayangnya, Lallu dan Kailashi tidak ada untuk memberikan dukungan. Mereka sedang naik bus dalam perjalanan ke ibukota Rajasthan, berharap dapat memperoleh perawatan untuk Kailashi yang mengidap batuk kronis dan demam. Yang lain tidak sudi berbicara denganku, dan beberapa orang menolak kedatanganku. Aku memaklumi isyarat mereka dan berjalan kembali ke mobil. "Jangan ke sini lagi," teriak Kartar.
Sebelum pergi, aku menoleh dan memandang orang-orang Lohar itu untuk terakhir kalinya. Bisnis mereka semakin merosot dan peralatan tempa mereka sudah sangat jarang digunakan lagi. Besok, atau mungkin keesokan harinya, mereka akan membereskan gerobak dan melanjutkan perjalanan, seperti yang sudah sering mereka lakukan sebelumnya. Tetapi, saat ini, mereka tampak lesu dan letih. Mereka tampak seperti pengelana yang telah sampai di akhir perjalanan.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR