Tanda-tanda pemenggalan pada tulang leher yang menonjol menunjukkan kepala itu mungkin telah dipenggal dengan pisau obsidian yang tajam. Dalam menegaskan pesan yang hendak disampaikan, sebuah pot keramik yang dikenal sebagai buli-buli kepala diletakkan di siku kerangka tersebut; ia menggambarkan sebuah "trofi kepala" yang baru dipenggal, dari dalamnya muncul sebuah batang pohon bergaya Halloween dengan sepasang mata yang menakutkan. Menurut Donald Proulx, ahli tembikar suku Nasca serta pensiunan profesor di University of Massachusetts Amherst, jenis buli-buli itu menunjukkan tanggal pembuatan sekitar 325-450 M.
Segala sesuatu tentang penguburan itu—posisi kerangka, buli-buli kepala, dan postur tubuh—menunjukkan sebuah pemakaman yang sengaja diadakan dengan penuh rasa hormat. "Kita tidak akan melakukan penguburan seperti itu untuk musuh," kata Conlee, peneliti di Texas State University. Analisis isotop atas tulang-tulang pemuda tersebut menegaskan bahwa dia hidup di daerah sekitar kuburan itu dan diperkirakan orang lokal, bukan musuh yang ditangkap dalam perang. Conlee menduga kalau kerangka itu mewakili sebuah ritual pengorbanan. "Walaupun kita menemukan trofi kepala sepanjang masa kejayaan suku Nasca," katanya, "ada beberapa indikasi bahwa hal ini lebih sering terjadi di tengah dan akhir periode, dan juga pada saat-saat ketegangan lingkungan yang besar, mungkin masa kekeringan. Jika itu merupakan pengorbanan, hal itu dibuat untuk menyenangkan para dewa, mungkin karena kekeringan atau gagal panen. "
Tidak diragukan lagi bahwa air—lebih tepatnya, tidak adanya air—diasumsikan telah menjadi penyebab utama berakhirnya kebudayaan Nasca, kira-kira antara 500 dan 600 M. Di daerah Palpa, ahli geofisika telah menelusuri perluasan padang pasir sisi timur sejauh 20 kilometer di sekitar lembah-lembah itu yang terjadi antara 200 SM sampai 600 M, di antaranya mencapai daerah pada ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Begitu pula dengan pusat-pusat populasi di sepanjang sungai di sekitar Palpa bergerak masuk lebih jauh ke dalam lembah, seolah mencoba mendahului kekeringan yang melanda. "Pada akhir abad keenam Masehi," tulis Eitel dan Mächtle dalam kesimpulan yang dituangkan dalam jurnal mereka baru-baru ini, "kegersangan memuncak dan kebudayaan Nasca pun runtuh." Pada 650 M, Kekaisaran Wari (Huari) yang lebih militeristik, yang berkembang dari basisnya di tengah-tengah dataran tinggi, menggantikan suku Nasca di daerah selatan padang pasir.
"Bukan cuma kondisi iklim yang menyebabkan runtuhnya kebudayaan Nasca awal di Cahuachi dan kita dapat mengatakan hal yang sama mengenai berakhirnya kebudayaan Nasca pada umumnya," ujar Johny Isla. "Krisis itu diprovokasi karena air lebih merata di beberapa lembah dibandingkan lembah yang lainnya, dan para pemimpin lembah-lembah yang berbeda mungkin tenggelam dalam sebuah konflik."
!break!
Tentu saja warisan kebudayaan Nasca hidup dalam gambar dan meski kebanyakan orang datang untuk mengaguminya dari udara, apa yang saya lihat dan dengar meyakinkan bahwa kita tidak dapat benar-benar memahami geoglyphs tersebut kecuali jika kita mengamatinya dari permukaan. Dalam sebuah percakapan, Isla menguraikan sensasi yang dia dapatkan saat menyusuri jalanan suci tersebut. "Kamu bisa merasakannya," katanya. Penasaran tentang perasaan itu, aku meminta apakah bisa menyusuri beberapa gambar di Cresta de Sacramento, sebuah bukit kecil di utara kota Palpa.
Kami bertemu kala fajar di pagi musim dingin bulan Agustus. Kabut merayapi lembah di bawah kami dan Matahari masih terperangkap di belakang kaki bukit Pegunungan Andes di sebelah timur. Tatkala kami menyusuri sebuah trapesium besar di lantai plato gurun, Isla mengingatkan untuk berjalan dengan hati-hati dan memperlakukan lanskap suci itu seperti layaknya seorang jagawana, mengembalikan batu yang berserakan ke tempatnya, seolah batu itu adalah tanah yang tercerabut akibat pukulan stik di padang golf. Setelah pendakian dengan berjinjit kaku selama beberapa menit, kami sadar kini sedang berdiri di jalur spiral kuno—satu bentuk umum lainnya dari geogplyph Nasca.
Ketika kami berjalan di atas jalur spiral itu, kakiku secara
otomatis mengajakku bertatap muka dengan setiap batas daerah tersebut: lembah Palpa di selatan, pegunungan pesisir di barat, "gunung suci" (Cerro Pinchango) setempat di utara, dan di timur, kaki bukit Pegunungan Andes, dengan kekuatan dewanya dalam mengasupi sungai-sungai rapuh yang melingkar melewati sistem pengairan Nasca, menyirami benih-benih peradaban yang ditaburkan dalam lingkungan kering ini. Jika saya melangkah ke dalam pusaran jalur yang berkelok-kelok ini pada zaman dahulu, dapat dipastikan saya pun akan menemui sesama pendoa yang menyusuri jalan yang sama. Saya menyadari, sebuah perjalanan doa Nasca akan memperkuat hubungan suci sekaligus hubungan sosial.
"Lihat!" seru Isla tiba-tiba. Matahari telah berada di atas kaki bukit dan cahaya paginya yang terang memproyeksikan bayang-bayang tubuh kami yang panjang ke atas geoglyph. Jalanan spiral ini berada di atas lanskap, perbatasannya yang terdiri dari tumpukan batu membentuk relief yang tajam.
Saat langkah kakiku terus menyusuri lekukan jalanan spiral itu, melintas di pikiranku bahwa salah satu fungsi yang paling penting dari gambar-gambar "misterius" Nasca kini tidak lagi menjadi misteri. Geoglyph ini menjadi pengingat ritualistik kinetik bagi masyarakat Nasca bahwa nasib mereka bergantung kepada lingkungannya--keindahan alaminya, kelimpahannya yang fana, dan kekerasannya yang mengancam hidup. Kita dapat merasakan rasa hormat mereka kepada alam, baik pada masa berlimpah maupun pada saat kekurangan, pada setiap gambar dan kurva yang mereka ukir di lantai padang pasir. Saat kaki kita mendarat di ruang suci mereka, bahkan untuk waktu yang singkat dan syahdu, kita bisa merasakannya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR