Sepuluh menit kemudian, kendaraan kami menembus hutan menempuh jalan tanah yang ditinggikan ketika seekor badak yang baru saja selesai berkubang di kolam dangkal naik ke jalan, diikuti badak remaja yang ukurannya dua pertiga badak pertama. Sambil berjalan di bawah cahaya matahari yang panasnya sudah diredam oleh dedaunan, di atas hamparan kelopak bunga berwarna merah yang berguguran dari pohon kapas-sutra (Salmalia malabarica), keduanya melambat sambil saling mendengus. Seekor badak remaja lainnya lalu muncul di belakang keduanya. Ketiga satwa bercula itu kemudian hilang dari pandangan karena berjalan ke arah yang lain.
!break!
Kendaraan kami bergerak lagi setelah menunggu beberapa saat dan ternyata si induk badak berlari melalui pepohonan ke arah kami. Tidak ada waktu untuk mundur, tidak ada kesempatan untuk mempercepat laju kendaraan di lintasan kasar ini. Hazarika, yang duduk di kursi penumpang, bahkan tidak sempat menembakkan senapannya sehingga si badak berselimut lumpur kering itu menghantam jip yang beratnya lebih ringan. Pintu jip langsung ringsek. Aku sadar bahwa si badak mendorong kendaraan kami ke tepi jalan dan berusaha menjungkirkannya hingga dua roda terangkat, lebih baik aku melompat sebelum binatang itu menggelindingkan kami.
Tidak seperti badak Afrika, badak India tidak menanduk musuh dengan cula di kepalanya. Badak India menggigit dengan gigi bawah besar yang setajam gunting. Gigi badak betina itu membuat lekukan yang dalam pada badan jip. Mengerikan!
Konwar menetapkan peraturan untuk Kaziranga—"Bukan untuk para penakut." Aku melanggar peraturan itu ketika dia menginjak pedal gas sekuat-kuatnya, berusaha keras untuk melepaskan diri dari sergapan si badak. Akhirnya kendaraan kami berhasil membalik lagi dan tidak tergelincir lagi. Tetapi, si badak langsung mengejar, dan masih bisa menyentuh kendaraan dan berlari dalam gumpalan awan tanah sejauh seratusan meter.
Tujuan kami adalah sebuah tempat yang memperlihatkan jejak dua ekor harimau di seputar bangkai seekor badak. Harimau memangsa hingga 15 persen bayi badak di Kaziranga. Bangkai tersebut menunjukkan bahwa kedua harimau menyergap badak dewasa—perburuan berisiko yang jarang terjadi.
!break!
Ancaman paling serius bagi badak masih berasal dari manusia, sama seperti seabad yang lalu. Itulah sebabnya mengapa Kaziranga dijaga oleh hampir 600 orang penjaga di lapangan yang di bersiaga di sejumlah pos yang dibangun di antara kawasan binatang besar yang bandel dan para penjarah. Pasukan penjaga tinggal di 130 pemondokan, sebagian berupa bangunan beton, sementara sisanya berupa rumah kayu atau gubug, semuanya berdiri di atas tiang seperti rumah panggung. Para penjaga menandai tiang pemondokan itu yang menunjukkan tinggi air saat banjir; pada beberapa tahun tertentu, tandanya ada pada tiang di lantai atas. Para penjaga melakukan ronda berdua atau bertiga dengan berjalan kaki atau naik gajah—atau naik perahu. Patroli siang berakhir di malam hari. Mereka bangun untuk memulai giliran berikutnya lama sebelum fajar merekah, dengan pertama-tama singgah sejenak di kuil sederhana untuk bersembahyang kepada Dewi Kakoma, sekali lagi memohon agar ronda yang akan dijalankan itu berlangsung dengan selamat. Saat bulan purnama, regu peronda bertugas sepanjang malam.
Aktivitas ronda tidak pernah berhenti. Orang yang tertangkap sedang mengambil ikan dari sungai atau kolam dangkal disita jalanya dan harus membayar denda. Sementara itu, sapi dan kambing yang merumput di dalam taman dihalau agar kembali ke padang rumput di pedesaan. Yang lebih sering justru para penjaga dipanggil untuk menghalau binatang liar dari pedesaan dan padang rumput untuk digiring kembali masuk ke Kaziranga.
Semua itu pekerjaan rutin biasa saja jika dibandingkan dengan menangani pemburu bersenjata yang menguntit badak. Cula badak—yang terbuat dari serat keratin yang memadat, bahan yang sama dengan dalam kuku dan rambut—berharga untuk dijadikan gagang belati di Timur Tengah dan bahkan jauh lebih tinggi nilainya di kawasan Asia karena diduga berkhasiat sebagai obat. Dengan harga satu cula melebihi Rp300 juta di pasar gelap, ini adalah komoditas yang membuat orang rela mati untuk mendapatkannya.
Dari 1985 hingga 2005, pemburu liar berhasil menembak 447 ekor badak Kaziranga dan beberapa orang penjaga; Adapun penjaga menewaskan 90 penjarah dan menahan 663 lainnya. Jumlah badak yang dijarah setiap tahun jumlahnya menurun hingga kurang dari sembilan ekor sejak 1998—kemudian, pada 2007 naik lagi sampai 18 ekor. Hingga pekan ke-5 tahun 2008, ketika aku tiba, lima ekor lagi telah rubuh nenjadi korban. Yang seekor masih kecil, disembelih demi culanya yang baru tumbuh. Cula induknya yang terluka dipotong dari wajahnya saat binatang itu masih hidup. Baru dua hari kemudian si induk tewas.
!break!
Serangkaian penangkapan berhasil meredam penjarahan badak, meskipun berdasarkan pengalaman sebelumnya, cepat atau lambat semakin banyak orang jahat yang bermunculan. Tetapi, taman itu menghadapi masalah besar yang lain—masalah yang tidak seorang pun bisa mengatasinya.
Kaziranga mengandalkan bentang alam yang jauh lebih luas untuk menopang kehidupan margasatwanya yang menakjubkan. Saat musim banjir besar, tatkala daratan terbenam di bawah arus cokelat Sungai Brahmaputra, margasatwa menyelamatkan diri dan meninggalkan suaka. Sudah sejak dulu selalu begitu. Namun, dewasa ini, ke mana pun menyelamatkan diri, binatang-binatang itu selalu bertemu dengan "banjir manusia" yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Kita dapat tersesat dalam kerimbunan rumput tinggi hingga tepi Kaziranga di sebelah selatan, tetapi tidak jauh dari tempat itu, sudah bisa dijumpai anak-anak, anjing, ayam, kambing perah, dan sawah yang luasnya mencapai berkilometer persegi. Sedikit lebih jauh, kita bisa mencapai daerah aliran sungai dan menemukan seekor sapi terbaring tak berdaya dan mengalirkan darah dari luka di lehernya akibat terkaman harimau, sementara Nijara Nath bercerita tentang pertemuannya dengan harimau tersebut di kandang ternak dekat rumah pada malam hari. Ketika palawija mulai siap dipanen, suaminya, Indeswar, menghabiskan waktu bermalam-malam di tepi ladang mereka, berusaha menghalau herbivora, mulai dari rusa kepala mungil hingga badak yang meninggalkan deretan lubang bekas jejak kakinya di sawah. Keluarga Nath bukan tidak menyukai keberadaan taman nasional—saudara sepupu Indeswar berpenghasilan bagus sebagai tukang masak di penginapan para wisatawan—namun, mereka berharap pemerintah membayar ganti rugi kepada rakyat yang sawahnya dirusak oleh margasatwa penghuni taman. "Pada tahun-tahun tertentu kami mengalami kerugian besar, dan pada tahun lain kerugiannya kecil," kata Indeswar, "tetapi setiap tahun pasti kami mengalami kerugian."
Permukiman rakyat bahkan lebih dekat di bagian utara taman. Dari ketinggian di menara pengawas yang terletak di sebuah pemondokan di bagian utara tersebut, yang bisa kulihat hanyalah hewan ternak—kawanan kerbau dan sapi perah—mencari makan di daerah rawa di dalam taman. Karena hewan ternak sudah terbiasa merumput di daerah ini sebelum dijadikan bagian dari taman suaka margasatwa pada 1990an, pengurus taman mengizinkan kebiasaan ini berlanjut. Namun, secara keseluruhan di daerah itu lebih sering terjadi pertikaian dengan gajah dibandingkan dengan di tempat lain di Assam, Karena terletak pada lintasan migrasi kawanan ternak yang mengikuti sisa-sisa hutan yang masih ada antara Kaziranga dan kaki bukit pegunungan Himalaya di sebelah utara.
Pada musim hujan, kawanan satwa juga bermigrasi ke selatan menuju Perbukitan Karbi. Lima koridor-habitat yang kecil dan amat sangat penting belum lama ini dibangun di taman untuk memudahkan perjalanan migrasi tersebut. Di sepanjang jalan, kawanan satwa harus melalui Jalan Raya Nasional 37, lintasan transportasi utama Assam yang membentang dari timur ke barat. Para penjaga membangun penghalang membentuk lintasan zigzag untuk melambatkan lalu lintas truk di tempat yang paling sering digunakan hewan untuk melintas. Meskipun demikian, gajah, badak, ular sanca, dan rusa yang sedang bermigrasi menjadi korban tabrakan hampir setiap tahun. Usul pelebaran jalan menjadi empat lajur menyulut kemarahan komunitas pelestarian India.
!break!
"Jika Jalan Raya 37 dijadikan jalan berlajur empat, sama saja dengan membunyikan lonceng kematian bagi Kaziranga," kata Asad Rahmani, direktur Masyarakat Sejarah Alam Bombay. Pemerintah mempertimbangkan untuk membatalkan proyek jalan empat lajur itu dan memilih untuk memperbaiki jalan yang sejajar di sebelah utara sungai. "Kami masih tetap harus mengendalikan gangguan dari proyek lain," katanya. Pemerintah harus membeli lahan untuk membangun lebih banyak lagi koridor kalau tidak mau menutup Kaziranga."
Bahkan meskipun jalan menuju Perbukitan Karbi diperkuat, bagaimana dengan perbukitan itu sendiri? Dan lahan terjal menuju Himalaya? Setiap tahun, perusahaan penebangan kayu, perusahaan pengangkut batu, para penggembala, dan kaum tunawisma yang papa menempati daerah yang semakin luas di suaka hutan pemerintah. Hal tersebut mengubah kawasan yang semula rimbun oleh pepohonan menjadi petak-petak berumput yang mengalami pembalakan dan lereng yang terus tergerus. Untunglah India telah mengumumkan Suaka Gajah Kaziranga-Karbi Anglong yang terbentang jauh ke selatan dan Suaka Harimau Kaziranga yang membentang berkilometer ke utara. Namun, saat ini semua itu baru berlaku di atas peta, sementara kawasan yang tidak termasuk ke dalam taman terus saja dilahap oleh orang-orang yang haus tanah.
Tantangan yang dihadapi kini adalah menghubungkan sebanyak-banyaknya bagian di luar kawasan taman. Jika hambatan itu tampak berat, bayangkanlah para penjaga yang kesepian di pos, Budheswar Konwar, dan hukum negara-badak. Anda masih ingat? "Bukan untuk para penakut."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR