Selanjutnya, pada 1798, tahun yang sama saat Malthus menerbitkan tulisannya yang membuat pesimistis, rekan senegaranya Edward Jenner memperkenalkan vaksin untuk cacar air—yang pertama dan yang terpenting dalam serangkaian vaksin dan antibiotika yang, di samping nutrisi dan sanitasi yang lebih baik, menggandakan harapan hidup di Negara-negara maju, dari 35 tahun menjadi 77 tahun saat ini. Hanya orang berpandangan pesimis sajalah yang melihat kecenderungan itu sebagai sesuatu yang suram: “Perkembangan ilmu kedokteran ibarat akhir dari rangkaian peristiwa dan menjadi awal munculnya malapetaka,” tulis Paul Ehrlich, ahli biologi dari Stanford, pada 1968.
Buku Ehrlich, The Population Bomb, membuatnya menjadi pendukung Malthus modern yang paling terkenal. Pada 1970-an, Ehrlich meramalkan, “ratusan juta orang akan mati kelaparan,” dan sudah terlambat untuk menanggulanginya. “Kanker pertumbuhan penduduk … harus dibuang,” tulis Ehrlich, “dengan cara paksa jika secara sukarela tidak berhasil.” Masa depan Amerika Serikat benar-benar menghadapi risiko. Meski buku itu ditulis dengan gaya bahasa yang seperti itu—atau mungkin justru karena gaya bahasanya yang seperti itu—buku tersebut menjadi laris, sebagaimana juga buku Malthus dahulu. Kali ini pun bom tersebut tidak meledak. Revolusi hijau—kombinasi antara benih tanaman unggul, irigasi, pestisida, dan pupuk yang berhasil melipatgandakan hasil panen biji-bijian—sudah digunakan. Dewasa ini memang banyak orang menderita malagizi, tetapi wabah kelaparan besar-besaran jarang terjadi.
Hanya saja, Ehrlich juga benar ketika menyatakan bahwa populasi akan membengkak di saat ilmu kedokteran berhasil menyelamatkan hidup banyak orang. Setelah Perang Dunia II, Negara berkembang mendadak menerima banjir bantuan kesehatan, atas bantuan sejumlah lembaga seperti WHO dan UNICEF. Penisilin, vaksin cacar, DDT (yang, meski kemudian menjadi kontroversial, berhasil menyelamatkan jutaan jiwa dari kematian akibat malaria)—semuanya tiba serentak pada waktu yang bersamaan.
!break!
Di India, harapan hidup meningkat dari 38 tahun pada 1952 menjadi 64 saat ini; di Cina, dari 41 menjadi 73. Jutaan orang di negara berkembang yang semula cenderung meninggal saat masih anak-anak sekarang bisa bertahan hidup sampai mereka bisa melahirkan anak sendiri. Itulah sebabnya mengapa ledakan penduduk menyebar ke seluruh Bumi: karena banyak sekali orang selamat dari kematian. Juga karena pada kurun waktu tertentu kaum perempuan melahirkan banyak sekali anak. Di Eropa pada abad ke-18 atau di Asia pada awal abad ke-20, ketika perempuan rata-rata punya enam orang anak, itu dilakukan sebagai pengganti dirinya dan pasangannya. Sebab, kebanyakan dari anak-anak itu tidaklah pernah mencapai usia dewasa.
Ketika angka kematian anak menurun, pasangan suami-istri pun memiliki lebih sedikit anak—tetapi umumnya, transisi ini paling tidak memakan waktu satu generasi. Dewasa ini di negara maju, angka kelahiran rata-rata 2,1 anak per seorang perempuan dapat membuat populasi ajeg; di dunia berkembang, angka tersebut agak sedikit lebih besar. Hanya saja dalam kurun waktu yang dibutuhkan agar angka kelahiran mencapai keseimbangan dengan angka kematian, jumlah penduduk bakal telah meningkat dengan pesat.
Para ahli demografi menamakan evolusi tersebut dengan transisi demografi. Semua negara mengalami hal itu pada waktunya masing-masing. Ini merupakan ciri khas proses kemajuan umat manusia: di negara yang sudah menyelesaikan transisinya, warganya berhasil mengambil-alih dari alam sekurang-kurangnya kendali atas kematian dan kelahiran. Ledakan penduduk dunia adalah efek samping yang tak terelakkan, efek samping yang begitu besar yang menyebabkan sebagian orang merasa tidak yakin bahwa peradaban kita akan mampu bertahan. Namun, laju pertumbuhan sudah mencapai puncaknya seperti yang diperingatkan Ehrlich. Pada awal 1970-an, angka kesuburan di seluruh dunia mulai menurun lebih cepat daripada yang diperkirakan orang sebelumnya. Sejak itu, laju pertumbuhan penduduk pun menurun lebih dari 40 persen.
Menurunnya angka kelahiran yang sekarang melanda dunia dimulai pada waktu yang berbeda di tiap negara. Prancis adalah salah satu negara yang paling awal mengalaminya. Pada awal abad ke-18, kaum perempuan ningrat Prancis tetap menikmati hubungan seksual tanpa berdampak pada mengandung lebih dari dua anak. Mereka sering mengandalkan metode sama yang digunakan Leeuwenhoek untuk penelitiannya: sanggama terputus. Arsip gereja di pedesaan menunjukkan bahwa kecenderungan ini merebak hingga ke penduduk desa pada akhir abad ke-18; pada akhir abad ke-19, angka kelahiran di Prancis menurun menjadi tiga anak per seorang perempuan—tanpa bantuan alat kontrasepsi modern. Inovasi utamanya bersifat konseptual, bukan kontraseptif, kata Gilles Pison dari Lembaga Nasional untuk Kajian Kependudukan di Paris. Sebelum abad Pencerahan, “jumlah anak yang kaumiliki adalah takdir Tuhan. Orang belum mengerti bahwa jumlah anak bisa mereka tentukan.”
!break!
Negara Barat lainnya pada akhirnya meneladani Prancis. Pada awal Perang Dunia II, angka kelahiran menurun sampai mendekati angka kematian di sebagian Eropa dan AS. Kemudian, setelah terjadinya lonjakan angka kelahiran sesaat yang mencengangkan yang dikenal sebagai baby boom di AS, terjadi penurunan tajam yang lagi-lagi mengejutkan para ahli demografi. Mereka berasumsi bahwa ada naluri yang menyebabkan kaum perempuan tetap melahirkan jumlah anak yang cukup untuk memastikan penyintasan spesies manusia. Alih-alih, di negara maju angka kelahiran menurun sampai di bawah angka kematian. Pada akhir 1990-an di Eropa, angka tersebut turun sampai di bawah 1,4. “Bukti yang saya pahami benar, yang sifatnya jenaka, adalah bahwa kaum perempuan sama sekali tidak peduli perihal penyintasan spesies,” kata Joel Cohen.
Akhir suatu periode ledakan penduduk atau baby boom dapat memberikan dua dampak besar dalam bidang ekonomi suatu negara. Yang pertama adalah “keuntungan demografi”—beberapa dasawarsa yang indah ketika penduduk yang dilahirkan saat masa ledakan tersebut memperbesar angkatan kerja dan jumlah orang muda, sementara orang tua yang tidak bekerja relatif sedikit sehingga terdapat banyak dana untuk memenuhi keperluan lain. Kemudian, dampak kedua menyentak: Penduduk yang dilahirkan di periode ledakan tersebut mulai memasuki masa pensiun. Hal yang semula dipandang sebagai tatanan demografi yang mapan ternyata harus berakhir. Perdebatan sengit di Amerika tentang Jaminan Sosial serta pemogokan tahun lalu di Prancis tentang peningkatan usia pensiun merupakan reaksi terhadap masalah yang ada di seluruh kawasan negara maju: bagaimana mendukung populasi yang beranjak tua. “Pada 2050, apakah terdapat cukup banyak orang yang bekerja sehingga tersedia dana untuk membayar uang pensiun?” tanya Frans Willekens, direktur Institut Demografi Interdisipliner Belanda di Den Haag. “Jawabannya tidak.”
Negara maju perlu waktu beberapa generasi untuk menurunkan angka kelahiran hingga menyamai atau lebih rendah dari angka kematian. Saat transisi yang sama berlangsung di kawasan lainnya, para ahli demografi tercengang karena betapa jauh lebih cepatnya hal itu terjadi. Meski penduduknya terus tumbuh, China yang dihuni oleh seperlima penduduk dunia sudah berhasil menurunkan angka kelahiran sampai di bawah angka kematian dan hal itu sudah berlangsung selama hampir 20 tahun, antara lain berkat kebijakan paksa satu-anak yang diterapkan pada 1979; perempuan China yang rata-rata masih punya enam anak pada 1965, sekarang hanya punya 1,5. Di Iran, dengan dukungan penguasa Islam, angka kelahiran turun lebih dari 70 persen sejak awal 1980-an. Di Brasil yang demokratis dan penduduknya penganut Katolik, kaum perempuan berhasil menurunkan angka kesuburan menjadi tinggal separuhnya dalam tempo seperempat abad. “Kami masih belum memahami benar mengapa angka kelahiran menurun begitu cepat di begitu banyak masyarakat, di begitu banyak budaya dan agama. Ini benar-benar mencengangkan,” kata Hania Zlotnik, direktur Divisi Kependudukan PBB.
“Pada saat ini, meskipun saya ingin bisa mengatakan bahwa masih ada masalah tingginya angka kelahiran, hal itu hanya dialami oleh 16 persen penduduk dunia, kebanyakan di Afrika,” kata Zlotnik. Di Sahara Selatan, angka kelahiran memang masih tetap lima anak per seorang perempuan, sementara di Niger tujuh. Akan tetapi, 17 negara di wilayah itu masih memiliki harapan hidup 50 tahun atau kurang; mereka baru memulai transisi demografi. Namun, di kebanyakan bagian dunia yang lain, ukuran keluarga menyusut secara dramatis. PBB memperkirakan dunia akan mencapai keseimbangan angka kelahiran-kematian pada 2030. “Keseluruhan penduduk dunia sedang berada dalam jalur menunju kestabilan—dan ini berarti kabar baik,” ujar Zlotnik.
!break!
Kabar buruknya adalah bahwa 2030 hanya tinggal dua dasawarsa lagi dan bahwa pada saat itu generasi remaja—yang terbesar dalam sejarah—akan memasuki masa subur. Bahkan seandainya pun setiap perempuan di masa itu hanya punya dua anak, populasi bakal melesat menurut momentumnya sendiri yang akan berlangsung selama sekitar seperempat abad. Apakah bencana besar akan segera terjadi, atau apakah orang di masa itu akan bisa hidup secara manusiawi dengan cara yang tidak merusak lingkungan? Satu hal yang sudah pasti: hampir seperenam dari penduduk dunia pada masa itu tinggal di India.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR