Hal seperti itu tidak dijumpai di pinggiran kota. Bersama tim Desai saya mengunjungi Palanpur, sebuah desa di Uttar Pradesh—sebuah negara bagian di kawasan sabuk Hindi yang jumlah penduduknya sama dengan penduduk Brasil. Ketika berjalan memasuki desa itu, kami melewati menara ponsel, tetapi juga selokan pembuangan limbah yang mengalir di sepanjang jalur rumah-rumah bata yang kecil. Di bawah pohon mangga, tukang bersih semak belukar mengatakan, dia tidak melihat alasan untuk menyekolahkan ketiga anak perempuannya. Di bawah pohon nimba (Azadirachta indica) di tengah desa, saya menanyai belasan orang petani tentang hal terbaik apakah yang bisa memperbaiki kehidupan mereka. “Kalau ada yang mau memberi kami uang, pasti menyenangkan,” kata salah seorang dengan bercanda.
Sasaran di India seharusnya jangan berupa menurunkan angka kelahiran atau populasi, begitu kata Almas Ali dari Yayasan Kependudukan, ketika saya bercakap-cakap dengannya beberapa hari kemudian. “Sasarannya seharusnya membuat pedesaan layak huni,” ujarnya. “Setiap kali kita berbicara tentang populasi di India, bahkan juga sekarang, yang pertama kali terpikirkan adalah angka yang terus meningkat. Dan angka ini dilihat dengan perasaan cemas. Sifat fobia ini sudah menerobos pola pikir sedemikian rupa sehingga terpusat pada cara menurunkan angka ini. Pusat perhatian pada manusianya sudah tersingkirkan.”
Lama perjalanan pulang ke Delhi dari Palanpur adalah empat jam, melalui malam pasar pada suatu hari Minggu. Kami terjebak dalam kemacetan dari kota pasar yang satu ke kota pasar yang lain, masing-masing disibukkan oleh kegiatan yang kadang seakan hendak melahap mobil kami. Tatkala kami tiba di sebuah jembatan menuju Moradabad, saya melihat seorang lelaki mendorong gerobak mendaki bukit terjal, dipenuhi muatan begitu besar sehingga menutupi pandangannya. Saya pun teringat pada pencerahan yang dialami Ehrlich saat berada dalam taksinya beberapa dasawarsa yang lalu. Orang, orang, orang, orang—ya. Namun juga perasaan meluap-luap tentang energi, perjuangan, aspirasi.
!break!
Pertemuan tahunan Asosiasi Kependudukan Amerika (Population Association of America – PAA) adalah salah satu pertemuan besar yang dihadiri para ahli demografi dunia. Pada pertemuan April yang lalu, ledakan penduduk dunia tidak tercantum pada agendanya. “Masalah tersebut sudah menjadi agak usang,” ujar Hervé Le Bras. Para ahli demografi pada umumnya yakin bahwa pada paruh kedua abad ini kita akan mengakhiri salah satu era unik dalam sejarah—ledakan penduduk—dan memasuki era lain yang memperlihatkan populasi yang stabil atau bahkan menyusut.
Namun, apakah jumlah manusia akan terlalu banyak? Pada pertemuan PAA di hotel Dallas Hyatt Regency, saya ketahui bahwa jumlah penduduk Bumi dapat pas jika dijejalkan ke dalam negara bagian Texas, jika Texas dihuni sepadat New York. Pembandingan tersebut membuat saya mulai merenung seperti Leeuwenhoek. Jika pada 2045 terdapat sembilan miliar manusia menghuni enam benua yang layak huni, kerapatan penduduk dunia akan sedikit dari setengah kerapatan penduduk Prancis saat ini. Prancis jarang dipandang sebagai tempat yang sangat tidak nyaman. Apakah dunia akan menjadi tempat yang sangat tidak nyaman kelak pada saat itu?
Sebagian kawasan dunia mungkin sekali begitulah keadaannya; sebagian sudah sangat tidak nyaman saat ini. Sekarang terdapat 21 kota yang penduduknya lebih dari sepuluh juta orang, dan pada 2050 akan lebih banyak lagi. Delhi menampung ratusan ribu pendatang setiap tahun dan mereka tiba tanpa menyadari bahwa “belum ada program terencana untuk pengadaan air, saluran pembuangan, atau hunian,” kata Shailaja Chandra. Dhaka di Bangladesh dan Kinshasa di Republik Demokratik Kongo berpenduduk 40 kali lebih banyak jika dibandingkan pada 1950. Perkampungan kumuh di sana dipenuhi orang miskin sengsara yang melarikan diri dari kemiskinan yang lebih parah di pedesaan.
Dewasa ini banyak negara menghadapi tekanan populasi yang tampaknya tak tertangani di mata kita seperti India di mata Ehrlich pada 1966. Bangladesh adalah salah satu negara yang paling padat penduduknya di dunia dan salah satu yang paling terancam oleh perubahan iklim; gelombang pasang air laut dapat menyapu jutaan warga Bangladesh. Rwanda mengalami hal yang sama mencemaskannya. Dalam bukunya Collapse, Jared Diamond mengemukakan bahwa pembantaian sekitar 800.000 warga Rwanda pada 1994 adalah akibat beberapa faktor, bukan hanya kebencian etnik, tetapi juga kelebihan penduduk—terlalu banyak petani membagi luas lahan yang sama menjadi luas yang semakin lama semakin sempit sehingga tidak cukup untuk menopang kehidupan keluarga. “Masa depan terburuk yang diramalkan Malthus di suatu saat nanti mungkin terbukti,” begitu Diamond menyimpulkan.
!break!
Banyak orang yang secara masuk akal merasa cemas bahwa pada akhirnya Malthus akan terbukti benar di tingkat global—bahwa Bumi tidak akan sanggup memberi makan sembilan miliar orang. Lester Brown, pendiri Lembaga Worldwatch dan sekarang kepala Lembaga Kebijakan Bumi di Washington, yakin bahwa keterbatasan pangan dapat menyebabkan runtuhnya peradaban dunia. Umat manusia mempertahankan kehidupannya dengan menghabiskan sumber daya alam, begitu dikemukakan Brown, dengan mengikis tanah dan menghabiskan persediaan air tanah lebih cepat daripada pemulihannya kembali. Semua itu akan segera menyusutkan produksi pangan. Rencana cadangan Brown untuk menyelamatkan peradaban akan menempatkan seluruh dunia dalam keadaan siap tempur, seperti A.S. setelah peristiwa Pearl Harbor, untuk menstabilkan iklim dan memperbaiki kerusakan lingkungan. “Memperbaiki kelemahan program keluarga berencana mungkin merupakan perkara paling mendesak dalam agenda dunia,” begitu tulis Brown, sehingga jika kita tidak berhasil mempertahankan penduduk dunia pada angka delapan miliar dengan menurunkan angka kelahiran, angka kematianlah yang mungkin bisa meningkat.
Angka delapan miliar sesuai dengan perkiraan terendah PBB untuk 2050. Dalam skenario yang optimistis itu, Bangladesh memiliki angka kelahiran 1,35 pada 2050, tetapi pada saat itu kelak negara tersebut masih memiliki penduduk 25 juta lebih banyak dibandingkan sekarang. Angka kelahiran di Rwanda juga turun sampai di bawah tingkat keseimbangan, tetapi jumlah penduduknya tetap bertambah hingga mencapai dua kali lipat sebelum masa pembantaian besar-besaran dulu. Jika ini skenario yang optimistis, mungkin begitu pikir kita, masa depan memang sangat suram.
Akan tetapi, kita juga bisa menarik kesimpulan yang berbeda—bahwa terpaku pada angka populasi saja bukanlah cara terbaik untuk menghadapi masa depan. Orang yang tinggal berdesak-desakan di kawasan kumuh memerlukan bantuan dan masalah yang harus dipecahkan adalah kemiskinan serta tidak tersedianya prasarana, bukan kelebihan penduduk. Menyediakan layanan keluarga berencana bagi kaum perempuan memang bagus—“Salah satu strategi yang dapat berdampak paling besar terhadap kehidupan perempuan,” begitu Chandra menyikapinya. Namun, program pengendalian penduduk yang paling gencar pun tidak akan bisa menyelamatkan Bangladesh dari gelombang pasang air laut, Rwanda dari pembantaian lain, atau kita semua dari masalah lingkungan yang amat parah.
Pemanasan global adalah contoh yang bagus. Emisi karbon dari bahan bakar fosil tumbuh paling pesat di China berkat kemajuan ekonominya yang berkelanjutan, tetapi angka kelahiran di negara itu sudah di bawah angka keseimbangan; tidak banyak upaya lagi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan populasi. Di Afrika sub-Sahara yang jadi tempat berlangsungnya pertumbuhan populasi tercepat, emisi per orang hanya segelintir persen dari yang terjadi di AS—jadi, pengendalian populasi tidak akan terlalu berdampak pada iklim. Brian O’Neill dari Pusat Penelitian Atmosfer Nasional sudah menghitung bahwa jika populasi mencapai 7,4 miliar pada 2050 alih-alih 8,9 miliar, emisi akan berkurang 15 persen. “Orang yang mengatakan bahwa masalah satu-satunya adalah populasi itu keliru,” ujar Joel Cohen. “Populasi bahkan bukan faktor yang dominan.” Untuk menghentikan pemanasan global, kita semua harus beralih dari bahan bakar fosil ke energi alternatif—menjadi sebesar apa pun populasi kelak.
!break!
Tentu saja jumlah orang memang berperan penting. Namun, cara kita melahap sumber daya justru jauh lebih penting. Sebagian di antara kita meninggalkan dampak jauh lebih besar daripada orang lain. Tantangan utama bagi masa depan manusia dan planet ini adalah bagaimana kita bisa mengentaskan lebih banyak orang dari kemiskinan—penghuni kawasan kumuh di Delhi, kebersintasan para petani di Rwanda—sambil mengurangi dampak yang kita hasilkan masing-masing terhadap planet ini.
Bank Dunia meramalkan bahwa pada 2030 lebih dari satu miliar orang di dunia ketiga akan menjadi bagian dari “kelas menengah global,” bertambah dari hanya 400 juta pada 2005. Itu bagus. Namun, akan menjadi beban bagi Bumi jika orang-orang itu menyantap daging dan mengendarai mobil bensin dengan laju kecepatan yang sama dengan yang dilakukan warga AS saat ini. Sudah terlambat menghalangi kelahiran kelas menengah baru 2030; belum terlambat mengubah cara mereka dan kita semua dalam menghasilkan dan melahap pangan dan energi. “Menyantap lebih sedikit daging tampaknya lebih masuk akal bagi saya daripada berkata, ‘Kurangi jumlah anak!’” ujar Le Bras.
Berapa banyakkah orang yang dapat didukung Bumi? Untuk menjawabnya, Cohen menghabiskan waktu bertahun-tahun mengkaji semua penelitian, mulai dari penelitian Leeuwenhoek dan seterusnya. “Saya menulis buku dengan perkiraan dapat menjawab pertanyaan itu,” ujarnya. “Ternyata pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan pengetahuan kita saat ini.” Alih-alih, yang didapatinya adalah “angka politik yang rentangnya lebar, yang dimaksudkan untuk membujuk orang” untuk mencapai kesimpulan yang dikehendaki.
Selama berabad-abad kelompok yang pesimistis tentang populasi melontarkan peringatan tentang akhir dunia yang ditujukan kepada kelompok optimis sejati. Kelompok yang terakhir ini benar-benar yakin bahwa umat manusia akan berhasil mencari jalan untuk menanggulangi dan bahkan memperbaiki nasibnya. Sampai sejauh ini, sejarah pada umumnya berpihak kepada kelompok optimis, tetapi sejarah bukan panduan yang meyakinkan tentang masa depan. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak dapat meramalkan hasil pertarungan Manusia vs. Bumi, sebab semua faktanya—akan berapa banyak jumlah kita dan bagaimana cara kita hidup—bergantung pada berbagai pilihan yang masih harus kita ambil dan berbagai gagasan yang masih harus kita gagas. Misalnya kita mungkin saja, kata Cohen, “memastikan bahwa semua anak berkecukupan gizi sehingga bisa bersekolah dan berpendidikan cukup untuk memecahkan masalah yang akan mereka hadapi di saat mereka sudah dewasa.” Hal itu dapat mengubah masa depan secara signifikan.
!break!
Perdebatan tersebut sudah ada pada sosok Pendeta Thomas Malthus sejak paham kecemasan tentang populasi mencuat. Menjelang akhir bukunya, yang di dalamnya dirumuskan hukum kaku yang menyatakan bahwa populasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan wabah kelaparan, Malthus menyatakan hukum itu amat bagus: Hal itu menyebabkan kita bertindak. Hal itu menyebabkan kita menaklukkan dunia. Umat manusia, begitu tulis Malthus, bersifat “lembam, lamban, dan tidak suka bekerja, kecuali jika terpaksa.” Namun kebutuhan, katanya, memberikan harapan:
“Upaya yang menurut kita perlu dilakukan, untuk menopang diri sendiri atau keluarga, sering membangunkan kekuatan yang kalau tidak dibangunkan bisa selamanya tersembunyi, dan sudah diketahui bahwa situasi baru dan yang luar biasa pada umumnya menciptakan pemikiran yang cukup baik untuk menghadapi kesulitan yang melibatkan diri kita.”
Tujuh miliar manusia sebentar lagi, sembilan miliar pada 2045. Mari kita harapkan bahwa Malthus benar bahwa kita memang panjang akal.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR