Dalam sinar pagi yang menyilaukan, saya menemui Haidara, salah seorang sejarawan terkemuka Timbuktu di pekarangan batu rumah keluarganya, tidak jauh dari Masjid Sankore. Haidara ingin menunjukkan sesuatu yang menurutnya merupakan bukti dokumenter pertama tentang praktik demokrasi di Afrika, surat dari seorang utusan kepada syekh Masina. Suhu segera mendekati 38° Celsius dan keringatnya membasahi jubah katun yang longgar di saat dia memindahkan puluhan peti kulit berdebu, masing-masing penuh berisi naskah. Dia membuka ikatan sebuah peti, membukanya, dan mulai memilah jilid-jilid bersampul kulit retak dengan hati-hati. Saya mengendus bau tajam dari kulit samak dan lumut. “Bukan di sini,” gumamnya.
Haidara orang yang terobsesi dengan tulisan. Katanya, buku terukir dalam jiwanya, dan Haidara yakin bahwa buku akan menyelamatkan Timbuktu. Kata membentuk urat dan otot yang menegakkan masyarakat, begitu keyakinan lelaki itu. Lihat saja Al-Qur'an, Injil, Konstitusi AS, begitu pula surat dari ayah kepada putranya, surat wasiat, doa, kutukan. Ribuan kata yang mengandung aneka ragam emosi mengisi setiap relung kehidupan manusia. “Sebagian kata-kata itu,” katanya penuh kemenangan, “hanya ada di sini, di Timbuktu.”
!break!
Tampaknya itu ucapan yang sudah berulang kali dikatakan, tetapi itu juga sudut pandang yang logis bagi orang yang keluarganya mengendalikan perpustakaan pribadi terbesar di Timbuktu, berisi sekitar 22.000 naskah yang berasal hingga abad ke-11 Masehi dan pelbagai jilid, sebagian berilustrasi emas yang mewah dengan pinggir halamannya berhiaskan aneka warna.
Ada sejumlah buku harian berisi siasat dan muslihat, juga surat-menyurat antara raja dan gubernur, dan banyak lembar yang berisi teologi Islam, risalah hukum, catatan ilmiah, bacaan astrologi, obat kedokteran, tata bahasa Arab, puisi, peribahasa, dan mantera. Di antaranya juga ada carik-carik kertas yang mencatat kegiatan sehari-hari perdagangan, resi barang, sensus kawanan unta oleh pedagang pemiliknya, inventaris kafilah. Sebagian besar berbahasa Arab, tetapi ada yang berbahasa Songhai, bahasa ibu Haidara. Ada yang berbahasa Tamashek, bahasa suku Tuareg. Haidara bisa duduk berjam-jam di antara tumpukan itu, tenggelam dalam kitab demi kitab, setiap buku bak teleskop mini yang memungkinkan dirinya mengintip masa lalu.
Mosaik Timbuktu yang muncul dari naskahnya dan naskah lain kota itu menggambarkan pelabuhan transit yang makmur berkat letaknya di persimpangan dua jalur dagang penting—rute kafilah Sahara dan Sungai Niger. Para saudagar membawa kain, rempah-rempah, dan garam dari tempat sejauh Granada, Kairo, dan Mekah untuk ditukar dengan emas, gading, dan budak dari pedalaman Afrika. Seiring meningkatnya kemakmuran, kota itu mendirikan masjid agung, menarik kaum cendekiawan yang kemudian mendirikan akademi dan mengimpor buku dari seluruh dunia Islam. Akibatnya, fragmen kisah 1001 Malam, puisi cinta bangsa Moor, tafsir Alquran dari Mekah berbaur dengan penuturan tentang intrik istana dan petualangan militer dari berbagai kerajaan adidaya Afrika.
Sementara buku baru berdatangan, pasukan katib membuat reproduksi indah untuk perpustakaan pribadi milik guru-guru setempat dan para hartawan penyantun mereka. “Anda lihat?” kata Haidara sambil memutar tangannya dengan dramatis. “Buku melahirkan buku baru.”
Keruntuhan Timbuktu terjadi saat salah satu bangsa penakluknya menghargai pengetahuan setinggi penduduk Timbuktu sendiri. Kota itu tak pernah memiliki tentara yang besar. Semenjak suku Tuareg mendirikan Timbuktu sebagai perkemahan musiman sekitar tahun 1100, kekuasaan atas kota itu berpindah-pindah tangan—suku Mali, Songhai, Fulani dari Masina.
!break!
Pedagang Timbuktu biasanya menyogok pemimpin baru mereka yang terutama tertarik pada pajak melimpah yang dipungut dari perdagangan. Namun ketika pasukan Maroko tiba pada 1591, tentara negeri itu menjarah perpustakaan dan mengumpulkan cendekiawan yang paling cemerlang, mengirim mereka kepada sultan Maroko. Peristiwa tersebut menyebabkan perpustakaan Timbuktu terpencar-pencar. Sisa koleksinya tersebar di antara keluarga-keluarga yang menguasainya. Sebagian disembunyikan di dalam tembok bata lumpur di rumah; sebagian dikuburkan di gurun, banyak yang hilang atau hancur saat dipindahkan.
Cinta Haidara yang tak kunjung padam pada buku itulah yang mula-mula mendorong dia mengikuti leluhurnya meniti karier sebagai ulama dan kemudian melontarkannya ke garis depan upaya Timbuktu dalam menyelamatkan naskah-naskah kota itu. Berkat sumbangan dari berbagai pemerintah dan lembaga swasta di seluruh dunia, tiga perpustakaan baru yang canggih telah dibangun untuk mengumpulkan, merestorasi, dan mendigitalkan naskah Timbuktu. Haidara mengepalai salah satu perpustakaan baru tersebut—didukung oleh Ford Foundation—yang kebanyakan menyimpan koleksi besar keluarganya. Berita tentang kebangkitan naskah memicu sang Aga Khan, seorang pemimpin penting Muslim Syiah, untuk memugar salah satu masjid bersejarah kota itu dan menggugah pemimpin Libia Muammar Qaddafi untuk mulai membangun sanggraloka bertembok yang mewah untuk mengantisipasi penyelenggaraan kongres akademis di masa mendatang.
Aku bertanya kepada Haidara apakah masalah di gurun menghambat renaisans Timbuktu. “Penjahat, atau siapa pun mereka, tak pernah kucemaskan,” katanya sambil menunjuk halaman yang dipenuhi lubang-lubang panjang kecil. “Rayaplah musuh terbesarku.” Kaum cendekiawan memperkirakan ada ribuan naskah yang terkubur di gurun atau terlupakan di tempat persembunyian, lalu perlahan-lahan hancur oleh panas, pembusukan, dan serangga. Haidara pun dihantui oleh pertanyaan naskah apa saja yang mungkin hilang. “Dalam mimpi terburukku,” katanya, “aku melihat suatu teks langka yang belum kubaca dimakan perlahan-lahan.”
!break!
Setelah perbincangan dengan saudagar garam tentang si Mata Satu, warga setempat menyarankan saya untuk berkonsultasi dengan seorang marbut, semacam orang suci Muslim. Dengan harga tertentu, dia bisa memberi saya gris-gris, kantong kulit kecil berisi ayat Alquran yang diisi jampi-jampi perlindungan oleh si marbut. “Dia satu-satunya orang yang mampu melindungimu dari Belaouer,” kata orang itu membuka rahasia.
Setiba di rumah marbut itu, saya masuk ke ruang depan yang kecil dan melihat seorang lelaki kurus nan dekil berjongkok di lantai tanah. Dia memegang erat salah satu tangan saya dengan kedua tangannya. Beberapa kuku jarinya panjang melengkung seperti cakar. “Assalamualaikum,” serunya. Tetapi, setelah saya membalas salam, dia tidak juga melepaskan tangan saya. Dia malah duduk di lantai, sedikit berayun maju-mundur, terus memegang dengan kencang, dan tersenyum kepada saya. Lalu, saya lihat ada rantai yang dililitkan di pergelangan kakinya. Rantai itu meliuk di lantai ke cincin besi yang tertanam di tembok batu.
Setelah itu, lelaki botak berusia akhir 40-an dengan kaca mata baca dikalungkan di leher muncul. Si marbut. Dengan sopan dia menjelaskan bahwa lelaki yang dirantai itu sedang menjalani proses yang akan membebaskannya dari arwah yang mengganggu akalnya. “Perawatan 30 hari,” katanya. Dia membelai rambut lelaki yang berjongkok itu dengan lembut. “Dia sudah jauh membaik dibandingkan saat baru datang dulu.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR