Di kota kafilah Timbuktu yang kuno, bermalam-malam sebelum saya bertemu dengan penggemar buku atau marbut, atau menghibur pacar si Baret Hijau, saya dipanggil ke atas atap untuk menemui seorang saudagar garam. Saya dengar, dia punya informasi tentang orang Prancis yang disandera teroris di suatu tempat terpencil nun di gurun pasir Mali utara. Truk si saudagar biasa melintasi tanah gersang tersebut, membawa beragam bahan keperluan ke tambang-tambang yang terletak di dekat perbatasan Aljazair, lalu mengangkut lempeng garam yang berat kembali ke Timbuktu. Jadi, mungkin saja dia tahu tentang penculikan yang telah meluluhlantakkan bisnis wisata di kota legendaris tersebut.
Saya sampai di sebuah rumah dalam suatu perkampungan Arab setelah azan isya. Seorang bocah bertelanjang kaki kemudian mengantar saya melintasi pekarangan yang gelap dan menaiki tangga batu ke teras atap, tempat si saudagar garam duduk di atas bantal. Sosoknya tambun, tetapi tampak mungil di samping lelaki raksasa yang duduk di sebelahnya. Ketika si raksasa menegakkan tubuhnya yang besar untuk menyapa saya, tingginya hampir dua meter. Kepala si raksasa dililit serban linen sehingga yang terlihat hanyalah matanya. Tangannya yang besar dan hangat membungkus tangan saya.
Kami berbasa-basi sekian jurus lamanya, kebiasaan berabad-abad yang selalu mengawali percakapan di Timbuktu. Assalamualaikum. Waalaikumsalam. Keluarga Anda sehat? Ternak Anda gemuk? Badan Anda kuat? Alhamdulillah. Namun, setelah babak pendahuluan tersebut, si saudagar garam berdiam diri. Si raksasa mengeluarkan sobekan perkamen usang, lalu dengan suara bariton yang empuk dan agak teredam oleh serban yang menutupi mulut, dia menjelaskan bahwa kertas itu adalah fragmen Al-Quran yang pada berabad-abad silam tiba di Timbuktu dibawah kafilah dari Madinah. “Buku,” kata si raksasa sambil mengangkat telunjuknya yang besar sebagai penekanan, “dulu di Timbuktu lebih diinginkan daripada emas atau budak.”
Dia menyalakan lampu senter dan memakai kacamatanya yang telah usang. Sambil membalik halaman dengan jemari besarnya secara hati-hati, dia mulai membaca dalam bahasa Arab sementara si saudagar garam menerjemahkan: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
!break!
Aku bingung apa kaitan perbincangan kami itu dengan orang Prancis yang diculik. “Lihat betapa bagus tulisannya,” kata si raksasa, menunjuk lengkung halus dalam tinta merah dan hitam yang memudar di atas halaman yang menguning. Dia berhenti sejenak, “Kulepas kepadamu kalau harganya bagus.” Aku pun mengeluarkan dalih yang biasa kugunakan untuk pemuda dan anak-anak yang menjajakan perhiasan perak di dekat masjid. Aku berterima kasih karena dia memperlihatkan kitab tersebut dan mengatakan bahwa kitab itu terlalu indah, jangan sampai meninggalkan Timbuktu. Si raksasa mengangguk sopan, menyimpan kertas itu, lalu menuruni tangga batu.
Sementara itu si saudagar garam menylut sebatang rokok. Dia memiliki kebiasaan mengulum asap sampai mulutnya mengatakan sesuatu sehingga kepulan-kepulan kecil akan keluar bersama kata-kata yang dia ucapkan. Dia menjelaskan, si raksasa sebenarnya tidak ingin menjual naskah yang telah diwariskan turun-temurun dari leluhur ibunya itu. Hanya saja, keluarganya perlu uang. “Dia bekerja untuk pemandu wisata, tetapi sekarang tidak ada turis,” katanya. “Masalah yang terjadi di gurun itu membuat kami semua kena getahnya.” Akhirnya, dia mengungkit masalah si Prancis. “Kudengar si Mata Satu sudah menetapkan tenggat.”
Saat saya berada di Timbuktu, beberapa warga menyangkal bahwa kota itu rawan dan memohon kepada saya agar “menyuruh orang Eropa dan Amerika untuk datang.” Namun, hampir sepanjang dasawarsa terakhir Kementerian Luar Negeri AS dan pemerintah Barat lainnya menganjurkan warganya untuk menghindari Timbuktu, juga daerah lainnya di Mali utara. Pasalnya, ancaman yang datang dari berbagai sel teroris, kelompok pemberontak, dan gerombolan penyelundup yang tersebar telah menghisap kawasan gurun luas di utara Mali. Alam liar tak berhukum ini luasnya nyaris tiga kali Pulau Kalimantan, sebagian besar berupa hamparan pasir dan batu, dengan angin dan sengatan terik yang tak kenal ampun.
Gerombolan yang paling terkenal dipimpin oleh Mokhtar Belmokhtar, seorang pemimpin berkebangsaan Aljazair di kelompok Al Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM). Konon matanya cedera saat melawan Rusia di Afghanistan dan kini Belmokhtar terkenal di seluruh gurun dengan julukan perangnya Belaouer, istilah bahasa gaul Prancis-Aljazair yang berarti si Mata Satu. Sejak 2003, anak buah Si Mata Satu telah menculik 47 orang Barat. Hingga 2009, AQIM telah membuat kesepakatan untuk membebaskan semua sandera, tetapi ketika Inggris tidak mau memenuhi tuntutan kelompok itu bagi pembebasan Edwin Dyer, seorang turis Inggris, si sandera dihukum mati—dipancung, menurut warga setempat. Jenazah korban tak pernah ditemukan. Beberapa minggu sebelum saya tiba, Belaouer dan anak buahnya menangkap sandera baru: tiga relawan dari Spanyol, pasangan Italia, dan si orang Prancis.
!break!
“Belaouer sangat cerdik,” kata si saudagar garam menekankan. Dia menceritakan bagaimana AQIM memperoleh perlindungan dari kabilah-kabilah berbahasa Arab lewat pernikahannya dengan putri seorang kepala kabilah yang berkuasa. Beredar isu santer bahwa dia memberi BBM dan ban bekas kepada patroli tentara Mali yang nahas terdampar di gurun. Cerita seperti itu membuat Belaouer memperoleh simpatisan di kalangan komunitas Arab minoritas di Timbuktu, yang membuat marah kelompok etnis dominan kota itu, suku Tuareg dan Songhai.
Di atas atap udara mendingin. Si saudagar garam menyampirkan selimut ke bahunya dan mengisap rokok dalam-dalam. Di sebelah utara, lampu kota berganti dengan gurun terbuka yang gelap gulita. Dia memberi tahu bahwa AQIM telah memutuskan nyawa orang Prancis itu dihargai dengan pembebasan empat orang kelompok Belaouer yang ditangkap oleh polisi Mali tahun lalu. Tenggat untuk memenuhi tuntutan itu adalah empat minggu lagi.
Saya bertanya mengapa tentara Mali tidak menyerang gerombolan teroris itu. Dia mengarahkan ujung rokoknya yang membara ke arah kelompok rumah yang terletak beberapa jalan jauhnya dan menceritakan, di lingkungan itu beberapa bulan sebelumnya, anak buah Belaouer membunuh seorang kolonel angkatan darat di depan keluarganya yang masih muda. “Semua orang di Timbuktu mendengar tembakannya,” katanya lirih. Dia menirukan suaranya, dor, dor, dor. Lalu, dia melambaikan rokok ke arah gugusan sinar lampu listrik yang menampakkan bentuk kota. “Si Mata Satu punya mata di mana-mana.” Lalu, hampir seperti baru terpikir, dia melanjutkan, “Saya yakin dia tahu Anda ada di sini.”
!break!
Pasir yang tertiup dari gurun nyaris menelan jalan aspal yang melintasi pusat Kota Timbuktu ke rumah Abdel Kader Haidara. Pasir juga menggerus aspal sehingga jalan yang tersisa mirip ular hitam yang meliuk. Di tepi jalan, di depan bangunan dari bata-lumpur yang bobrok, kambing-kambing meramban di antara sampah yang bertebaran.
Ini bukanlah kota yang terlalu cantik, itulah pendapat yang sering diulang oleh orang asing yang datang membayangkan pemandangan megah sejak 1828, ketika Réné Caillié menjadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Timbuktu dan pulang hidup-hidup. Namun, kota ini selalu waspada. Setiap kali kendaraan lewat, anak-anak berhenti bermain bola, perempuan berhenti memasukkan bahan bakar ke oven bata, dan lelaki di pasar menghentikan percakapan untuk melihat siapa yang lewat. “Kami harus tahu siapa yang berada di kota,” kata sopir saya. Wisatawan dan pedagang garam berarti peluang bisnis; orang asing bisa berarti masalah.
Dalam sinar pagi yang menyilaukan, saya menemui Haidara, salah seorang sejarawan terkemuka Timbuktu di pekarangan batu rumah keluarganya, tidak jauh dari Masjid Sankore. Haidara ingin menunjukkan sesuatu yang menurutnya merupakan bukti dokumenter pertama tentang praktik demokrasi di Afrika, surat dari seorang utusan kepada syekh Masina. Suhu segera mendekati 38° Celsius dan keringatnya membasahi jubah katun yang longgar di saat dia memindahkan puluhan peti kulit berdebu, masing-masing penuh berisi naskah. Dia membuka ikatan sebuah peti, membukanya, dan mulai memilah jilid-jilid bersampul kulit retak dengan hati-hati. Saya mengendus bau tajam dari kulit samak dan lumut. “Bukan di sini,” gumamnya.
Haidara orang yang terobsesi dengan tulisan. Katanya, buku terukir dalam jiwanya, dan Haidara yakin bahwa buku akan menyelamatkan Timbuktu. Kata membentuk urat dan otot yang menegakkan masyarakat, begitu keyakinan lelaki itu. Lihat saja Al-Qur'an, Injil, Konstitusi AS, begitu pula surat dari ayah kepada putranya, surat wasiat, doa, kutukan. Ribuan kata yang mengandung aneka ragam emosi mengisi setiap relung kehidupan manusia. “Sebagian kata-kata itu,” katanya penuh kemenangan, “hanya ada di sini, di Timbuktu.”
!break!
Tampaknya itu ucapan yang sudah berulang kali dikatakan, tetapi itu juga sudut pandang yang logis bagi orang yang keluarganya mengendalikan perpustakaan pribadi terbesar di Timbuktu, berisi sekitar 22.000 naskah yang berasal hingga abad ke-11 Masehi dan pelbagai jilid, sebagian berilustrasi emas yang mewah dengan pinggir halamannya berhiaskan aneka warna.
Ada sejumlah buku harian berisi siasat dan muslihat, juga surat-menyurat antara raja dan gubernur, dan banyak lembar yang berisi teologi Islam, risalah hukum, catatan ilmiah, bacaan astrologi, obat kedokteran, tata bahasa Arab, puisi, peribahasa, dan mantera. Di antaranya juga ada carik-carik kertas yang mencatat kegiatan sehari-hari perdagangan, resi barang, sensus kawanan unta oleh pedagang pemiliknya, inventaris kafilah. Sebagian besar berbahasa Arab, tetapi ada yang berbahasa Songhai, bahasa ibu Haidara. Ada yang berbahasa Tamashek, bahasa suku Tuareg. Haidara bisa duduk berjam-jam di antara tumpukan itu, tenggelam dalam kitab demi kitab, setiap buku bak teleskop mini yang memungkinkan dirinya mengintip masa lalu.
Mosaik Timbuktu yang muncul dari naskahnya dan naskah lain kota itu menggambarkan pelabuhan transit yang makmur berkat letaknya di persimpangan dua jalur dagang penting—rute kafilah Sahara dan Sungai Niger. Para saudagar membawa kain, rempah-rempah, dan garam dari tempat sejauh Granada, Kairo, dan Mekah untuk ditukar dengan emas, gading, dan budak dari pedalaman Afrika. Seiring meningkatnya kemakmuran, kota itu mendirikan masjid agung, menarik kaum cendekiawan yang kemudian mendirikan akademi dan mengimpor buku dari seluruh dunia Islam. Akibatnya, fragmen kisah 1001 Malam, puisi cinta bangsa Moor, tafsir Alquran dari Mekah berbaur dengan penuturan tentang intrik istana dan petualangan militer dari berbagai kerajaan adidaya Afrika.
Sementara buku baru berdatangan, pasukan katib membuat reproduksi indah untuk perpustakaan pribadi milik guru-guru setempat dan para hartawan penyantun mereka. “Anda lihat?” kata Haidara sambil memutar tangannya dengan dramatis. “Buku melahirkan buku baru.”
Keruntuhan Timbuktu terjadi saat salah satu bangsa penakluknya menghargai pengetahuan setinggi penduduk Timbuktu sendiri. Kota itu tak pernah memiliki tentara yang besar. Semenjak suku Tuareg mendirikan Timbuktu sebagai perkemahan musiman sekitar tahun 1100, kekuasaan atas kota itu berpindah-pindah tangan—suku Mali, Songhai, Fulani dari Masina.
!break!
Pedagang Timbuktu biasanya menyogok pemimpin baru mereka yang terutama tertarik pada pajak melimpah yang dipungut dari perdagangan. Namun ketika pasukan Maroko tiba pada 1591, tentara negeri itu menjarah perpustakaan dan mengumpulkan cendekiawan yang paling cemerlang, mengirim mereka kepada sultan Maroko. Peristiwa tersebut menyebabkan perpustakaan Timbuktu terpencar-pencar. Sisa koleksinya tersebar di antara keluarga-keluarga yang menguasainya. Sebagian disembunyikan di dalam tembok bata lumpur di rumah; sebagian dikuburkan di gurun, banyak yang hilang atau hancur saat dipindahkan.
Cinta Haidara yang tak kunjung padam pada buku itulah yang mula-mula mendorong dia mengikuti leluhurnya meniti karier sebagai ulama dan kemudian melontarkannya ke garis depan upaya Timbuktu dalam menyelamatkan naskah-naskah kota itu. Berkat sumbangan dari berbagai pemerintah dan lembaga swasta di seluruh dunia, tiga perpustakaan baru yang canggih telah dibangun untuk mengumpulkan, merestorasi, dan mendigitalkan naskah Timbuktu. Haidara mengepalai salah satu perpustakaan baru tersebut—didukung oleh Ford Foundation—yang kebanyakan menyimpan koleksi besar keluarganya. Berita tentang kebangkitan naskah memicu sang Aga Khan, seorang pemimpin penting Muslim Syiah, untuk memugar salah satu masjid bersejarah kota itu dan menggugah pemimpin Libia Muammar Qaddafi untuk mulai membangun sanggraloka bertembok yang mewah untuk mengantisipasi penyelenggaraan kongres akademis di masa mendatang.
Aku bertanya kepada Haidara apakah masalah di gurun menghambat renaisans Timbuktu. “Penjahat, atau siapa pun mereka, tak pernah kucemaskan,” katanya sambil menunjuk halaman yang dipenuhi lubang-lubang panjang kecil. “Rayaplah musuh terbesarku.” Kaum cendekiawan memperkirakan ada ribuan naskah yang terkubur di gurun atau terlupakan di tempat persembunyian, lalu perlahan-lahan hancur oleh panas, pembusukan, dan serangga. Haidara pun dihantui oleh pertanyaan naskah apa saja yang mungkin hilang. “Dalam mimpi terburukku,” katanya, “aku melihat suatu teks langka yang belum kubaca dimakan perlahan-lahan.”
!break!
Setelah perbincangan dengan saudagar garam tentang si Mata Satu, warga setempat menyarankan saya untuk berkonsultasi dengan seorang marbut, semacam orang suci Muslim. Dengan harga tertentu, dia bisa memberi saya gris-gris, kantong kulit kecil berisi ayat Alquran yang diisi jampi-jampi perlindungan oleh si marbut. “Dia satu-satunya orang yang mampu melindungimu dari Belaouer,” kata orang itu membuka rahasia.
Setiba di rumah marbut itu, saya masuk ke ruang depan yang kecil dan melihat seorang lelaki kurus nan dekil berjongkok di lantai tanah. Dia memegang erat salah satu tangan saya dengan kedua tangannya. Beberapa kuku jarinya panjang melengkung seperti cakar. “Assalamualaikum,” serunya. Tetapi, setelah saya membalas salam, dia tidak juga melepaskan tangan saya. Dia malah duduk di lantai, sedikit berayun maju-mundur, terus memegang dengan kencang, dan tersenyum kepada saya. Lalu, saya lihat ada rantai yang dililitkan di pergelangan kakinya. Rantai itu meliuk di lantai ke cincin besi yang tertanam di tembok batu.
Setelah itu, lelaki botak berusia akhir 40-an dengan kaca mata baca dikalungkan di leher muncul. Si marbut. Dengan sopan dia menjelaskan bahwa lelaki yang dirantai itu sedang menjalani proses yang akan membebaskannya dari arwah yang mengganggu akalnya. “Perawatan 30 hari,” katanya. Dia membelai rambut lelaki yang berjongkok itu dengan lembut. “Dia sudah jauh membaik dibandingkan saat baru datang dulu.”
Si marbut mendahului saya ke ruang praktiknya, sementara saya dan juru bahasa mengikuti, melintasi pekarangan, melewati seorang perempuan dan tiga anak yang duduk terkesima di depan televisi usang yang menyiarkan acara permainan Pakistan dengan berisik. Kami merendahkan badan melewati tirai hijau terang ke dalam ruangan kecil pengap dengan tumpukan buku, bau dupa dan keringat manusia.
!break!
Marbut mengisyaratkan agar kami duduk di karpet. Sambil memegangi jubah, dia berlutut di depan kami dan mengeluarkan korek api yang langsung dipatahkannya menjadi tiga. Dia memegangnya supaya saya dapat melihat bahwa korek itu memang patah, lalu menggulung patahannya di tepi jubah. Dengan gerakan terlatih yang tak kalah dengan ahli sulap, dia membuka gulungan kain dan menampakkan korek itu, kini utuh kembali. Katanya, kekuatannya yang menyembuhkan korek itu. Juru bahasa mengetuk lutut saya dengan bersemangat. “Anda lihat,” katanya, “dia marbut yang sangat sakti.” Seolah diberi aba-aba, tepuk tangan meledak dari acara televisi di pekarangan.
Marbut mengambil buku saku yang dijilid dengan kulit berhias. Halamannya yang usang telah lepas dari jilidnya dan dia membalik halaman yang rapuh satu per satu dengan hati-hati sampai menemukan grafik yang dipenuhi lambang aneh-aneh. Dia menjelaskan bahwa kitab mujarobat itu berisi jampi-jampi untuk segala hal, dari obat buta hingga jimat pelet. Dia mengangkat pandangan dari buku itu. “Anda perlu istri?” Saya menjawab, saya sudah punya satu. “Perlu satu lagi?”
Saya meminta izin melihat buku itu, tetapi dia tidak membolehkan saya menyentuhnya. Selama beberapa tahun paman si marbut mengajarinya tentang isi buku itu, membuka rahasianya sedikit demi sedikit. Buku itu mengandung kekuatan yang, seperti kekuatan alam, harus dihormati. Dia menjelaskan bahwa leluhurnya membawa buku itu saat kabur dari Andalusia pada abad ke-15 setelah bangsa Spanyol mengalahkan bangsa Moor. Mereka menetap di Mauritania dan baru belakangan ini si marbut pindah dari sana bersama keluarganya. “Saya dengar orang Timbuktu tidak puas dengan marbut yang ada di sini,” katanya. Saya menanyakan siapa pelanggan yang membayar paling mahal. “Perempuan,” jawabnya sambil menyeringai, “yang ingin punya anak.”
Dia mengeluarkan kalkulator kecil, memencet-mencet angka, dan mengutip harga lebih dari sembilan juta rupiah untuk gris-gris. “Dengan ini Anda bisa berjalan melintasi seluruh gurun dan dijamin selamat dari siapa pun,” janjinya.
!break!
Gadis itu muncul di antara pepohonan jacaranda di kafe taman, mengenakan jin ketat dan kaus merah jambu. Dia tersenyum gugup dan saya mengerti mengapa si Baret Hijau jatuh hati kepadanya. Aisha (bukan nama sebenarnya) berusia 23 tahun, mungil, bertubuh langsing. Dia bekerja sebagai pelayan. Kulitnya yang hitam legam tak bercatat kecuali bekas luka khas suku yang halus di dekat pelipisnya. Parut itu justru menyedot perhatian ke matanya yang lebar, mirip kucing.
Kami bertemu di seberang Api Perdamaian, monumen yang dibangun dari sekitar 3.000 senapan yang dibakar dan dibungkus semen. Monumen itu untuk memperingati kesepakatan 1996 yang mengakhiri pemberontakan suku Tuareg dan bangsa Arab terhadap pemerintah, perang besar terakhir di Timbuktu.
Aisha mengeluarkan lima lembar kertas yang terlipat rapat dari tasnya, lalu meletakkannya di meja, di sebelah foto seorang lelaki kulit putih yang tersenyum lebar. Lelaki itu tampaknya berusia 30-an dan mengenakan jubah Arab warna biru tua dan serban nila. “Itu David,” kata Aisha sambil menepiskan sedikit pasir dari foto itu dengan ringan.
Mereka berkenalan pada bulan Desember 2006, saat AS mengirim tim Pasukan Khusus untuk melatih tentara Mali melawan AQIM. David melihat Aisha di jalan dan berkomentar kepada juru bahasa bahwa gadis itu cantik. Si juru bahasa pun memperkenalkan mereka. Singkat cerita, tentara AS berwajah kasar dan gadis Mali yang cantik itu pun bertemu untuk piknik di bukit pasir yang mengelilingi kota dan berkendara ke Sungai Niger untuk menonton kuda-kuda nil berkubang di air dangkal. Air mata mengembang di mata Aisha saat dia bercerita tentang kencan tersebut. Dia berhenti sejenak untuk menyeka wajahnya. “Dia hanya bisa bahasa Prancis sedikit,” katanya sambil tertawa mengenang komunikasi mereka yang canggung.
Orang tua Aisha juga berasal dari dua budaya yang sangat berbeda. Leluhur ibunya dari suku Songhai, termasuk golongan intelektual yang turut menciptakan tradisi kecendekiaan Timbuktu. Sementara ayahnya, orang Fulani, adalah keturunan mujahid gagah yang merebut kekuasaan pada awal 1800-an dan menerapkan syariat di Timbuktu. Dalam benak Aisha, hubungannya dengan David melanjutkan tradisi panjang perbauran budaya. Timbuktu dilewati banyak orang, katanya. “Siapa yang tahu siapa yang dipersatukan Allah?”
Dua minggu setelah mereka bertemu, David memintanya ikut ke AS. David ingin Aisha membawa putranya yang 2 tahun dari hubungan perempuan itu sebelumnya dan membangun hidup bersama. Saat keluarga Aisha mendengar kabar itu, paman Aisha memberi tahu David bahwa karena Aisha Muslim, lelaki itu harus masuk Islam jika ingin menikahinya. Ternyata David setuju.
!break!
Tiga malam sebelum Natal, David meninggalkan kompleks Pasukan Khusus setelah jam malam dan menemui salah satu saudara laki-laki Aisha, lalu membawa si tentara dalam mobil menyusuri jalan berkelok yang gelap ke rumah seorang imam. Melalui juru bahasa, imam itu menyuruh orang Amerika itu berlutut ke arah kiblat dan mengucapkan syahadat tiga kali: “Tak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah.” Dia memberi tentara itu Alquran dan menyuruhnya salat lima waktu dan mencari jalan Allah untuk hidupnya.
Saat David kembali ke markas, atasannya telah menanti. Dia dikurung di barak karena melanggar peraturan keamanan. Selama seminggu berikutnya, dia tidak diperbolehkan bergaul dengan Baret Hijau yang lain atau diizinkan menemui Aisha, tetapi dia berhasil menyelundupkan tiga pucuk surat. Salah satunya: “Kekasihku [Aisha], assalamualaikum. Aku mencintaimu. Aku sudah Muslim. Aku sangat senang telah ditunjukkan jalan menuju Allah dan tak mungkin kulakukan tanpa bertemu denganmu. Kurasa Allah membawaku kemari kepadamu...” Dia melanjutkan: “Aku tak boleh keluar dari pangkalan militer AS. Tapi ini tidak masalah. Orang Amerika tak dapat mencegahku mendekati Allah, atau menghentikan cintaku padamu. Allahu Akbar. Aku akan pulang ke AS hari Jumat.”
Aisha tak pernah bertemu lagi dengannya. David mengirim dua email dari AS. Dalam pesan terakhir yang diterima Aisha darinya, David memberi tahu bahwa dia akan dikirim ke Irak dan bahwa dia takut pada apa yang dapat terjadi. Aisha terus mengiriminya email, tetapi setelah sekitar sebulan, pesannya mulai mental.
Sambil berbicara, Aisha menyadari bahwa air mata terjatuh ke atas surat. Dia mengusapkan air mata itu, lalu melipat surat tersebut dengan hati-hati. Katanya, dia akan terus menunggu David membawanya ke AS. “Dia tinggal di North Carolina,” katanya, dan cara dia mengucapkan North Carolina dalam logat Prancis membuat saya berpikir bahwa dia membayangkan tempat itu sebagai negeri jauh yang eksotis.
Saya berusaha meringankan hati Aisha, menggoda bahwa sebaiknya dia berhati-hati, jangan sampai Abdel Kader Haidara mendengar tentang surat-suratnya. Surat itu tentu tergolong naskah Timbuktu, dan si penggemar buku tentu ingin menyimpannya di perpustakaan. Aisha mengusap mata lagi. “Kalau aku bisa memiliki David, dia boleh memiliki surat ini.”
!break!
Sebulan setelah saya meninggalkan Timbuktu, para pejabat Mali yang ditekan pemerintah Prancis membebaskan empat tersangka AQIM untuk menukarnya dengan si orang Prancis. Pasangan Italia dilepaskan, demikian pula para relawan Spanyol setelah pemerintah mereka konon membayar uang tebusan yang besar. Sejak itu AQIM menculik enam warga Prancis lainnya. Salah satunya dihukum mati. Saat tulisan ini dicetak, lima orang masih disandera di suatu tempat di gurun. Si marbut dan keluarganya menghilang dari rumah mereka. Menurut kabar burung, dia direkrut oleh si Mata Satu untuk menjadi marbut pribadi.
Saya mengirim email kepada David yang sedang bertugas di Irak. David sudah bukan anggota Pasukan Khusus. Dia membalas beberapa hari kemudian. “Masa itu sangat sulit bagi saya dan masih menghantui saya.” Dia menambahkan, “Saya belum melupakan orang-orang yang saya temui di sana. Sebaliknya, saya sering memikirkan mereka.”
Saya menelepon Aisha dan memberitahunya bahwa David masih hidup. Itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Saya belum mendengar kabar lagi dari David, tetapi Aisha masih sering menelepon, menanyakan apakah ada kabar. Kadang-kadang suaranya tenggelam dalam deru truk garam; kadang terdengar suara anak-anak bermain atau kumandang azan. Kadang-kadang Aisha menangis di telepon, tetapi saya tak punya jawaban bagi si gadis dari Timbuktu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR