Si marbut mendahului saya ke ruang praktiknya, sementara saya dan juru bahasa mengikuti, melintasi pekarangan, melewati seorang perempuan dan tiga anak yang duduk terkesima di depan televisi usang yang menyiarkan acara permainan Pakistan dengan berisik. Kami merendahkan badan melewati tirai hijau terang ke dalam ruangan kecil pengap dengan tumpukan buku, bau dupa dan keringat manusia.
!break!
Marbut mengisyaratkan agar kami duduk di karpet. Sambil memegangi jubah, dia berlutut di depan kami dan mengeluarkan korek api yang langsung dipatahkannya menjadi tiga. Dia memegangnya supaya saya dapat melihat bahwa korek itu memang patah, lalu menggulung patahannya di tepi jubah. Dengan gerakan terlatih yang tak kalah dengan ahli sulap, dia membuka gulungan kain dan menampakkan korek itu, kini utuh kembali. Katanya, kekuatannya yang menyembuhkan korek itu. Juru bahasa mengetuk lutut saya dengan bersemangat. “Anda lihat,” katanya, “dia marbut yang sangat sakti.” Seolah diberi aba-aba, tepuk tangan meledak dari acara televisi di pekarangan.
Marbut mengambil buku saku yang dijilid dengan kulit berhias. Halamannya yang usang telah lepas dari jilidnya dan dia membalik halaman yang rapuh satu per satu dengan hati-hati sampai menemukan grafik yang dipenuhi lambang aneh-aneh. Dia menjelaskan bahwa kitab mujarobat itu berisi jampi-jampi untuk segala hal, dari obat buta hingga jimat pelet. Dia mengangkat pandangan dari buku itu. “Anda perlu istri?” Saya menjawab, saya sudah punya satu. “Perlu satu lagi?”
Saya meminta izin melihat buku itu, tetapi dia tidak membolehkan saya menyentuhnya. Selama beberapa tahun paman si marbut mengajarinya tentang isi buku itu, membuka rahasianya sedikit demi sedikit. Buku itu mengandung kekuatan yang, seperti kekuatan alam, harus dihormati. Dia menjelaskan bahwa leluhurnya membawa buku itu saat kabur dari Andalusia pada abad ke-15 setelah bangsa Spanyol mengalahkan bangsa Moor. Mereka menetap di Mauritania dan baru belakangan ini si marbut pindah dari sana bersama keluarganya. “Saya dengar orang Timbuktu tidak puas dengan marbut yang ada di sini,” katanya. Saya menanyakan siapa pelanggan yang membayar paling mahal. “Perempuan,” jawabnya sambil menyeringai, “yang ingin punya anak.”
Dia mengeluarkan kalkulator kecil, memencet-mencet angka, dan mengutip harga lebih dari sembilan juta rupiah untuk gris-gris. “Dengan ini Anda bisa berjalan melintasi seluruh gurun dan dijamin selamat dari siapa pun,” janjinya.
!break!
Gadis itu muncul di antara pepohonan jacaranda di kafe taman, mengenakan jin ketat dan kaus merah jambu. Dia tersenyum gugup dan saya mengerti mengapa si Baret Hijau jatuh hati kepadanya. Aisha (bukan nama sebenarnya) berusia 23 tahun, mungil, bertubuh langsing. Dia bekerja sebagai pelayan. Kulitnya yang hitam legam tak bercatat kecuali bekas luka khas suku yang halus di dekat pelipisnya. Parut itu justru menyedot perhatian ke matanya yang lebar, mirip kucing.
Kami bertemu di seberang Api Perdamaian, monumen yang dibangun dari sekitar 3.000 senapan yang dibakar dan dibungkus semen. Monumen itu untuk memperingati kesepakatan 1996 yang mengakhiri pemberontakan suku Tuareg dan bangsa Arab terhadap pemerintah, perang besar terakhir di Timbuktu.
Aisha mengeluarkan lima lembar kertas yang terlipat rapat dari tasnya, lalu meletakkannya di meja, di sebelah foto seorang lelaki kulit putih yang tersenyum lebar. Lelaki itu tampaknya berusia 30-an dan mengenakan jubah Arab warna biru tua dan serban nila. “Itu David,” kata Aisha sambil menepiskan sedikit pasir dari foto itu dengan ringan.
Mereka berkenalan pada bulan Desember 2006, saat AS mengirim tim Pasukan Khusus untuk melatih tentara Mali melawan AQIM. David melihat Aisha di jalan dan berkomentar kepada juru bahasa bahwa gadis itu cantik. Si juru bahasa pun memperkenalkan mereka. Singkat cerita, tentara AS berwajah kasar dan gadis Mali yang cantik itu pun bertemu untuk piknik di bukit pasir yang mengelilingi kota dan berkendara ke Sungai Niger untuk menonton kuda-kuda nil berkubang di air dangkal. Air mata mengembang di mata Aisha saat dia bercerita tentang kencan tersebut. Dia berhenti sejenak untuk menyeka wajahnya. “Dia hanya bisa bahasa Prancis sedikit,” katanya sambil tertawa mengenang komunikasi mereka yang canggung.
Orang tua Aisha juga berasal dari dua budaya yang sangat berbeda. Leluhur ibunya dari suku Songhai, termasuk golongan intelektual yang turut menciptakan tradisi kecendekiaan Timbuktu. Sementara ayahnya, orang Fulani, adalah keturunan mujahid gagah yang merebut kekuasaan pada awal 1800-an dan menerapkan syariat di Timbuktu. Dalam benak Aisha, hubungannya dengan David melanjutkan tradisi panjang perbauran budaya. Timbuktu dilewati banyak orang, katanya. “Siapa yang tahu siapa yang dipersatukan Allah?”
Dua minggu setelah mereka bertemu, David memintanya ikut ke AS. David ingin Aisha membawa putranya yang 2 tahun dari hubungan perempuan itu sebelumnya dan membangun hidup bersama. Saat keluarga Aisha mendengar kabar itu, paman Aisha memberi tahu David bahwa karena Aisha Muslim, lelaki itu harus masuk Islam jika ingin menikahinya. Ternyata David setuju.
!break!
Tiga malam sebelum Natal, David meninggalkan kompleks Pasukan Khusus setelah jam malam dan menemui salah satu saudara laki-laki Aisha, lalu membawa si tentara dalam mobil menyusuri jalan berkelok yang gelap ke rumah seorang imam. Melalui juru bahasa, imam itu menyuruh orang Amerika itu berlutut ke arah kiblat dan mengucapkan syahadat tiga kali: “Tak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah.” Dia memberi tentara itu Alquran dan menyuruhnya salat lima waktu dan mencari jalan Allah untuk hidupnya.
Saat David kembali ke markas, atasannya telah menanti. Dia dikurung di barak karena melanggar peraturan keamanan. Selama seminggu berikutnya, dia tidak diperbolehkan bergaul dengan Baret Hijau yang lain atau diizinkan menemui Aisha, tetapi dia berhasil menyelundupkan tiga pucuk surat. Salah satunya: “Kekasihku [Aisha], assalamualaikum. Aku mencintaimu. Aku sudah Muslim. Aku sangat senang telah ditunjukkan jalan menuju Allah dan tak mungkin kulakukan tanpa bertemu denganmu. Kurasa Allah membawaku kemari kepadamu...” Dia melanjutkan: “Aku tak boleh keluar dari pangkalan militer AS. Tapi ini tidak masalah. Orang Amerika tak dapat mencegahku mendekati Allah, atau menghentikan cintaku padamu. Allahu Akbar. Aku akan pulang ke AS hari Jumat.”
Aisha tak pernah bertemu lagi dengannya. David mengirim dua email dari AS. Dalam pesan terakhir yang diterima Aisha darinya, David memberi tahu bahwa dia akan dikirim ke Irak dan bahwa dia takut pada apa yang dapat terjadi. Aisha terus mengiriminya email, tetapi setelah sekitar sebulan, pesannya mulai mental.
Sambil berbicara, Aisha menyadari bahwa air mata terjatuh ke atas surat. Dia mengusapkan air mata itu, lalu melipat surat tersebut dengan hati-hati. Katanya, dia akan terus menunggu David membawanya ke AS. “Dia tinggal di North Carolina,” katanya, dan cara dia mengucapkan North Carolina dalam logat Prancis membuat saya berpikir bahwa dia membayangkan tempat itu sebagai negeri jauh yang eksotis.
Saya berusaha meringankan hati Aisha, menggoda bahwa sebaiknya dia berhati-hati, jangan sampai Abdel Kader Haidara mendengar tentang surat-suratnya. Surat itu tentu tergolong naskah Timbuktu, dan si penggemar buku tentu ingin menyimpannya di perpustakaan. Aisha mengusap mata lagi. “Kalau aku bisa memiliki David, dia boleh memiliki surat ini.”
!break!
Sebulan setelah saya meninggalkan Timbuktu, para pejabat Mali yang ditekan pemerintah Prancis membebaskan empat tersangka AQIM untuk menukarnya dengan si orang Prancis. Pasangan Italia dilepaskan, demikian pula para relawan Spanyol setelah pemerintah mereka konon membayar uang tebusan yang besar. Sejak itu AQIM menculik enam warga Prancis lainnya. Salah satunya dihukum mati. Saat tulisan ini dicetak, lima orang masih disandera di suatu tempat di gurun. Si marbut dan keluarganya menghilang dari rumah mereka. Menurut kabar burung, dia direkrut oleh si Mata Satu untuk menjadi marbut pribadi.
Saya mengirim email kepada David yang sedang bertugas di Irak. David sudah bukan anggota Pasukan Khusus. Dia membalas beberapa hari kemudian. “Masa itu sangat sulit bagi saya dan masih menghantui saya.” Dia menambahkan, “Saya belum melupakan orang-orang yang saya temui di sana. Sebaliknya, saya sering memikirkan mereka.”
Saya menelepon Aisha dan memberitahunya bahwa David masih hidup. Itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Saya belum mendengar kabar lagi dari David, tetapi Aisha masih sering menelepon, menanyakan apakah ada kabar. Kadang-kadang suaranya tenggelam dalam deru truk garam; kadang terdengar suara anak-anak bermain atau kumandang azan. Kadang-kadang Aisha menangis di telepon, tetapi saya tak punya jawaban bagi si gadis dari Timbuktu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR