"Yosemite itu seperti magnet," katanya. "Semua sejarahnya. Aku bersemangat begitu sampai di sini dan memandang tebing."
Sekitar empat juta orang mengunjungi Yosemite setiap tahun, hanya beberapa ribu di antaranya pendaki. Tetapi, pendaki tetap merupakan jantung lembah itu. "Aku ke sini sewaktu masih kelas satu SMA dan tak pernah pulang lagi," kata Ron Kauk, 53. "Di tempat ini, Yosemite, aku menuntut ilmu. Jika dibiarkan, Yosemite dapat mengukir sistem nilai pada kita." Dengan tujuan itu, Kauk menciptakan program Sacred Rok untuk membawa anak-anak bermasalah ke Yosemite, mengajari mereka berpikir dan merasa secara mandiri. "Saat mengoperkan botol air ke mitra di ketinggian tiga ratus meter di atas tanah," katanya, "kita harus yakin dia sudah memegangnya erat."
!break!
Kauk merintis beberapa jalur tersulit di lembah ini, hampir selalu memanjat dengan tali—mungkin karena itulah dia tidak termasuk di antara 83 pendaki yang tewas di sini sejak 1955. Sebaliknya, panjat bebas solo tidak menyisakan ruang untuk kesalahan. Seperti kata Dean Potter dengan blak-blakan, "Kalau keliru, ya mati." Memanjat tanpa tali akhirnya membawa maut bagi dua pendaki solo terbaik di Yosemite: Derek Hersey, orang Inggris yang jatuh dari Steck-Salathé pada 1993, dan John Barshar dari California, mantan mitra panjat Kauk yang meninggal pada 2009 saat memanjat bebas solo di dekat Danau Mammoth.
Meski demikian, Honnold menegaskan bahwa pendaki Yosemite masih belum mencapai batas panjat solo bebas. "Secara teori, kita semestinya bisa memanjat lebih cepat tanpa tali karena berat kita berkurang, gerakan juga lebih sedikit," katanya. Melihat puncak selain Half Dome, banyak jalur di sini yang belum pernah dipanjat secara solo bebas. Hanya soal waktu saja sampai ada orang—mungkin Honnold—yang mencobanya.
Pada malam terakhir di lembah, saya berjalan-jalan di Camp 4 saat petang. Aroma getah pinus dan api unggun mengambang di udara, dan beberapa bintang baru saja keluar. Terdengar tawa, dan ada yang bermain gitar. Di satu kemah, dua pemuda meletakkan peralatan secara tertata—tali, karabiner, dan jeriken air—berbicara dengan serius tentang harapan mereka soal apa yang akan terjadi di tebing esok pagi. Di meja piknik lain, tiga wanita dengan buku tangan berdarah, semuanya berambut kepang dan memakai lampu kepala, sedang menangis, berpelukan, baru saja pulang dari pendakian tiga hari.
Seperti orang-orang yang berziarah sebelum mereka dan setelahnya, mereka datang ke Yosemite untuk menguji diri pada tebing. Mereka tahu tebing-tebing ini lebih dari sekadar gunung: Tebing ini adalah cermin raksasa yang mencerminkan isi hati setiap pemanjat, tanpa ampun.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR