Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thomas Geissmann serta Vincent Nijman, ahli primata asal Swiss dan Belanda, vokalisasi owa memiliki beberapa fungsi: yang pertama adalah sebagai penanda wilayah antarkelompok. Selanjutnya ialah untuk mempertahankan wilayah, sumber makanan, juga pasangan. Selain itu juga sebagai penarik calon pasangan dan memperkuat ikatan dalam pasangan.
Tidak seperti jenis owa lainnya, owa jawa tidak mengenal duet jantan betina dalam bervokalisasi. Ada dua vokalisasi utama pada kelompok owa jawa, yaitu female song bout serta male song bout atau nyanyain jantan dan nyanyian betina.
Vokalisasi betina ditandai dengan suara yang teratur dan berakselarasi hingga mencapai klimaks kemudian menjadi pelan kembali sesudahnya. Kadang kala, anak baik jantan maupun betina bisa saja berduet dengan sang induk dalam vokalisasi ini. Namun, jantan dewasa tak pernah bergabung dalam nyanyian. Betina dewasa dalam kelompok yang berbeda akan saling menunggu saat bervokalisasi. Mereka tidak pernah melakukannya secara bersamaan. Uniknya, Geissman serta Nijman mencatat, bahwa owa jawa jantan justru menghentikan vokalisasinya jika owa jawa betina akan memulai nyanyiannya.
Vokalisasi jantan biasanya dimulai dengan suara yang lembut dengan nada yang pendek yang bisa jadi juga dikeluarkan saat ia melihat kelompok lain. Dari pengamatan para peneliti, vokalisasi owa jawa jantan biasanya mulai dilakukan pada dini hari, sekitar pukul empat, sementara vokalisasi owa jawa betina lebih sering terdengar pada pukul lima hingga pukul enam pagi. Ada jenis suara lain lagi yang teridentifikasi, seperti scream bouts, atau teriakan yang dilakukan oleh semua individu saat terjadi konflik perbatasan antarkelompok.
!break!
Selama satu jam setelah pemutaran rekaman, Soojung dan timnya seakan tidak bisa diganggu. Dalam buku yang dipegang Aris, sederet angka terlihat memenuhi halaman, mengindikasikan rentang waktu. Perilaku kelompok owa jawa tersebut harus tercatat setiap menit. Di lantai hutan, suara tim peneliti bersahutan satu sama lain, menginformasikan apa yang dilakukan oleh tiap-tiap owa. Semua kegiatan owa jawa yang tertangkap mata dicatat, lengkap dengan titik koordinat.
Dua kelompok owa jawa yang menjadi objek penelitian Soojung hidup di area seluas 32 hektare. Untuk mempermudah penelitian, lantai hutan telah dibagi dalam jaring-jaring kotak yang terbagi oleh jalan setapak. Jarak antara sebuah jalan setapak yang satu dengan jalan setapak berikutnya adalah 100 atau 200 meter. Seutas pita merah jambu berwarna terang kadang tampak di pepohonan, memberikan informasi koordinat serta kadang pohon pakan owa.
Jalur-jalur ini dirintis oleh Aris, saat pertama kali Kim Sanha, peneliti yang juga berasal dari Korea meneliti soal pakan, pola, serta rentang jelajah owa jawa di tempat ini. Saat itu pulalah habituasi owa mulai dilakukan, agar owa-owa tersebut dapat dipelajari dari dekat. Hal ini dilakukan pada tahun 2007. Aris mengenang, saat itu ia harus menerabas rapatnya vegetasi hutan sambil naik turun punggungan untuk mengikuti ke mana owa jawa pergi.
“Habituasi berarti membiasakan sesuatu yang baru dan belum dikenal secara kontinyu, agar lama kelamaan semakin terbiasa,” ujar Entang Iskandar, ahli primata dari Pusat Studi Satwa Primata IPB. Menurut Entang, dengan demikian satwa tidak akan merasa terancam oleh manusia dan mereka akan bertingkah laku normal. Mereka akan menganggap peneliti sebagai bagian dari alam, dan peneliti pun punya peluang untuk mempelajari mereka. “Sangatlah sulit untuk mempelajari tingkah laku jika mereka tidak terhabituasi,” lanjut Entang.
!break!
Sekitar 190 kilometer dari TNGHS, tepatnya di Cagar Alam Leuweung Sancang, Garut Selatan, senja baru saja tiba saat gemuruh hujan yang menghunjam kanopi hutan terdengar samar dan kian lama kian mendekat. Tetes air pun mulai turun, membasahi tepian sungai berbatu yang ditaburi guguran bunga-bunga berwarna ungu. Bulatan-bulatan air terbentuk di permukaan muara sungai, menghilang dalam sekejap, digantikan oleh bulatan berikutnya. Kegelapan pun menyergap dengan cepat.
Beberapa jam kemudian, saat hujan mulai mereda, lima sosok manusia dengan obor di tangan masing-masing mendekati sungai. Di tangan yang lain mereka membawa ayam, tikar, serta beberapa bungkusan plastik hitam. Mereka hendak menaiki rakit yang akan mengantarkan mereka menuju ke tempat ziarah di seberang sungai.
Inilah salah satu bagian dari kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 370/KPTS/UM/6/1978 tanggal 9 Juni 1978 yang sejatinya tidak boleh dimasuki oleh siapa pun. Suatu kawasan yang menyimpan kisah sedih owa jawa.
Melissa Reisland, seorang peneliti asal University of Wisconsin, Madison, duduk menghadap ke lembah, di tempat yang ia sebut sebagai cliff. Di lehernya tergantung sebuah teropong. Tangannya memegang buku kecil serta alat tulis. Tubuhnya yang semampai selalu terbalut kaus lengan pendek berwarna cerah.
Peneliti yang mendalami bidang antropologi biologis ini mempelajari bidang studi primata dan antropologi agar dapat memahami perilaku manusia berdasarkan perilaku primata karena adanya hubungan evolusi antara keduanya. Ia meneliti reaksi owa jawa terhadap manusia yang melakukan berbagai jenis aktivitas di dekat primata ini.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR