Pagi ini matahari bersinar cukup terik. Kami menghabiskan waktu setengah hari menantikan kehadiran owa di depan mata kami. Namun, yang dinanti tak jua muncul. Berbeda dengan di TNGHS, Owa di kawasan Leuweung Sancang tidak terhabituasi. Mereka cenderung menjauhi manusia yang sering lalu-lalang di sepanjang tangga semen yang mengantarkan para peziarah ke tempat tujuan mereka di tepi sungai.
Tiba-tiba Wawan Tarniwan, salah seorang asisten Melissa, mengirimkan pesan singkat mengabarkan bahwa seekor owa jawa sedang berada di bagian hilir sungai. Kami pun segera menuju tepian sungai dan menyeberanginya dengan rakit, kemudian mengendap-endap, berusaha untuk tidak membuat gerakan tiba-tiba.
Beberapa saat kemudian, di seberang sungai sekitar 40 meter di atas sebuah pohon yang menjulang, seekor owa jawa jantan yang diberi nama Tono oleh tim peneliti muncul di sana. Ia bergelayut dari satu dahan ke dahan lainnya. Selanjutnya Tono makan, terdiam untuk beberapa saat, kemudian kembali menghilang di balik lebatnya dedaunan. Tono punya pasangan bernama Tini yang saat itu tak tampak. Menurut para peneliti, Tini yang lebih takut dengan manusia biasanya memilih pohon yang lebih tinggi. Apalagi saat Tini masih memiliki anak.
Suatu hari di bulan November tahun lalu, tiba-tiba para peneliti tidak lagi menemukan anak Tini di pelukannya. Dan beberapa hari kemudian salah satu asisten peneliti menemukan sepotong tangan dengan rambut keabuan yang sudah berbau tidak sedap, terkubur di dalam tanah. Entah apa yang terjadi dengan makhluk malang itu.
Owa jawa bisa saja terjatuh dari pelukan sang induk atau saat meraih ranting. “Di hutan yang baik, dia memiliki jalannya sendiri. Kalau dua pohon ditebang, pergerakannya harus berubah. Pertanyaannya adalah ke mana? Jangan-jangan harus ke kanan dan itu belum dikenal. Jadi sering kali saat bergelayut, rantingnya patah ke bawah dan ia pun jatuh,” ungkap Jatna.
!break!
Masa kerusuhan setelah era kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 memiliki dampak yang besar tidak saja bagi manusia, tapi juga bagi kehidupan liar di hutan. Dari penelitiannya, Jatna mencatat bahwa pada 1998 hingga 2000 ada banyak perambahan di hutan-hutan Indonesia, termasuk cagar alam. “Pembabatan dilakukan besar-besaran, dan lahan berubah menjadi perkebunan,” kenang Ade Mustofa, seorang penduduk di desa Leuweung Sancang yang ikut menjaga cagar alam tersebut.
Hal ini tidak hanya terjadi di hutan Leuweung Sancang. “Cagar Alam Gunung Tilu dan Cagar Alam Kawah Kamojang rusak karena waktu itu dijarah habis-habisan, dijadikan perkebunan,” Jatna menjelaskan. Hal yang kompleks pun terjadi dalam habitat owa jawa. Hewan-hewan ini mulai terdesak.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan secara kasar dari data Google Earth tahun 2008, Sancang sendiri yang sebelumnya dideklarasikan memiliki luas lahan 2.157 hektare dalam ketetapan yang dibuat pada 1978, pada 2008 luas hutannya hanya sekitar 1.180 hektare.
Sementara itu, pada sore keempat yang kami habiskan di Leuweung Sancang, para asisten peneliti menemukan dua gelondong kayu yang digeletakkan di seberang sungai. Dengan rakit, mereka pun membawa kayu-kayu hasil tebangan liar itu menyeberangi sungai, mendekati saung tempat kami bermalam. Saat malam telah larut, dari dalam saung kami melihat dua cahaya senter yang sibuk mencari-cari keberadaan kayu tersebut di seberang sana.
!break!
“Leuweung Sancang memiliki istilah crowding effect dalam konservasi,” papar Jatna. “Tidak ada lahan lain, maka semua satwa tertumpuk di situ. Owa jawa yang seharusnya memiliki teritori yang besar, akhirnya mengecil. Jika kualitasnya bertambah buruk, owa jawanya akan mati karena dengan rusaknya hutan, tidak akan banyak buah yang tersedia,” jelasnya.
Tak hanya Tini yang kehilangan anaknya tahun lalu. Melissa masih ingat. Saat ia datang ke Indonesia untuk melakukan survei selama dua minggu pada 2007 lalu, ada lima owa jawa yang menghuni bagian selatan kawasan, yang berbatasan dengan laut. Dua tahun kemudian, saat ia melakukan penelitian dari Januari hingga April, hanya satu owa yang ia beri nama Amelia yang tersisa di kawasan tersebut. Entah apa yang terjadi dengan empat owa jawa lainnya. Tidak ada seorang pun yang tahu. Kini Amelia semakin terdesak. Tini kerap memojokkannya saat bertemu. Amelia tidak lagi memiliki akses di hutan untuk bertemu dengan owa jawa jantan yang masih bujang.
Pagi terakhir yang kami habiskan di Leuweung Sancang bisa jadi merupakan pagi terindah bagi saya. Mulai pukul empat dini hari, saya dibangunkan oleh nyanyian tiga kelompok owa yang memenuhi lembah. Para betina di masing-masing kelompok saling bersahutan menampilkan nyanyian mereka: bisa jadi itu suara Tini, Amelia, serta Jane, yang kelompoknya ada di seberang sungai. Suara mereka terdengar sangat merdu, mendayu-dayu di tengah keremangan pagi selama satu jam lamanya. Di tengah pertunjukan alam itu, tiba-tiba saya teringat akan perkataan Melissa: “Saya khawatir, dalam lima atau sepuluh tahun lagi bisa jadi Amelia sudah tidak lagi bisa bertahan di sana.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR