Baru-baru ini saya menemukan buku harian lama yang saya tulis saat berkeliling Jepang bersama ibu, semasa kecil. Buku harian itu ditulis dalam bahasa Jepang dengan pensil, dan setiap entri disertai gambar yang dilukis dengan pena berwarna.
Ada gambar seorang gadis (saya) berenang di tepi pantai. Di gambar lain seorang wanita (ibu saya) membawa payung, sementara seorang anak digendong di punggungnya. Air biru gelap menggenang sampai setinggi lutut sang ibu. Hujan yang sangat deras tercurah dari langit.
Sehari sebelumnya, kami menghadiri festival Nebuta Matsuri di Aomori. Lampion raksasa berbentuk dewa dan pahlawan diarak di jalan pada malam musim panas. Besoknya terjadi banjir, dan meskipun ibu tertawa ketika membawa saya ke tempat yang aman, kami berdua merasa khawatir. Bagaimana jika hujan tidak reda?
Semua kota tersebut memiliki pantai. Setiap kami berkunjung, ibu selalu menanyakan hal yang sama.
“Apa yang kau lakukan jika air tiba-tiba surut?”
“Lari,” jawab saya.“Kenapa?”
Setelah saya lebih dewasa, pertanyaan ini mulai menjengkelkan. Saya pikir ibu terlalu mendramatisasi. Ibu saya lahir di Jepang, lalu belajar menjadi penyanyi opera di Eropa, tempat dia bertemu dengan ayah, warga negara Amerika. Mereka berdua cenderung bertingkah seakan-akan sedang berada di atas panggung. Jadi, saya kadang tidak tahu kapan mereka serius. “Ayo. Mengapa?” ulangnya. “Karena itu berarti ada tsunami.”
!break!Setelah dewasa, saya terkadang menatap lautan dan mencoba membayangkan seperti apa rupa pantai saat mengering. Seberapa jauhkah airnya surut? Bagaimana caranya kembali pasang? Apa sebenarnya tsunami itu? Ibu saya belum pernah melihatnya. Tidak ada kenalan saya di Jepang yang pernah melihatnya. Semua orang lebih takut pada topan atau gempa bumi.
Petuah dan latihan dari ibu saya kembali teringat ketika saya terbangun pada 11 Maret oleh berita buruk. Banyak tempat di Tohoku yang saya kunjungi semasa kecil menderita dampak gempa dan tsunami.
Berkat kerja keras ratusan fotografer amatir Jepang, kita semua bisa menyaksikan apa yang terjadi ketika air yang surut berbalik menerjang daratan. Saya masih kesulitan membayangkan tampak laut yang surut tersedot dari pantai.
Saat melawat ke Jepang beberapa bulan usai bencana, saya terkesiap mendengar ucapan para penyintas tentang lautan yang dulu mereka percayai. Banyak penduduk Tohoku yang mencari nafkah di laut; mereka terkejut menyaksikan segara yang mereka kenal begitu berubah.
Koran dipenuhi kisah orang yang punya waktu 15 sampai 30 menit untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Sepertinya cukup waktu. Berulang kali, korban selamat bercerita tentang warga yang kembali ke rumahnya setelah gelombang pertama surut. Seorang pria mendekat ke laut untuk “menonton” tsunami setelah “terlewat” menyaksikan gelombang pertamanya. Ibunya meminta untuk membatalkan niatnya. Dia bersikeras, kemudian ibunya menemani. Keduanya tewas.
!break!Dunia memuji sifat tabah dan sabar orang Jepang yang membersihkan bekas bencana dan saling membantu. Namun, bagi bangsa yang memegang teguh budaya keselarasan dan sifat welas asih Buddha ini, mereka merasa berat saat mempertanyakan apa lagi yang sebenarnya dapat dilakukan untuk mencegah hilangnya 16.000 jiwa.
Ryoko Mita, 60, yang menikah dengan sepupu ibu saya, menyesalkan: “Tsunami ini memperlihatkan keteledoran dan kepongahan kami.”
Di garis pantai timur laut Jepang bertebaran batu berusia berabad-abad yang bertuliskan peringatan tsunami. Namun, sama seperti saya yang tidak begitu meyakini peringatan ibu, rasanya begitu mudah mengabaikan pesan penting dari masa lalu. Tidak seperti gempa bumi, yang dapat terjadi setiap hari di Jepang, tsunami sering melewati satu generasi sehingga memberinya kekuatan terpendam dan tak terduga.
“Apakah pandanganmu soal laut sekarang berbeda?” tanya saya kepada Rumi Sakuyama, yang seumur hidupnya tinggal di pantai timur laut Jepang. “Laut yang begitu damai...dapat melakukan hal seperti itu,” jawabnya, sambil memandangi air yang sekarang tenang. “Tsunami seperti ini mungkin tak akan pernah terjadi lagi selama hidup saya.” Dan di situlah letak bahayanya.
—
Marie Mutsuki Mockett, pengarang novel Picking Bones From Ash, menulis di mariemockett.com.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR