Meskipun dibumbui cerita berbunga-bunga, keberanian mencuri ini memberi republik muda sebuah legitimasi spritual yang hanya bisa disamai oleh Roma yang memiliki St. Petrus. Keberhasilan politik yang luar biasa ini memicu kegemilangan yang menciptakan negara adidaya Venesia.
Sejak masa-masa awal Republik ini, “St. Markus merupakan bendera Venesia,” begitu dikisahkan oleh Gherardo Ortalli, pakar sejarah abad pertengahan di University of Venice dan pakar terkemuka tentang St. Markus. “Rasanya tidak ada contoh santo lain yang begitu penting dari segi politik. Di semua daerah jajahan Venesia dapat kita temukan singa Markus—di Yunani, Crete, Siprus, Alexandria.”
!break!
Dan, bagaimana dengan relik santo itu? Apakah jenazah yang dimakamkan dalam sarkofagus di Basilika St. Markus di Venesia itu benar-benar jenazahnya? Bagaimana dengan tengkorak di Alexandria yang diklaim Gereja Koptik sebagai tengkorak St. Markus? Bagaimana dengan relik, yang mungkin berupa potongan tulang, konon milik St. Markus, yang diberikan kepada Mesir oleh Vatikan pada 1968, sebagai permintaan maaf resmi atas pencurian yang berlangsung pada abad kesembilan itu? Apakah relik ini, termasuk sepotong kecil tulang di gereja Kerala yang dianggap milik Tomas, benar-benar asli?
“Tidaklah penting apakah mereka memiliki tulang yang asli atau tidak,” ujar Ortalli, sebab pada Abad Pertengahan, sudut pandangnya berbeda. Kita bisa saja memiliki 50 jari seorang santo. Tidak jadi soal.”
Bagi ilmuwan, orang kafir, pemeluk agama, dan mungkin bagi Tomas si penuntut bukti, 50 jari dari santo yang sama memang meragukan. Bahkan, Gereja Katolik pun meminta bantuan pakar patologi untuk memeriksa, menentukan usia, dan mengawetkan relik yang dimiliki gereja itu. Ezio Fulcheri yang bermarkas di Genoa adalah ahli patologi. Dia telah meneliti dan mengawetkan banyak jenazah orang saleh, termasuk St. Yohanes Salib dan Clare dari Assisi.
“Setiap kali kami menemukan relik yang jelas tidak autentik,” kata Fulcheri, “kami katakan begitu. Gereja tidak menginginkan relik palsu dipuja.” Tetapi, bagaimana dengan relik seperti relik St. Markus, yang masih harus diuji? Para cendekiawan, ilmuwan, dan bahkan para pendeta di kalangan Gereja Katolik telah meminta pengujian ilmiah atas jenazah dalam sarkofagus Markus, namun tanpa hasil.
Jelas gereja tidak diuntungkan, dan bahkan dirugikan, jika dilakukan pengujian tulang yang amat sangat penting itu. Tidak semua ilmuwan berkeinginan menyelidiki relik suci dengan teliti. Giorgio Filippi, ahli arkeologi yang dipekerjakan oleh Vatikan, berkisah bahwa dia menentang analisis dan penentuan usia relik St. Paulus di Roma baru-baru ini, yang diumumkan oleh Paus pada 2009.
“Rasa ingin tahu tidak dapat membenarkan dilakukannya penelitian. Jika sarkofagus itu kosong atau jika kita menemukan dua jenazah pria atau satu jenazah wanita, hipotesis apa yang akan dikemukakan? Apa perlunya membuka makam St. Paulus? Saya tidak ingin hadir dalam kegiatan ini.”
Penyelidikan selanjutnya, melalui sebuah lubang seukuran jari yang dibor dalam sarkofagus, menghasilkan sekeping tulang seukuran kacang tanah, butiran dupa merah, secarik kain ungu yang dihiasi payet emas, dan serpihan kain biru. Analisis laboratorium independen, begitu yang dikatakan gereja, mengungkapkan bahwa semua benda itu berasal dari abad pertama atau kedua. Bahwa asalnya dari abad kesatu mengandung arti bahwa tulang itu mungkin saja tulang St. Paulus.
!break!
Sebelum ilmu pengetahuan bisa memberikan hasil pengujian yang sangat terperinci, misalnya bahwa jenazah itu jenazah orang pendek, botak, dan dari Tarsus—konon tempat kelahiran Paulus—kita tidak akan mendapatkan bukti yang lebih baik.
“Lebih baik berdoa kepada Perawan Maria atau Kristus,” kata Ortalli. “St. Markus lebih rumit. Dia memang lambang keimanan, tetapi tidaklah tepat memujanya dengan menyalakan lilin.” Di gereja Katolik atau Ortodoks, umat sering menyalakan lilin untuk menyertai doa mereka kepada para santo, memasangnya di depan ikon atau patung yang mereka puja.
“Sebagai warga Venesia,” kata Ortalli melanjutkan, “St. Markus adalah bagian jati diri kami. Ia bagian dari tubuh kami—kami punya dua kaki, dan juga memiliki St. Markus. Ketika orang-orang tua mabuk di jalan kala larut malam, mereka sering bernyanyi, Viva Venezia, viva San Marco, viva le glorie del nostro leon.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR