SOSOK MISTIK PENUH KASIH
Di sebelah timur Aix-en-Provence di bagian depan tebing yang luas dan berhutan, yang menghadap ke dataran tinggi, terletak gua Sainte-Baume. Di sini, menurut kisah Katolik Roma, Maria Magdalena menghabiskan 30 tahun terakhir hidupnya. Dari tempat parkir, pendakian terjal melalui hutan mengantarkan kami ke gua dan biara kecil di sebelahnya.
Dalam cahaya lilin, sebuah altar dari batu tampak gemerlap di tengah gua, dan tampak beberapa patung Maria Magdalena di beberapa sudut gua yang bentuknya tak beraturan. Dua relik santo itu—seikat rambut dan yang diduga ujung tulang kering, yang sudah berwarna gelap karena sudah tua, tersimpan dalam sebuah wadah sepuhan.
Kemudian, saya bercakap-cakap dengan Candida Moss, pengajar Kitab Perjanjian Baru dan asal-usul Kristiani dari University of Notre Dame. Saya menanyakan apakah pernah dilakukan penelitian tentang segi psikologi yang dimunculkan oleh relik. “Orang memandang relik sebagai bagian dari proses duka”, katanya. “Menurut saya, setiap orang yang pernah berkabung pasti mengerti mengapa orang memandang istimewa benda-benda yang ada hubungannya dengan orang yang dicintainya. Bahkan hal ini lebih tegas lagi dalam masyarakat kecil penganut Kristiani. Daya tariknya berasal dari sosok kalangannya sendiri, yang dengannya dia dapat melakukan kontak langsung setelah sosok itu meninggal.”
!break!
Di gua Sainte-Baume, saya duduk di bangku barisan belakang ketika berlangsung misa. Kemudian, Romo Thomas Michelet dan Franois Le Hégaret memimpin misa. Di sebelah saya duduk Angela Rinaldi, wanita mantan peziarah dan tinggal di daerah itu sejak 2001. Rinaldi pertama kali datang ke tempat itu karena reputasinya di kalangan para dukun dan praktisi aliran New Age.
Menurut kepercayaan setempat, di masa lalu, gua tersebut berfungsi sebagai kuil untuk upacara permohonan mendapatkan anak yang dilakukan penyembah berhala dan sampai sekarang menjadi tempat ziarah bagi pencari semangat kewanitaan.
Saya tanyakan bagaimana perubahan pandangannya tentang Maria Magdalena sejak tinggal di Sainte-Baume. “Pada mulanya,” katanya, “saya sering membandingkan diri saya dengannya… Dulu, hidup saya diisi dengan selalu mencari sesuatu yang berbeda. Mencari cinta yang suci—bukan sekadar cinta dari orang lain, melainkan cinta yang hanya bisa datang, menurut saya, dari hubungan dengan Tuhan.”
“Ada semacam kekuatan di seluruh hutan ini—bukan hanya di gua. Tidak ada hubungannya dengan kisah Maria Magdalena dalam Alkitab. Kekuatan itu membangkitkan semangat yang membuat kita mencurahkan perhatian.” Dia berhenti sejenak.
Gua itu dirawat oleh Ordo Dominika sejak 1295. Pagi harinya, saya mengunjungi Michelet dan Le Hégaret, makan siang bersama di kamar makan antik nan bersahaja dan indah di biara. Dari jendela terbuka yang terbuat dari timbal terlihat tebing, dataran, dan hutan.
“Setelah Perawan Maria,” ujar Michelet, “Maria Magdalena adalah wanita terpenting dalam Kitab Perjanjian Baru. Namun, penganut Kristiani tidak terlalu sering membicarakannya. Sayang sekali. Pasti banyak yang bisa meneladani wanita ini, yang dulunya pendosa, tetapi kemudian dipilih oleh Kristus sebagai orang pertama yang menyaksikan kebangkitannya. Kristus tidak memilih seorang Rasul atau Perawan Maria. Dia memilih Maria Magdalena. Mengapa? Mungkin karena dialah orang pertama yang meminta pengampunan.
Makna penting dalam Kitab Perjanjian Baru, ketika Maria Magdalena menyaksikan kebangkitan Kristus, terus diperdebatkan selama berabad-abad. Dalam Alkitab Yohanes dikisahkan bahwa tiga hari setelah Kristus dimakamkan, Maria Magdalena mula-mula pergi ke makam, “ketika hari masih gelap,” dan mendapati bahwa batu penutup makam sudah bergeser. Dia berlari menemui para murid, lalu melihat bahwa makam itu sudah kosong. “Kemudian, para murid pulang kembali ke rumah mereka masing-masing,” begitu yang tertulis dalam Alkitab.
“Tetapi, Maria berdiri di luar di dekat makam, sambil menangis.” Dia tetap berada di situ, sama seperti ketika dia juga tetap berdiri di bawah salib. Ketika dia mengintai lagi ke dalam makam, dia melihat ada dua malaikat di tempat jenazah Kristus. “Ibu, mengapa kamu menangis?” mereka bertanya kepadanya. “Sebab mereka membawa pergi Tuhanku,” jawabnya, “dan aku tidak tahu di mana mereka meletakkan-Nya.” Kemudian, begitu kata Alkitab, Kristus yang sudah bangkit lagi menampakkan diri kepadanya.
!break!
Kegigihan pasti berperan besar jika dia memang menghabiskan tiga dasawarsa di gua Provence yang dingin dan lembap itu. “Tempat ini dikenal sebagai tempat untuk menyesali dosa,” ujar Le Hégaret. “Pada musim dingin, tempat ini sangat dingin. Sedikit sekali orang yang mengunjungi gua.”
Bersama Christian Vacquié, penjaga yang bertanggung jawab atas hutan kuno di Sainte-Baume, saya mengunjungi gua yang jauh lebih kecil di tebing yang sama yang berisi tulang-belulang kaum Neanderthal yang berasal dari 150.000 tahun yang lalu.
Gua ini dan beberapa gua lain di dekatnya tampak jelas berbentuk alat kelamin wanita sehingga sejumlah orang percaya bahwa di zaman prasejarah tempat ini digunakan sebagai tempat meminta anak. Hutan yang dilindungi negara dan disukai karena keanekaragaman hayatinya itu sudah lama dianggap sebagai tempat keramat.
“Dulu pernah ada seorang pendeta di gua,” kata Vacquié sambil menyeringai, “yang berkata bahwa seandainya dia pengurus rumah tangga Maria Magdalena, maka saya pastilah tukang kebunnya.”
Hutan dan gua-gua sekitar dipercayai masih memiliki hubungan kuat dengan kesuburan, dan kaum wanita berdatangan ke sini selama ribuan tahun, berdoa meminta anak. Sampai kini, bahkan ada wanita yang menggosok-gosokkan perutnya ke patung Maria Magdalena sambil berdoa. Di dinding gua tampak banyak catatan dan plakat tanda terima kasih dalam berbagai bahasa. “Terima kasih Maria Magdalena karena telah menyembuhkan putriku,” begitu salah satu tulisan dalam bahasa Prancis, bertanggal Oktober 1860.
Penganut Dominika mengelola sebuah hostel di dataran kaki tebing yang menerima para peziarah, siswa sekolah, ilmuwan, dan turis. Di situ saya bercakap-cakap dengan Marie-Ollivier Guillou, calon pendeta Dominika yang dipindahkan ke sini dua tahun lalu. “Bagi saya,” katanya, “Maria Magdalena adalah santo lambang cinta. Dia wanita yang sangat berani. Dia salah seorang yang tetap menghadiri penyaliban Yesus. Kebanyakan yang lain lari menyelamatkan diri, tetapi dia tetap berdiri di kaki salib, siap mati untuk Kristus. Dalam hal ini, dia adalah teladan hidup beragama.”
Menjelang akhir waktu saya di Sainte-Baume, saya kembali ke gua dengan menapaki anak tangga ke sebuah batu yang konon menjadi tempat tidur Maria Magdalena; saya menjulurkan tangan menerobos pagar logam, lalu menekankan tangan ke batu itu. Gua benar-benar senyap, kecuali suara amat halus dari tetesan yang sesekali jatuh ke bak air, mata air kuno yang pastinya menyediakan air segar untuk santo tersebut.
Ketika saya mengemukakan kepada Thomas Michelet bahwa mungkin Maria Magdalena sebenarnya tidak pernah ke Provence, dia menimpali dengan nada suara santai, “Ada seorang pendeta yang pernah tinggal di gua ini selama puluhan tahun. Katanya, meskipun mustahil mengetahui apakah Maria Magdalena memang benar-benar pernah datang ke sini pada abad pertama, kepastian itu tidak terlalu penting. Yang penting, dia ada di sini sekarang.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR