Di dunia arwah, topeng bukan sekadar kedok, melainkan juga memiliki kemampuan untuk mengubah. Sang pemakai topeng—yang hampir selalu berjenis kelamin pria—bisa berbicara dengan suara lain, bergerak dengan cara lain, dan bertingkah laku lain, karena dia telah menjadi sosok yang sepenuhnya berbeda. Ketika topeng dikenakan, garis yang memisahkan realitas dan ilusi, dewa dan manusia, kehidupan dan kematian menjadi kabur. Pria bertopeng tidak sedang membawakan peran. Dialah peran itu.
Sebagian pertunjukan topeng bersifat menghibur—parade, misalnya, atau tarian yang mencerminkan identitas budaya rakyat setempat. Sebagian lainnya berhubungan dekat dengan ritual religius atau sosial. Dalam pementasan ini, pemakai topeng bisa bertindak selayaknya polisi moral: memerintah, menghukum, menjalankan dan menetapkan peraturan, atau memimpin sebuah alur—dari bocah lelaki menjadi pria, rakyat jelata menjadi pemimpin, masa tanam hingga masa panen.
Selama lebih dari dua puluh tahun, fotografer Phyllis Galembo menjelajahi Afrika dan Haiti untuk mendokumentasikan seni topeng. Apakah keistimewaan topeng? "Kreativitasnya," ujar Galembo. "Ini bukan sekadar topeng. Ini tentang seluruh perlengkapan dan keunikan busana ritual." Untuk mendapatkan foto-fotonya, Galembo mendatangi kota-kota maupun desa-desa terpencil dan, dengan bantuan pemandu, memburu informasi mengenai upacara-upacara topeng.
Dia menghadapkan lampu dan tripod ke tembok, pagar, sisi rumah, dan membiarkan subjeknya mengatur posisi sendiri. Setiap kali, dia menghabiskan satu rol berisi dua belas foto. Hanya itu. "Entah saya akan mendapatkannya atau tidak," katanya. Namun, dia lebih sering mendapatkannya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR