kota tuban mulai berselimut temaram senja saat saya menjejakkan kaki di kota ini untuk bertemu dengan Sigit Wiantoro dan Ibnu Maryanto, profesor mamalia zoologi dari Puslit Biologi LIPI. Ia sedang memegang sebuah kantong berbahan kain belacu berukuran sebesar kertas folio. Tak berapa lama kemudian barulah saya sadari: di sekitar kursi yang saya duduki, menjulang tiga palem-paleman. Di sana-sini, tubuh pepohonan dipenuhi kain belacu berisi gumpalan sekepalan tangan.
Saya mengikuti Sigit yang membawa salah satu kantong itu ke dalam ruangan berukuran sekitar tiga kali tiga meter. Perlahan, ia membuka bagian atasnya, menarik apa yang ada di dalamnya. Saya terperanjat. Alih-alih menatap muka bak anjing seperti bayangan wajah kelelawar yang ada di benak saya, muka mungil bagaikan monster muncul perlahan dari balik kain: kedua matanya hitam kecil. Di bagian tengah tampak gelambir bertumpuk-tumpuk bagai kelopak bunga tak beraturan, tak berbentuk muka sewajarnya. Cuping telinganya besar. Astaga, ini mamalia terjelek yang pernah saya lihat. Saya tak bisa membedakan, yang mana bagian hidung atau mulutnya. “Ini pemakan serangga,” jelas Sigit sambil mengamati kelelawar itu.
!break!
Makhluk kecil itu memberontak, rongga di bagian bawah mukanya membuka dan mengatup. Namun hanya suara cericit kecil yang terdengar. Sigit mengambil sebuah peranti berlabel bat detector. Ukurannya sebesar buku novel besar. Ujungnya yang memiliki tonjolan mirip seperti lampu proyektor ia sodorkan ke muka si pemberontak. Dalam sekejap ruangan sepi itu dipenuhi oleh suara gemeratak yang nyaring dan tajam di telinga. Trak trak trak trak!
Alat berwarna putih dan kuning ini mampu menangkap dan menyimpan suara ultrasonik berfrekuensi di atas 20kHz yang dihasilkan oleh kelelawar untuk melakukan ekolokasi (bernavigasi dengan mengeluarkan suara dan menangkapnya kembali untuk mengetahui situasi sekitarnya dan juga letak mangsa). Suara dalam rentang frekuensi ini tidak bisa ditangkap oleh telinga manusia.
“Kami sedang membuat database kelelawar di Indonesia berdasarkan hasil rekaman ini. Jadi nanti suatu saat, untuk mengetahui spesies kelelawar yang tinggal di suatu tempat, orang tidak perlu lagi menangkapnya. Cukup dengan merekam suara kelelawar itu kemudian mencocokkannya dengan data yang ada,” papar Ibnu kepada saya.
Sejauh ini, sekitar 230 spesies dari seluruh Indonesia berhasil diketahui. Kedua peneliti ini pun menjelaskan, di Indonesia masih banyak kelelawar yang belum diketahui spesiesnya. Sementara itu, populasi kelelawar semakin menyusut akibat ulah manusia. “Ada beberapa jenis kelelawar yang sekarang sangat sulit dijumpai, salah satunya Neopteryx frosti, kelelawar pemakan buah yang dulu ditemukan di Sulawesi,” jelas Sigit.
Keesokan harinya, langit sedang bersuka ria di pagi hari. Angin nyaris menepiskan semua awan. Matahari pun dengan gembira menuangkan sinarnya yang amat menyengat ke permukaan tanah yang berdebu. Sambil sesekali menyeka kulit yang berpeluh, saya terus menapaki tanah berkontur rapat di daerah Tuban, Jawa Timur, menuju tebing-tebing karst yang menjulang tegak lurus nun jauh di sana.
!break!
Mengikuti langkah para peneliti untuk mencari spesies baru kelelawar, akhirnya saya pun tiba di mulut Gua Sunten, Desa Guwoterus, Kecamatan Montong, Tuban. Sebelum ada pipa yang mengalirkan air ke bawah, mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, langsung dari mata air yang ada di dalam gua ini. Gua ini merupakan salah satu tempat yang dikeramatkan oleh penduduk. Hal itulah yang membuat tempat ini tetap terjaga kelestariannya, termasuk kelelawar yang ada di dalamnya.
Dalam sekejap, Ibnu, Sigit, serta rekan-rekannya telah sibuk memasang jaring yang ujungnya mereka sangkutkan ke batuan tajam di bibir gua. Setelah itu kami pun mulai beriring-iringan merayapi kekelaman perut bumi. Sorot-sorot lampu di helm mulai menguak kegelapan, memunculkan wajah permukaan bebatuan di sana sini. Di depan saya terbentang sebuah ruang gua. Lantainya yang lunak terlihat miring ke bagian tengah, berakhir di sebuah danau sehitam malam. “Awas, danau ini dalam,” ujar Edy Toyibi, Direktur Lembaga Konservasi dan Perlindungan Sumber Daya Alam (LKPSDA) Cagar Tuban, yang menyertai tim peneliti.
Menyusuri sisi kanan danau, langkah Sigit terhenti di bawah sebuah lorong sempit yang mengarah ke atas. Bertopang pada Toyibi sambil bersusah payah menjaga keseimbangan, Sigit pun mengais ketinggian dengan menggunakan tongkat jalanya. Tak lama, kantung-kantung kain belacu kembali terisi. “Tuban memiliki karakter gua yang berbeda karena area ini merupakan daerah karst muda. Banyak gua yang belum dijelajahi di sini, jadi kemungkinan ada jenis-jenis baru,” papar Ibnu menjelaskan alasannya menyusuri tempat ini.
Sekitar satu jam kemudian, di bawah cahaya yang menerobos mulut gua, Ibnu dan Sigit duduk di atas sebuah batu besar. Keduanya sibuk menilik seekor kelelawar mungil yang ada di tangan Sigit. Mata dan muka Sigit tampak bersinar-sinar. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan Ibnu mengenai morfologi muka sang kelelawar pemakan serangga yang unik tersebut, ia pun berkata kepada saya, “Tampaknya ini spesies baru…” Di sebelahnya, Ibnu mengangguk sambil tersenyum.
Di balik harapan peneliti akan tetap lestarinya kehidupan kelelawar, pada awal 2009 Hasudungan Gurning dari Divisi Perluasan Proyek PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang bertanggung jawab untuk menyediakan material bagi ekspansi pertambangan di Sangatta, Kalimantan Timur, termangu. Di dalam area karst yang ia survei kali ini ia menjumpai dua mulut gua. Dari luar terdengar riuh suara cericit.
!break!
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR