CAHAYA MATAHARI PAGI NAN CERAH ITU MEMANTUL DI WAJAH YUSMAINI Eriawati. Dia tampak semringah berdiri di tepi kotak ekskavasi, berkemeja kotak-kotak biru lengan panjang. Scarf mini bermotif bunga melilit di lehernya. Perempuan ramah ini mengajak saya berjalan menembus semak dan pepohonan rindang meninggalkan timnya. Kami berjalan menuju deretan linggan, gubuk beratapterpal tempat batu bata tradisional dicetak dan dibakar. Para pembuat batu bata itu telah meninggalkan ceruk-ceruk tanah hasil galian yang di dalamnya berserak hamparan batu bata kuno, pecahan tembikar dan keramik.
Eriawati lalu memunguti pecahan keramik seladon hijau mengilat asal Cina abad ke-14. “Di sinilah kami memperkirakan permukiman golongan atas Majapahit,” ungkapnya sambil berjongkok di ceruk penuh batu bata kuno, “karena keramik-keramiknya berkualitas bagus.”
Beberapa langkah kemudian dia menemukan lagi sebuah pecahan tembikar, sebuah jambangan besar dengan ragam hias nan raya, juga sisa-sisa unsur rumah zaman Majapahit lainnya. “Nah ini ukel besar!” seru Eriawati sambil membungkuk. “Ini salah satu bukti bahwa di sini pernah berdiri bangunan-bangunan besar yang menggunakan genting.”
Eriawati adalah ahli arkeologi dari Pusat Arkeologi Nasional. Selama 2007-2012, dia dan timnya meneliti struktur bangunan tinggalan Kota Majapahit di Desa Sentonorejo, Trowulan, sekitar sepuluh kilometer dari Mojokerto, Jawa Timur. Selain itu, timnya juga menyurvei permukiman kuno di tepian kanal Majapahit.
Dia mengatakan, di kawasan Trowulan, ahli arkeologi harus berpacu dengan perusakan lahan yang digarap pemilik kebun atau pembuat bata. Apabila terlambat, data arkeologi kemegahan Majapahit itu akan rusak, bahkan lenyap. “Beberapa tahun lalu kami melakukan ekskavasi di sekitar sini,” kata Eriawati seraya menunjuk salah satu ceruk yang meluas. “Di samping persis ayunan cangkul pembuat batu bata yang mengikis lapis demi lapis di tanah yang kaya artefak zaman Majapahit itu.”
!break!
Kami lalu beranjak menyusuri pekarangan warga menuju lokasi ekskavasi. Sebidang tanah di bekas rumah kepala desa setempat itu kini menjadi lokasi penelitian mereka yang disewa sekitar dua minggu. Sambil berjalan, Eriawati berkata bahwa saat ini timnya tidak bisa melanjutkan penelitian di lokasi yang sama seperti tahun lalu. Saya bertanya kenapa dan mendapatkan jawaban mengejutkan: karena tepat di atas temuan struktur tembok kuno tahun lalu itu, kini telah menjadi kebun pepaya berbuah ranum!
Eriawati memantau struktur permukiman dan lantai kuno yang tengah digali secara hati-hati oleh para ahli arkeologi. Seperti kota-kota modern, di Kota Majapahit juga terjadi pemakaian ulang yang tumpang tindih pada struktur permukimannya. Eriawati menunjukkan dinding-dinding itu saling terobos sehingga sulit membedakan apakah lapisan dinding itu digunakan semasa atau pada periode sebelumnya. Namun, teka-teki belumlah berakhir. Di tepian kotak penggalian itu dia berkata, “Sayangnya, sebagian besar susunan batu batanya sudah amburadul akibat pencarian emas besar-besaran pada 1960-1970-an.”
Teraduknya lapisan budaya dan hancurnya struktur bangunan kuno—yang tentu menyulitkan kerja ahli arkeologi—terus berlanjut dengan maraknya pembuatan growol atau semen bata kuno pada 1980-an. Bahkan, sampai hari ini penduduk masih menggunakan “sumber daya yang melimpah” itu untuk membangun rumah dan pagar-pagar desa.
Beberapa tahun terakhir, Eriawati dan timnya telah berhasil menampakkan unsur permukiman kuno di Sentonorejo.
Hasilnya, kawasan dengan sebaran temuan seperti struktur dinding bersaluran air, hamparan lantai terakota persegi empat dan enam, umpak batu berhias tumpal, dan sisa sumur jobong. Eriawati menduga, terdapat dua lokasi dengan fungsi berbeda menurut banyaknya ragam temuan genting dan peralatan sehari-hari. Di sisi barat “ada bangunan khusus yang bukan untuk kepentingan sehari-hari,” ungkap Eriawati.
“Tetapi, sisi timur itu daerah yang ditempati harian karena temuan keramik dan tembikarnya bervariasi, kebanyakan barang-barang harian, seperti pecahan tempayan, pasu, pinggan, kendi, mangkuk, dan anglo.”
Tahun ini, timnya juga kembali menemukan struktur batu bata yang diperkirakan sebagai pembagi ruang dalam suatu bangunan dan struktur lainnya sebagai tembok pembatas kaveling permukiman. Bak sebuah kota yang agung, seluruh temuan struktur bangunan di kawasan Trowulan, memiliki kesesuaian orientasi dengan jaringan kanal kunonya, yaitu antara 5-12 derajat dari arah utara.
Suatu siang nan menggelora di bawah pohon durian muda, Eriawati duduk beralas terpal biru ditemani segelas kopi krim panas. Dia tengah memeriksa satu per satu temuan aneka pecahan cawan dan wadah keramik. Tampaknya ramainya temuan keramik asal penjuru Cina, Vietnam, dan Thailand menunjukkan adanya aktivitas perdagangan internasional di kota metropolitan yang hilang itu. “Ini cawan keramik abad ke-14 dari Dinasti Yuan, Manchuria,” ujarnya sembari menunjukkan kepada saya bagian pantat cawan yang tak berglasir.
Ma Huan, salah seorang penerjemah dan ahli tafsir armada Cheng Ho, pernah menuliskan kesannya tentang warga Ibu Kota Majapahit dalam naskah Ying-yai Sheng-lan atau “Survei Menyeluruh Kawasan Pantai-pantai.” Pada Maret–Juli 1432, armada itu merapat ke Jawa dan bertandang ke Majapahit di mana sang raja tinggal. Menurut Ma Huan, ada tiga golongan warga di Majapahit: muslim yang datang sebagai pedagang dari Barat, orang Cina Dinasti T’ang yang juga muslim, dan warga pribumi yang beragama Hindhu-Buddha.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR