Kita semua pernah memegang daun, menyantap, menyapu, atau berteduh di bawahnya. Karena terdapat di mana-mana, daun dengan mudah kita sepelekan. Namun, apa pun perlakuan kita terhadapnya, daun tetap melaksanakan tugasnya: mengubah cahaya menjadi kehidupan.
Saat sinar surya menyinari dedaunan hijau, riak gelombang spektrum hijau terpantul ke mata kita. Sisanya—merah, biru, nila, dan ungu—terperangkap. Di dalam daun ada bilik-bilik yang diterangi cahaya. Dalam ruang benderang ini foton terkurung. Sementara itu, daun menyerap energinya, mengubahnya jadi gula yang menjadi landasan hidup tumbuhan, hewan, dan peradaban.
Kloroplaslah yang sebenarnya melakukan fungsi daun tersebut menggunakan sinar matahari, air, karbon dioksida, dan zat hara. Kloroplas berevolusi sekitar 1,6 miliar tahun silam saat suatu sel yang tidak dapat memanfaatkan energi matahari, menelan sel lain, sianobakteri. Sianobakteri itu menjadi nenek moyang semua kloroplas saat ini. Tanpa kloroplas, tumbuhan sama seperti makhluk hidup lainnya, hanya memakan apa pun yang ditemukannya. Alih-alih, tumbuhan menjulurkan telapak hijaunya dan menadahi cahaya.
Daun ada yang besar ada yang kecil, tebal, tipis. Ada yang majemuk ada yang tunggal, ada yang lancip ada yang bulat. Dan istilah di atas hanyalah awal dalam penggambaran perbedaan yang coba diklasifikasikan oleh para ahli botani melalui untaian berbagai kata sifat—berkelenjar, lengket, berkeropeng, berambut halus, bersawang, dan favorit saya, tomentose daun berbulu padat dan tebal.
Tetapi, di luar perbedaan strukturnya, kebanyakan daun pada dasarnya punya fungsi yang sama: Terutama untuk menempatkan kloroplas setinggi mungkin. Bagaimana mungkin bentuk yang begitu beragam bisa menangkap sinar matahari secara sempurna?
Seleksi alam memberikan kunci bagi teka-teki ini. Daun di gurun cenderung kecil, berkulit tebal, berlapis lilin, atau berduri, sebagaimana daun di daerah asin atau tanah gersang lainnya. Contoh yang baik mengenai cara evolusi menghadapi kekurangan air. Tumbuhan di hutan hujan biasanya memiliki daun yang sempit, dengan “ujung tetes” yang panjang dan tipis untuk membuang kelebihan air. Di tempat dingin kita bisa temukan daun bergerigi—seperti pohon birch dan plum.
Beberapa contoh terekstrem bagaimana seleksi alam menentukan bentuk daun dapat ditemukan pada daerah tinggi di kawasan tropis. Di sini, malam hari selalu dingin dan basah sementara siang hari panas dan kering. Jika kita mendaki cukup tinggi di atas batas hutan di pegunungan Afrika, Asia, Hawaii, dan Amerika, akan ditemukan tumbuhan berbatang besar dengan kumpulan daun hidup dan mati yang tebal di atasnya.
Dalam momen puitis, ahli botani menamai susunan daun yang indah melingkar ini sebagai “roset raksasa”. Daun hidup di roset yang tebal melindungi pucuknya yang masih muda. Daun ini juga berbulu, menambah isolasi. Sementara daun mati melindungi tanaman agar tak membeku pada malam hari dan, pada saat yang sama, menyimpan embun malam untuk siang nan kering. Jika kita buang dedaunan lapuk itu, tumbuhan dapat mati beku, telanjang tanpa balutan daun matinya.
!break!
Di banyak lingkungan, seleksi alam cenderung menghasilkan sejumlah kecil bentuk yang sama karena kemiripan gen pada tumbuhan. Kadang-kadang tampaknya memang hanya ada satu atau sedikit cara terbaik untuk menghadapi kondisi lingkungan tertentu. Jika bentuk roset itu masih kurang meyakinkan, mari kita bahas tumbuhan pemakan daging. Di rawa yang miskin zat hara, tanaman berulang kali berubah menjadi binatang untuk mendapatkan zat hara yang tidak cukup tersedia di tanah.
Tumbuhan berevolusi membentuk daun menjadi kantong semar, bulu lengket, kolam mukosa, atau daun bertangkup. Semua untuk menangkap mangsa hidup. Rawa merupakan tempat yang mengerikan bagi serangga. Namun, jika iklim dan ketersediaan zat hara merupakan alasan satu-satunya atas keanekaragaman daun, semua daun di lingkungan tertentu—gurun, puncak gunung, halaman belakang kita—akan cenderung sama. Nyatanya tidak.
Banyak ciri daun di halaman atau piring kita yang disebabkan oleh keterbatasan gen dan waktu. Dalam seleksi alam karena kondisi gurun, tidak semua tanaman punya variasi genetik yang diperlukan untuk menjadi kaktus. Kondisi berubah. Spesies berpindah. Setiap daun adalah hasil pekerjaan yang terus berlangsung. Misalnya, diduga saat ini daun berkembang untuk menghadapi kondisi di kota—polusi, kekeringan, panas tinggi, dan kotoran hewan—tetapi mungkin perlu sekian generasi lagi agar setelah kematian demi kematian itu, seleksi alam menemukan bentuk yang lebih sesuai.
Ciri-ciri spesifik lainnya mungkin terkait dengan perang di dunia tanaman yang berlangsung setiap hari selama lebih dari 400 juta tahun. Tanaman berebut zat hara dan air di dalam tanah, dan juga berebut sinar matahari di tajuk hutan. Persainganlah yang menyebabkan pohon tumbuh tinggi, tunas menjadi batang, dan hutan tumbuh lebat.
Pepohonan terbentuk berulang kali dalam evolusi akibat persaingan antartumbuhan, pada berbagai kelompok tanaman yang sangat beragam. Daun tertinggilah yang menang, sehingga pohon cenderung berevolusi menjadi setinggi mungkin, hanya dibatasi oleh hukum fisika dan curah hujan. Tanpa persaingan, semua hutan akan menjadi karpet tebal tumbuhan hijau.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR