Tembakau srintil menjadi masyhur karena saat panen tidak semua petani “dianugerahi” tembakau ini, meski dari kebun yang sama. Dengan harga srintil yang berkisar antara Rp400.000 sampai 800.000, bahkan beberapa kali tembus di atas Rp1.000.000 per kilogram, pasti banyak orang yang mengincar lahan di daerah tersebut. Kepala desa yang saya tanya hal tersebut tergelak, “Mas, kalau ada orang mau membeli tanah di Lamuk, orang Lamuk akan bertanya balik: Anda punya tanah berapa, biar saya beli.”
Memang benar. Dari hasil tembakau tersebut, banyak orang dari Lamuk yang membeli tanah ke desa lain bahkan kecamatan lain. Dengan suara bariton dan sorot matanya yang tajam, Subakir bahkan mengatakan, “Beberapa tahun lalu tersiar berita menggegerkan karena ada petani-petani yang sempat mencari informasi bagaimana cara membeli helikopter. Petani-petani itu berasal dari Lamuk.”
Rumah Agus Parmuji masih ramai, padahal sudah jam 21.00. Lebih dari sepuluh orang sibuk membongkar keranjang-keranjang berisi tembakau, mengambil contoh tembakau, mencium, lalu mencatat, memberi tanda pada keranjang-keranjang tersebut, dan kemudian menyimpannya di gudang.
Laki-laki 34 tahun itu adalah kepala desa di Wonosari, Kecamatan Bulu, Temanggung. Rumah Agus sendiri terletak di dusun Dukuh. Suatu malam pada Agustus lalu saya datang ke rumahnya, saat sebagian besar warga Temanggung memanen tembakau. “Ini masih petikan kedua, Mas. Srintil akan keluar setelah tanggal 24 Agustus,” ucap Agus sambil memperlihatkan beberapa contoh tembakau kepada saya.
!break!
Dukuh adalah saingan Lamuk. Kedua tempat tersebut merupakan penghasil srintil. Sejak kecil, Agus sudah jatuh cinta kepada tembakau. Bahkan, ketika masih duduk di kelas lima sekolah dasar, ia sudah rela berjalan jauh ke kota Temanggung yang kira-kira berjarak 15 kilometer dari desanya.
Tujuannya hanya untuk tahu setelah tembakau dipetik, diperam, dirajang, dijemur, dan dibungkus keranjang lalu dibawa ke gudang di kota, apa proses selanjutnya? Alhasil, keluarganya bingung, warga desanya pun bingung hingga hampir semua orang mencarinya.
Selepas SMA, Agus terjun sebagai petani tembakau. Di kampungnya, ia adalah sosok kepala desa berusia muda, namun disegani. Ia pernah memeriksakan beberapa tanah di wilayahnya ke Institut Pertanian Bogor. Bahkan, contoh tanah itu pernah dibawa ke Amerika hanya untuk tahu bagaimana caranya supaya bisa menghasilkan kualitas tembakau yang bagus.
“Petani itu punya tiga pegangan menanam tembakau yang merupakan warisan pengetahuan nenek-moyang: siti (tanah), wiji (benih), wanci (cuaca atau waktu). Untuk yang pertama dan kedua, kita sebagai petani harus bisa mengusahakan yang maksimal,” papar Agus. “Tapi soal wanci, kita bergantung kepada Tuhan.”
Agus lalu mencontohkan panen kali ini. Saat tembakau masih butuh guyuran hujan, ternyata hujan sudah tidak turun. Dan saat tembakau sudah tumbuh besar, angin bertiup lebat. “Akibatnya, akar tembakau menjadi stres dan daun tembakau menjadi kempes, tidak padat berisi sehingga kualitasnya kurang. Tapi siapa yang bisa mengusir angin?”
Keesokan harinya, saya diajak Agus keliling desa untuk melihat bagaimana tembakau diperam, dirajang, dan dijemur. Setelah itu, ia meminta beberapa warganya untuk mengantar saya di daerah tembakau yang cukup tinggi. Ia tidak bisa ikut karena di siang hari banyak petani yang menyetor hasil panen mereka ke rumahnya.
Kami naik mobil bak terbuka, menyusuri jalan menanjak tak beraspal. Di mana mata saya memandang, yang ada hanyalah daun-daun tembakau yang berkilau diterpa panas matahari yang menyengat. “Di saat musim seperti ini, rumput pun mati. Hanya tembakau yang bisa hidup.” teriak seorang petani yang berada di balik kemudi, melawan deru mesin dan suara ban yang menggilas tanah bebatuan.
Mobil berhenti tepat di ketinggian 1.450 mdpl. Puncak Gunung Sumbing terlihat jelas. Banyak orang menyebut Dukuh dan Lamuk sebagai Negeri di Atas Awan. Karena ketika cuaca mendukung, dari kedua dusun tersebut bisa terlihat jajaran awan di bawah.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR