Pada suatu Minggu pagi yang berpendar di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, taksi yang kami tumpangi menyusuri gang berkelok. Yudhi Hermawan yang duduk di kursi depan penumpang perlahan membuka kaca jendela.
Dia melongokkan kepalanya keluar, dan membiarkan angin tipis berembus menyeka wajahnya.
Kemampuan pendengarannya yang sangat tajam pun mulai berkerja. “Meski berangkat gelap pulang gelap, saya punya radar,” ucapnya riang. Hermawan adalah seorang penyandang tunanetra. Kemampuan indra penglihatannya kian menurun, hingga akhirnya sebelum lulus sekolah dasar dia tak mampu lagi menyaksikan rupa dunia. Sejak itu, hari-harinya ditemani tongkat sebagai alat bantu sekaligus identitas.
Lelaki berusia 19 tahun itu bekerja sebagai karyawan telemarketing sebuah bank swasta nasional terkemuka di Jakarta Selatan. Apabila bepergian di hari kerja, dia menggunakan jasa angkutan umum, namun ada ojek langganan yang siap mengantar bila macet menghadang.
Pengemudi taksi menoleh dengan wajah keheranan ketika Hermawan mulai memberikan petunjuk jalan. Aris Yohanes, seorang temannya yang juga tunanetra dan duduk di kursi belakang, berkata kepada saya bahwa Hermawan jago perihal menghafal tempat. “Sayangnya, banyak taksi yang takut di-stop tunanetra. Mungkin takut tersesat?” ucap Aris sambil bergurau.
Sampailah kami di ujung gang depan rumah Hermawan. Sebuah warung kecil milik tetangga, deretan polisi tidur, dan tiga orang ibu yang sedang asyik mengobrol di deretan sofa bekas itu menjadi semacam penanda lokasi rumahnya.
Dari Pondok Cabe, kami meneruskan perjalanan menuju Raudatul Makfufin, pondok pesantren tunanetra di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, yang menerbitkan Alquran braille (berhuruf timbul).
Kami, termasuk pengemudi taksi, mengandalkan kemampuan pemetaan kognitif Hermawan yang pernah menyambangi pondok pesantren ini sebelumnya. Dia memandu, “Nanti kita belok kanan setelah melewati dua turunan di jalan besar.”
Saat tiba di Raudatul Makfufin, pelukan hangat dan riuhnya sapaan belasan santri tunanetra menyambut kami. Siang itu, Aris dan Hermawan yang mewakili Information Technology Center For the Blind (ITCFB)memiliki hajatan besar: peluncuran sebuah perangkat lunak yang mereka buat untuk pengingat waktu azan.
Aris mengambil tempat di hadapan puluhan santri yang duduk melingkar dan bersemangat. Tangannya mulai mengoperasikan laptop dengan fasilitas pembaca layar untuk menjelaskan perangkat lunak itu secara bertahap, mulai dari bagaimana cara menginstalasi sampai dengan proses pengisian suara. “Namanya Makfufin Adzan Software Accessible atau MASA,” Aris menjelaskan dengan fasih.
!break!
Aksesibilitas teknologi untuk tunanetra di Indonesia mulai terjawab dengan adanya perangkat lunak pembaca layar bernama Job Access With Speech (JAWS) pada awal 1990-an. Yayasan Mitra Netra menginisiasi penggunaan peranti pembaca layar ini yang kemudian disusul dengan serangkaian pelatihan untuk pemanfaatan lebih luas.
JAWS mengonversikan tampilan visual ke dalam bentuk audio untuk mempermudah para tunanetra dalam menggunakan perangkat teknologi informasi. Saat ini, telepon genggam, laptop, dan komputer dapat digunakan untuk komunikasi sehari-hari bagi tunanetra, termasuk mendukung pekerjaan atau bisnis. Upaya distribusi informasi melalui media sosial juga kian bersahabat bagi mereka.
Pada Januari 2006, sebuah media baru di dunia maya bernama Kartunet Community hadir sebagai organisasi kepemudaan yang berfokus pada penggunaan teknologi informasi. Tujuannya, untuk pemberdayaan pemuda berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas di Indonesia. Tahun demi tahun dilalui dengan deretan kegiatan, di antaranya pelatihan multimedia dan blogging pada 2012.
Meskipun demikian, Dimas Prasetyo Muharram, seorang tunanetra muda dan salah seorang pendiri Kartunet.com, memaparkan kepada saya sejumlah persoalan klasik. Jakarta, kota metropolitan dengan jumlah penyandang disabilitas sebanyak 21 ribu jiwa—berdasarkan data Dinas Sosial DKI Jakarta pada 2011—belum sepenuhnya ramah untuk penyandang disabilitas dan masyarakat umum. “Trotoar dan transportasi umum masih perlu pembenahan,” ungkap Dimas.
Saya menjumpai Jaka Ahmad yang lebih dikenal dengan julukan Blindman Jack. Lelaki ini adalah salah satu penggagas forum Barrier Free Tourism (BFT). Dia mengatakan bahwa lingkungan bebas hambatan (barrier free) di Jakarta masih jauh dari harapan. Ketika saya bertanya bagaimana pendapatnya soal jalur khusus tunanetra di Jakarta, Jaka menjawab, “Semacam kosmetik. Jalur itu dibangun di Jalan Sudirman-Thamrin yang strategis untuk konsumsi pemberitaan.”
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR