Bahkan, beberapa teman tunanetra mengeluhkan pengerjaan jalur khusus yang kurang maksimal. Tongkat alat bantu seharusnya bisa “tersangkut” dan dituntun oleh cekungan ubin, sehingga mereka dapat terbantu. Selain itu, di trotoar dibangun pula tiang-tiang perintang sepeda motor setinggi setengah meter. Padahal tiang-tiang ini menyulitkan warga yang menggunakan kursi roda.
Saya pun menyusuri jalur khusus tunanetra yang dimaksud di kawasan Sudirman-Thamrin: deretan ubin berwarna kuning terpasang memanjang di tengah trotoar. Namun, jalur khusus yang terbilang baru itu tak lagi mulus lantaran ubinnya ada yang terkelupas, tertutup pot, atau tertimbun bekas galian. Ada pula jalur yang dihadang tiang lampu di Jalan Cikini Raya.
Kemudian saya menapaki ruas jalan lain seperti Dukuh Atas, Stasiun Sudirman, dan Tosari, yang dikenal sebagai jalur penting penghubung bagi masyarakat Jakarta. Sebagian jalur pedestrian dan fasilitas bus Transjakarta di kawasan ini ternyata berupa trotoar sempit dan halte bertangga dengan elevator yang tidak bisa digunakan.
!break!
Beberapa jalur pedestrian itu juga terhalang deretan motor yang parkir dan lapak para pedagang kaki lima. Tentu hal ini menyulitkan warga berkebutuhan khusus, wanita hamil, orang tua, bahkan masyarakat umum dengan barang bawaan yang berat. Belum lagi bekas galian serta pot-pot tanaman. Tentu hal ini menyulitkan warga berkebutuhan khusus, wanita hamil, dan orang tua.
Indonesia turut mengesahkan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on Rights of Persons with Disability) pada Oktober 2011. Dalam konvensi ini dijelaskan tentang definisi disabilitas. Mereka adalah individu yang memiliki hambatan fisik, mental, intelektual atau sensorik jangka panjang sehingga terhambat partisipasinya dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan.
Sebelum muncul istilah “disabilitas”, sejak 1998, para aktivis sudah memperkenalkan istilah baru untuk mengganti sebutan penyandang cacat, yakni difable, yang merupakan singkatan dari differently-abled. Istilah ini kemudian digunakan secara luas dalam bahasa Indonesia sebagai "difabel".
Menurut laporan Disability at A Glance 2012 dari UN ESCAP (Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik PBB), keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial bergantung pada upaya membangun keterlibatan masyarakat. Termasuk para penyandang disabilitas yang beragam. Saat ini, tulis laporan tersebut, warga berkebutuhan khusus praktis terpinggirkan dari proses pembangunan daerah.
PBB, lewat program Enable, juga sudah membuat panduan desain yang amat lengkap dan mendetail—yang bisa diakses siapa pun, termasuk para arsitek dan pengembang, karena diunggah ke laman web—menyangkut pembangunan infrastruktur kota yang bebas hambatan bagi orang berkebutuhan khusus. Mulai dari membangun jalur pejalan kaki, elevator, tangga dan lampu jalan, hingga fasilitas parkir khusus.
Saya mencoba menengok India, negara dengan jumlah penduduk terbesar kedua di planet ini, yang punya kondisi sosial-ekonomi mirip Indonesia. India bergerak empat tahun lebih cepat dibandingkan Indonesia dalam meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas. Negara ini memiliki Jaringan Nasional Disabilitas yang didukung warga berkebutuhan khusus dan masyarakat yang memberikan perhatian kepada mereka.
Pascaratifikasi, pemerintah India melakukan tindakan nyata seperti serangkaian peraturan baru untuk warga berkebutuhan khusus, pedoman standar aksesibilitas web internasional, serta rencana pembangunan Pusat Penelitian dan Pelatihan Bahasa Isyarat.
Mahmudi Yusbi, lelaki asal Aceh, bukan nama asing di kalangan angkatan muda berkebutuhan khusus. Dia adalah koordinator tingkat nasional untuk Program Young Voices Indonesia, kelompok angkatan muda penyandang kebutuhan khusus usia 16-25 tahun yang berpotensi untuk dikembangkan.
“Kita juga perlu mengedukasi masyarakat,” tulis Mahmudi dalam surat elektroniknya kepada saya, “karena masih banyak masyarakat umum melihat penyandang disabilitas sebagai orang yang tidak mampu, selalu dikasihani sehingga menimbulkan stigma.”
!break!
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR