Eshtiwy tetaplah seorang muslimah taat yang menerima perjodohan dan tidak pernah bepergian ke luar Benghazi. Namun, tetap saja, dunianya yang dikekang telah terlontar ke dalam kekacauan. “Gambarannya,” katanya, “terlihat terdistorsi bagi saya.”
Dia percaya adanya harapan. Pengalaman di rumah sakit selama revolusi menunjukkan karakter warga Libia. Dia bekerja sebagai tim, sepanjang hari, merawat pemberontak dan pendukung setia Qaddafi, sementara sesama warga membawa makanan dan selimut.
“Selama masa Qaddafi, kami mengira bahwa kami adalah orang jahat, bahwa tidak ada yang dapat mencintai kami,” katanya. “Sekarang, kami melihat keindahan negara kami.”
Tetapi, Eshtiwy juga merasakan tekanan pascatrauma yang menggerogoti kota. Terdapat sejumlah video kepahlawanannya di rumah sakit. Dia tidak mau menontonnya. “Tidak mungkin.” Dia bahkan tidak sanggup menonton berita.
“Semuanya sangat menyedihkan,” katanya. “Kadang-kadang saya bertanya dalam hati, mengapa semua orang ini harus mati? Apakah kami harus membayar semua kekacauan ini dengan darah mereka yang berharga?” Darah masih terus tumpah.
Sebelum revolusi, Rumah Sakit Al Jala hanya merawat sekitar tiga atau empat kasus luka tembak setiap tahun. Sekarang, dia merawat tiga atau empat kasus seperti itu setiap hari.“Sekarang kami sangat ahli berurusan dengan kasus seperti ini,” desah dokter bedah itu.
!break!
Ketika membayangkan masa depan Libia, bangsa muda yang acak-acakan, pikiran saya kembali kepada seorang lelaki 61 tahun yang saya temui di salah satu souk (pasar) tua Benghazi. Namanya Mustafa Gargoum. Dia mencari nafkah ala kadarnya sebagai penjual foto-foto antik Tripoli.
Sejak 1996, dia menempati sebuah sudut jalan, hanya beberapa ratus meter dari Pantai Laut Tengah. Pameran darurat kolektor foto ini adalah satu-satunya yang ada di Benghazi, dan mungkin di seluruh Libia. Sejumlah orang berkerumun merenungi gambar dari masa lalu yang dilupakan.
Tampak deretan foto: bagal membawa kendi minyak zaitun, Lapangan Hadada dari zaman Utsmaniyah yang gemilang yang kini dipakai para penjual perhiasan, gedung parlemen Italia yang hancur karena Qaddafi dan kini menjadi lapangan parkir.
Sejumlah lelaki tua berjongkok di depan foto Gargoum dan menatapnya berlama-lama. Beberapa foto menampilkan gambar terlarang, seperti bendera masa lalu Libia, yang sekarang menjadi bendera baru Libia. Galeri kaki lima Gargoum juga menampilkan beberapa poster yang sengaja ditulisi sejumlah pesan provokatif seperti: “Mereka yang mengorbankan kebebasan untuk keamanan tidak layak mendapatkan keduanya” dan “Pikiran bebas Amerika dan Eropa, kalian selalu mengecewakan kami.”
Tidak mengherankan, renungan yang bersifat membangkang ini menyebabkan Gargoum kerap mendapatkan gangguan. Setiap September, bertepatan dengan ulang tahun kenaikan takhta Pemimpin Persaudaraan, petugas Departemen Dalam Negeri mengawal Gargoum ke pos polisi. dan memaksanya bermalam di situ.
“Kami tahu apa yang kaulakukan,” ujar mereka, meskipun selalu membebaskannya lagi. Dia terus menampilkan gambar dan pesan-pesannya. Namun, foto yang dikumpulkannya dari musuh bebuyutan Qaddafi disembunyikannya di rumahnya. Di dinding kamar dia menuliskan kata-kata sensitif yang tidak berani ditampilkannya di jalanan Benghazi. Keluh kesah pahit itu seperti, “Langit-langit rezim begitu rendah sehingga aku tidak dapat berdiri di bawahnya!”
Ketika protes damai pertama dimulai pada pertengahan Februari, Gargoum menutup galerinya dan bergabung dalam demonstrasi, tetapi segera kembali pulang. Delapan bulan kemudian, pada hari kematian Qaddafi, dia kembali ke souk dengan membawa foto-fotonya.
Tak hanya itu, dia juga membawa karya para seniman, cendekiawan, dan prajurit yang dieksekusi lantaran menentang sang diktator, Muammar Qaddafi.
Pameran yang cukup besar ini juga menampilkan lukisan yang dibuatnya pada 1996. Tahun itu adalah kala pertama dia menawarkan foto dan slogan secara sembunyi-sembunyi kepada masyarakat Benghazi yang gelisah. Lukisan itu menampilkan sosok monumental yang ditelan kegelapan—berdiri memunggungi, tangannya memegang obor tinggi-tinggi.
Meskipun Gargoum berniat untuk menjadikannya sebagai potret diri, tanpa disadari, dia telah menggambar ulang patung Septimius Severus yang dikucilkan.
Pada hari kebebasan baru ini, Gargoum menempatkan lukisan itu pada kuda-kuda dan mengambil kuasnya. Dengan sapuan cermat, dia menambahkan kerumunan orang secara samar-samar di latar belakang. Lalu, dia mengangguk puas pada lukisan yang sudah jadi itu. Sebuah potret bangsa yang belum selesai, warganya berdiri bersama-sama pada malam setelah revolusi—sesaat dibutakan oleh cahaya obor, menunggu visi baru memecah kegelapan.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR