Bagi warga Misratahh, tetangga itu adalah warga Tawurgha yang merupakan kota kelas pekerja. Kota itu pula yang menjadi tempat pasukan pemerintah meluncurkan serangan ganas ke Misratahh.
Visi utama Qaddafi untuk Libia adalah filosofi populisme haus perang, yang dirancang untuk melemahkan pusat-pusat perkotaan yang mengancam pusat kekuasaannya. Untuk mencapai tujuan itu, dia membagi-bagikan pekerjaan dan perumahan kepada warga Tawurgh sebagai imbalan atas kesetiaan mereka. Mereka hampir seluruhnya bangsa Afrika keturunan sub-Sahara berkulit gelap.
Strategi memecah-belah ini menyebabkan berbagai kota serta sejumlah kelompok etnis dan suku saling bersaing di seluruh penjuru Libia. Revolusi menyebabkan wilayah yang terpecah-belah ini menjadi medan pertempuran. Sukarelawan Tawurgha yang bergabung dengan pasukan Qaddafi bergerak menuju Misratahh, membunuhi tetangga mereka, dan, dalam beberapa kasus, memperkosa kaum perempuan tetangga mereka.
Tuduhan itu terbantahkan, kecuali satu: Tawurgha sekarang menjadi kota hantu. Warga Misratah mengosongkan kota dengan paksa dan menghancurkan sebagian besar bangunannya. Hampir 30.000 warga Tawurgha sekarang tinggal di kamp pengungsian, terutama di Benghazi dan Tripoli.
Ketika saya berada di Tawurgha, jalanan tampak kosong. Hanya selongsong peluru yang berserakan di mana-mana, beberapa pakaian compang-camping, dan seekor kucing yang setengah kelaparan. Jalanan menuju kota dijaga ketat oleh milisi Misratah. Tidak seorang pun diperbolehkan kembali ke Tawurgha.
Warga Misratah dengan keras kepala menolak untuk berdamai. Seperti yang disampaikan kepada saya oleh salah seorang pedagang setempat yang terkemuka, Mabrouk Misurati. Dia berkata dengan suara keras yang bergetar, “Kami tidak bisa menerima mereka yang telah memperkosa dan membunuh saudari kami untuk tinggal di tengah-tengah kami lagi! Ini bukan hal yang mudah! Kami meminta rekonsiliasi hanya kepada pemerintah—yaitu menyeret orang-orang yang melakukan kejahatan itu ke depan meja hijau. Setelah itu, barulah kita bisa membicarakan pemulangan mereka.”
!break!
Nafsu untuk membalas dendam ini mengkhawatirkan kepala polisi baru Misratahh. “Kita tidak dapat menyamaratakan semua rakyat Tawurgha,” kata Albera. “Kita tidak boleh melakukan hukuman massal seperti yang dilakukan Qaddafi. Kita harus bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Inilah yang kami coba capai di Libia yang baru.”
Kepala polisi itu telah berhasil membentuk dewan keamanan beranggotakan milisi yang lebih berkepala dingin, dan membujuk mereka untuk menginventarisasi senjata. “Kami perlu mengendalikan semuanya lagi,” katanya. Terlalu banyak penembakan yang terjadi—sebagian karena tidak disengaja dan beberapa disebabkan oleh pertumpahan darah yang bengis.
Terlalu banyak penjahat yang dibebaskan dalam kekacauan revolusi dan berkeliaran di jalanan. Namun, sebaliknya, ujar kepala polisi itu, mereka pernah bertempur dengan gagah berani di sampingnya. Bahkan, sudah terlalu banyak anak muda mengonsumsi narkoba. Setidaknya dia dapat memahami hal ini.
“Mengingat apa yang baru saja mereka lalui, banyak di antaranya yang memerlukan perawatan psikologis,” kata sang kepala polisi. “Sejujurnya, mungkin kami semua memerlukannya. Putra saya yang berusia 17 tahun—dia melihat kakak lelakinya roboh ke tanah tepat di sampingnya.”
Tetapi, bagaimana cara sebuah bangsa mulai membersihkan jiwanya? Sekarang ini di Misratahh, murid sekolah yang dahulu dipaksa membaca Kitab Hijau diharapkan benar-benar melupakan penulisnya.“Seluruh masa pemerintahan Qaddafi telah dihapus dari buku pelajaran,” kata seorang guru setempat kepada saya. “Kami tidak akan pernah lagi menyebut namanya. Dia telah dilupakan.”
Jejak kebesaran masa lalu Libia tetap terlihat jelas berkat iklimnya yang kering, terhampar di sejumlah daerah perkotaan. Keyakinan tradisional untuk tidak mengganggu barang peninggalan orang mati, dan berlimpahnya pasir menjadi pengawet yang optimal.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR