Willy pun sempat ditahan. Ia berhasil bebas karena beruntungnya orangtuanya kenal beberapa pejabat saat itu. Akhirnya, demi bisa melanjutkan studi ia mengajukan paspor baru, dan diam-diam berangkat ke Moskow.
Pada 1972 ketika sudah menikah, dia ingin tahu apakah dia bisa pulang lagi ke Indonesia dengan kehidupan yang terjamin memiliki pekerjaan. Sebab, beberapa rekannya yang telah berkuliah di Uni Soviet, justru dipenjara. Di KBRI Mpskow, petugas atase militer malah membentaknya.
Willy ditolak untuk masuk ke Indonesia, sehingga memutuskan untuk pindah ke Frankfurt, Jerman. Dia bahkan bekerja di Max Planck Institute. Tetapi bagi pemerintah Indonesia, dia distempel PKI, sehingga tidak mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, tanpa alasan yang jelas.
Willy Wirantaprawira adalah satu dari generasi intelektual yang dikirimkan ke luar negeri oleh pemerintahan Sukarno. Ada banyak tokoh intelektual lainnya, tetapi tidak bisa pulang lantaran dituduh komunis atau beraliran kiri.
Baca Juga: Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?
Soe Tjen Marching dari School of Oriental and African Studies University of London, memaparkan beberapa kisah tokoh intelektual tersebut di Diskusi Genosida Intelektual '65: Terhapusnya Satu Generasi Kiri Indonesia. Acara itu diselenggarakan oleh PMII Rayon Pancasila Semarang pada Sabtu (03/07/2021).
Pemerintahan Sukarno sengaja mengirim banyak mahasiswa ke luar negeri seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Uni Soviet, dan Tiongkok, alasannya agar negeri ini bisa mengelola sumber daya alam secara mandiri.
"Karena waktu terus terang—setelah merdeka—Indonesia kekurangan tenaga ahli," papar Soe Tjen.
"Bayangkan, dijajah ratusan tahun, pendidikannya bobrok pada waktu itu, universita lagi kekurangan, terus ini dari Amerika Serikat lagi gencar-gencarnya mengintai Indonesia. Karena beberapa perusahaan besar--tidak cuma Amerika, seperti Shell, Exon, itu tahu kalau Indonesia ini kaya akan sumber daya," tambahnya.
Pengiriman mahasiswa ini diharapkan agar Indonesia tidak lagi bergantung pada para ahli dari luar negeri, yang tentunya mementingkan negerinya.
Tetapi para mahasiswa yang berada di luar negeri mengalami kesulitan untuk bisa pulang pasca peristiwa 1965. Rata-rata kesulitan itu terhadi pada 1966 yang tak hanya dialami mahasiswa, tetapi juga para wartawan dan diplomat yang dicurigai memihak Sukarno.
Baca Juga: Soe Tjen Marching: Pemerintah Harus Akui Pemerkosaan Tionghoa 1965
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR