Pagi yang cerah dalam dinginnya bulan Januari. Dengan puncak gemunung Aspromonte berselimut salju di kejauhan dan jeruk menguning di sekeliling, Giuseppe Passarino mengendarai minivan peraknya mendaki jalan gunung yang berkelok ke pedalaman Calabria, wilayah paling selatan di daratan Italia.
Sambil menyusuri jalan menanjak di antara kebun buah dan zaitun, Passarino, ahli genetika di Università della Calabria, mengobrol dengan rekannya Maurizio Berardelli, ahli geriatrik. Mereka menuju desa kecil Molochio, yang istimewa karena memiliki empat orang berusia di atas 100 tahun—dan empat usia 99—di antara 2.000 penduduknya.
Tidak lama kemudian, mereka bertemu Salvatore Caruso yang sedang berdiang menghangatkan tulangnya yang telah berusia 106 tahun di depan kobaran api di rumahnya. Caruso yang dalam logat lokal dipanggil “U’ Raggiuneri”, sang Akuntan, dengan tenang membaca artikel tentang akhir dunia di tabloid. Salinan akta kelahirannya, tanggal 2 November 1905, terletak di atas lis perapian.
Caruso memberi tahu para peneliti itu bahwa kesehatannya baik-baik saja, dan ingatannya sepertinya masih sangat sempurna. Dia masih ingat kematian ayahnya tahun 1913, saat dirinya masih sekolah; bagaimana ibu dan saudaranya nyaris meninggal saat wabah besar influenza 1918-1919; bagaimana dia dipecat dari tentara pada 1925 setelah terjatuh dan kakinya patah di dua tempat.
Ketika Berardelli bertanya kepada Caruso apa rahasianya sehingga berumur lebih dari seabad, sang lansia menjawab dengan senyum nakal, “No Bacco, no tabacco, no Venere—Tidak minum, tidak merokok, tidak main wanita.” Dia menambahkan bahwa waktu kecil makanannya terutama buah ara dan kacang-kacangan, dan hampir tidak pernah makan daging hewan berkaki empat.
Passarino dan Berardelli mendengar kisah yang hampir sama dari Domenico Romeo yang berusia 103 tahun dan Maria Rosa Caruso, 104 tahun, yang meskipun sudah sakit-sakitan tetap menghibur tamunya dengan lagu bersemangat tentang santo pelindung tempat itu. Dalam perjalanan pulang ke laboratorium di Cosenza, Berardelli berkomentar, “Mereka sering mengatakan lebih suka makan buah dan sayuran saja.”
“Mereka suka buah dan sayuran,” kata Passarino datar, “karena cuma itulah yang ada saat itu.” Meskipun di tempat seperti Calabria pada awal abad ke-20 makan sedikit lebih mungkin dilakukan karena terpaksa akibat kemiskinan, penelitian selama puluhan tahun menunjukkan bahwa diet yang sangat dibatasi memang berkaitan dengan umur panjang.
!break!
Namun, belum lama ini teori itu mendapat sanggahan dari penelitian baru yang memberikan hasil bertentangan. Beberapa penelitian terakhir membangkitkan keraguan terhadap hubungan antara umur panjang dan pembatasan kalori.
Terlepas dari mana yang benar, Passarino lebih tertarik pada orangnya daripada apa yang mereka makan selama hidupnya. Para ilmuwan peneliti umur panjang mulai memanfaatkan teknologi genom, riset molekuler dasar, dan, yang paling penting, data mengenai kelompok kecil yang terisolasi secara genetis untuk memperdalam pemahaman mengenai penyakit usia senja.
Penelitian yang dilakukan di Calabria, Ekuador, Hawaii, dan bahkan di Bronx menemukan molekul dan interaksi genetis yang mungkin suatu saat nanti dapat membantu orang mencapai usia lanjut dalam kondisi sehat walafiat.
Pencarian jawaban genetis membawa komunitas ilmiah internasional kepada orang-orang seperti Nicolas Añazco, yang dipanggil “Pajarito”, Burung Cilik dalam bahasa Spanyol. Dalam banyak hal, si Burung Cilik adalah remaja normal.
Dia biasa main game komputer dan sepak bola. Rumah keluarganya terletak di pedesaan dataran tinggi di Provinsi El Oro, Ekuador. Di tanah yang terjal dan keras tetapi subur di kaki pegunungan Andes ini pemuda ini membantu ayahnya mengolah tebu yang tumbuh di sekeliling rumahnya.
Burung Cilik, 17 tahun, mengatakan dia mulai menyadari alasan julukannya saat berusia enam tahun, ketika melihat teman-teman sekelasnya: “Saat itu saya sadar bahwa nantinya saya lebih kecil dari mereka.” Jauh lebih kecil.
Karena mutasi resesif pada suatu gen, Burung Cilik tampak seperti berusia delapan tahun dan tingginya cuma 114 sentimeter—jauh lebih pendek daripada abangnya Ricardo, yang setahun di atasnya.
Mutasi ini menyebabkan gangguan pertumbuhan yang disebut sindrom Laron. Namun, hal ini juga dapat melindungi Burung Cilik dari penyakit serius yang biasanya menyerang manusia seiring bertambahnya usia. Bahkan di daerah miskin yang terisolasi secara geografis ini, berita itu pun sudah tersebar.
!break!
Suatu sore, Burung Cilik dan tiga pria pengidap sindrom Laron lainnya di wilayah itu berkumpul untuk wawancara di belakang sebuah toko kelontong. Kaki mereka yang terbungkus sepatu ukuran anak-anak berjuntai di kursi. Freddy Salazar, 39 tahun dan 116 sentimeter, baru-baru ini memasang pedal tinggi pada Chevy Forsa 1997-nya dan menaikkan kursinya agar dia bisa melihat ke depan saat melintasi perbukitan curam di desanya.
Victor Rivera, 23 tahun dan sedikit lebih tinggi daripada Salazar, adalah subjek foto terkenal yang sering diperlihatkan di pertemuan ilmiah. Foto tersebut diambil ketika dia berusia empat tahun—saat itu, dia sangat kecil sehingga jagung yang dipegangnya sedikit lebih besar daripada lengannya. Luis Sanchez, 43, tertawa terbahak-bahak, yang diikuti tawa nyaring yang lainnya, ketika ada yang menanyakan apakah mereka mengetahui hasil penelitian ilmiah terbaru tentang kondisi mereka.
“Kami tertawa,” jelasnya, “karena kami dinyatakan kebal terhadap kanker dan diabetes.” Itu agak melebih-lebihkan hasil penelitian saat ini, tetapi memang mencerminkan peningkatan minat kalangan peneliti untuk mempelajari genom kelompok orang yang berumur panjang, atau memiliki tingkat kesehatan yang tidak biasa.
Kelompok ini, baik yang terisolasi secara geografis maupun budaya, mempermudah para ilmuwan untuk mencari penanda genetis untuk umur panjang, tahan penyakit, dan sehat pada usia lanjut. Salah satu ilmuwan tersebut adalah Jaime Guevara, dokter yang menangani si Burung Cilik. Karena tertarik oleh “orang kecil”—sebutan bagi mereka sebelum muncul istilah sindrom Laron—di wilayah itu, dia mulai meneliti mereka sekitar tahun 1987.
Dan, dalam seperempat abad penyelidikan epidemiologi, dia menemukan sekitar seratus orang pengidap mutasi Laron di perbukitan di selatan Ekuador. Meche Romero Robles, ibu tunggal usia 40 tahun, juga merupakan salah satu pasien Guevara. Robles yang tingginya sekitar 1,25 meter tinggal bersama putri remajanya, Samantha, di sebuah rumah batako beratap seng di lereng bukit Desa Piñas.
“Coba perhatikan ibu ini!” teriak Guevara sambil memeluk Robles dengan hangat. “Kalau melihat indeks massa tubuhnya, harusnya dia mengidap diabetes. Tetapi, nyatanya tidak.” Bahkan, di mata orang awam, Meche tampak sangat gemuk. Namun, sebagaimana banyak orang kecil lainnya, dia bebas dari diabetes. “Saya menyadari hal ini tahun 1994,” kata Guevara, “tetapi tidak ada yang mau percaya.”
Hal itu mulai berubah tahun 2005, ketika Valter Longo, ahli biologi sel di University of Southern California (USC) yang meneliti penuaan, mengundang Guevara ke USC untuk menjelaskan penelitiannya. Satu dasawarsa sebelumnya Longo mulai melakukan manipulasi gen organisme sederhana seperti ragi bersel tunggal, menciptakan mutasi yang memungkinkannya hidup lebih lama.
!break!
Beberapa mutan dapat memperbaiki DNA-nya lebih efektif daripada sel normal; ada pula yang menunjukkan kemampuan tinggi dalam meminimalkan kerusakan akibat oksidan. Yang lain menjadi lebih mampu menghentikan jenis kerusakan DNA yang dapat menyebabkan kanker pada manusia.
Ada pula ilmuwan lain yang meneliti proses yang sama. Pada 1996, Andrzej Bartke, seorang ilmuwan di Southern Illinois University, mengutak-atik gen tikus yang terkait dengan proses pertumbuhan. Pemblokiran jalur hormon pertumbuhan mengakibatkan tikus menjadi kerdil. Yang mengejutkan adalah bahwa tikus kerdil itu berumur lebih panjang—sekitar 40 persen lebih panjang—daripada tikus normal.
Mungkinkah proses yang sama terjadi pada manusia? Mungkinkah anomali genetis melindungi pemiliknya dari penyakit usia lanjut? Zvi Laron, ahli endokrinologi Israel yang tahun 1966 untuk pertama kalinya mendeskripsikan kekerdilan ini yang kemudian dinamai dengan namanya, menemukan puluhan orang yang tersebar di Eropa yang mengidap sindrom langka ini.
Longo beranggapan bahwa pasien Guevara mungkin merupakan eksperimen alam—populasi terisolasi dengan kondisi yang menghubungkan sifat genetis dengan umur panjang.
Menurut para peneliti, pengidap sindrom Laron di Ekuador dapat ditelusuri asalnya hingga ke abad ke-15, ketika orang Yahudi melakukan perjalanan dari Semenanjung Iberia ke benua Amerika membawa bekal istimewa: kesalahan ejaan genetis yang dikenal sebagai mutasi E180 pada gen reseptor hormon pertumbuhan yang membuat molekul yang menerima sinyal pertumbuhan tubuh. Kesalahan ejaan khas pada kode genetis ini juga ditemukan di Israel.
“Teorinya, orang Yahudi Sefardim memutuskan meninggalkan Spanyol dan Portugal karena Inkuisisi,” kata Harry Ostrer, ahli genetika medis di Albert Einstein College of Medicine di New York City yang bekerja sama dengan Guevara. “Mereka menyebar ke Afrika Utara, Timur Tengah, dan Eropa selatan.
Banyak pula yang berkelana hingga sampai ke benua Amerika, tetapi Inkuisisi juga terjadi di sana. Jadi, demi keselamatan, mereka meninggalkan kota besar seperti Lima dan Quito yang menjadi pusat kekuatan gereja.” Mereka menetap di kota kecil dan pedesaan yang tersebar di 200 kilometer persegi pedalaman Ekuador. Selama berabad-abad, mutasi itu tersimpan dan menyebar di masyarakat, diperkuat oleh isolasi dan perkawinan sedarah.
“Teorinya, kami semua berasal dari satu keluarga,” kata Christian Asanza Reyes, ekonom di Balsas. Sosoknya yang tinggi menyembunyikan mutasi yang diwariskan oleh dia dan istrinya kepada dua dari tiga anak mereka.
Guevara dan Longo mulai bekerja sama tahun 2006.
!break!
Dalam kelompok Laron itu tidak ada yang mengidap diabetes dan hanya ada satu yang mengidap kanker yang tidak fatal. Dalam kelompok kontrol, orang sebaya yang tinggal di daerah yang sama, Guevara dan Longo menemukan bahwa 5 persen mengidap diabetes dan 20 persen meninggal karena kanker.
Eksperimen lanjutan yang dilakukan Longo di USC menunjukkan bahwa darah yang diambil dari pasien Ekuador tampaknya melindungi sel manusia dari kanker buatan laboratorium. Apa bahan ajaib dalam darah mereka?
“Tidak ada,” kata Longo. Tidak ada? Justru karena ada sesuatu yang tidak ada—hormon yang dikenal sebagai IGF-1, atau faktor pertumbuhan mirip insulin.
Darahnya menjadi pelindung, ujar Longo, karena memiliki kadar IGF-1 yang luar biasa rendah. Protein ini berperan penting dalam pertumbuhan masa kanak-kanak, tetapi juga diketahui ikut mempercepat kanker dan merupakan regulator metabolisme yang kuat.
Dapatkah dengan mengatur keberadaan satu hormon dalam darah manusia kita menunda penyakit usia lanjut? Mungkin tidak sesederhana itu, tetapi korelasi insulin-IGF-1 dengan penyakit tua terus bermunculan dalam penelitian umur panjang.
Di calabria, perburuan mekanisme dan molekul yang menyebabkan umur panjang dimulai di tempat seperti Kantor Catatan Sipil di desa abad pertengahan Luzzi. Jendela kantornya menyajikan pemandangan pegunungan yang berselimut salju di utara. Tetapi, yang benar-benar memukau para ahli genetika adalah yang tersembunyi di dalam lemari arsip tinggi di sekeliling ruangan itu, serta susunan rak yang memuat buku induk nan berharga yang diberi angka tahun, mulai tahun 1866.
Tidak lama setelah penyatuan negara itu pada 1861, pemerintah Italia mewajibkan pejabat setempat mencatat kelahiran, pernikahan, dan kematian setiap warga negara di setiap comune, atau kota.
Sejak 1994, para ilmuwan di Università della Calabria meneliti semua arsip yang ada di 409 comuni Calabria dalam rangka melakukan survei yang luar biasa. Dengan memadukan riwayat keluarga dan kondisi kesehatan para lansia dengan teknologi genom tercanggih, mereka bertekad mencari jawaban atas pertanyaan mendasar tentang umur panjang. Seberapa besar peran genetis dalam hal itu? Seberapa besar pengaruh lingkungan? Dan, bagaimana interaksi kedua faktor ini dalam memperpanjang umur—atau, sebaliknya, mempercepat proses penuaan?
!break!
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para ilmuwan harus mulai dengan data demografi yang lengkap dan akurat.
“Ini buku induk tahun 1905,” jelas Marco Giordano, salah satu rekan Giuseppe Passarino. Dia menunjuk ke baris catatan yang ditulis rapi dalam huruf kursif, kelahiran Francesco D’Amato pada tanggal 3 Maret 1905.
“Dia meninggal tahun 2007,” kata Giordano yang menyebut D’Amato sebagai probandus atau titik tolak dalam susur galur sebuah keluarga besar. “Kita bisa merekonstruksi silsilah keluarga dari arsip ini.”
Melalui pemeriksaan silang entri buku induk dengan kartu catatan sipil yang lengkap hingga seawal abad ke-19, Giordano berhasil merekonstruksi silsilah 202 warga yang berumur 90-an dan 100-an di Calabria. Arsip itu tidak hanya mencatat saudara kandung orang-orang tersebut tetapi juga pasangan hidup saudaranya, yang memungkinkan tim Passarino melakukan semacam eksperimen sejarah umur panjang.
“Kami membandingkan usia saudara dan saudari D’Amato dengan usia pasangan mereka,” Giordano menjelaskan. “Jadi, mereka tinggal di lingkungan yang sama. Mereka makan makanan yang sama. Mereka menggunakan obat-obatan yang sama. Mereka berasal dari budaya yang sama. Tetapi, mereka tidak memiliki gen yang sama.”
Dalam sebuah makalah tahun 2011, para peneliti Calabria melaporkan kesimpulan yang mengejutkan: Meskipun usia orang tua dan saudara orang yang hidup sampai minimal 90 tahun juga lebih panjang daripada masyarakat umum—temuan yang sejalan dengan penelitian sebelumnya—tampaknya manfaat faktor genetis tersebut lebih dominan pada pria.
Hasil penelitian Calabria mengenai perbedaan berdasarkan jenis kelamin ini memberikan petunjuk lain bahwa lika-liku genetis yang menyebabkan umur panjang mungkin luar biasa kompleks. Penelitian besar di Eropa sebelumnya melaporkan bahwa wanita lebih mungkin hidup sampai usia 100, melebihi jumlah pria dengan perbandingan empat atau lima banding satu, yang menyiratkan bahwa sebagian alasannya bersifat genetis.
Tetapi, dari pemeriksaan data silsilah, para peneliti Calabria menemukan paradoks menarik: Komponen genetis umur panjang tampaknya lebih kuat pada pria—tetapi kaum hawa mungkin lebih memanfaatkan faktor eksternal seperti diet dan perawatan medis.
DNA dari darah dan sampel jaringan lainnya mengungkapkan informasi tambahan tentang kelompok Calabria. Misalnya, orang yang hidup sampai usia 90-an atau lebih biasanya memiliki versi (atau alel) tertentu untuk gen yang penting bagi rasa dan pencernaan.
!break!
Alel ini tidak hanya membuat orang suka makanan pahit seperti brokoli dan sayuran lainnya, yang biasanya kaya senyawa polifenol yang meningkatkan kesehatan sel, tetapi juga memungkinkan sel di usus menyerap gizi makanan yang dicerna secara lebih efisien.
“Kami telah menelaah lima atau enam jalur kimia yang paling berpengaruh terhadap umur panjang,” kata Passarino. “Kebanyakan melibatkan respons terhadap stres, metabolisme nutrisi, atau metabolisme secara umum—penyimpanan dan penggunaan energi.” Timnya saat ini sedang meneliti pengaruh lingkungan terhadap aktivitas gen, baik yang memperpanjang maupun memperpendek usia.
Hari itu langit mendung di Bronx. Jean Sisinni yang berusia 81 tahun berjalan bolak-balik di atas karpet kelabu di kamar lantai tiga. Sambil berjalan, Sisinni berusaha mengucapkan huruf yang berbeda-beda (“B, D, F, H”), sementara sensor di keningnya mengukur aktivitas korteks prefrontalnya, dan pada saat yang bersamaan karpet mengukur lokasi, arah, dan kecepatan setiap langkah.
“Bagus!” kata Roee Holtzer, ahli neuropsikologi di Albert Einstein College of Medicine yang melakukan penelitian fungsi otak dan gerak para lansia.
Dalam serangkaian penelitian selama beberapa tahun terakhir, Holtzer dan ahli saraf Joe Verghese menunjukkan bahwa tingkat pemikiran yang mampu dilakukan bagian prefrontal otak yang mengontrol proses pada saat orang berjalan dan berbicara menggambarkan risiko mereka mengalami kepikunan, kehilangan kemampuan gerak, dan terjatuh.
Percobaan ini melengkapi penelitian di Einstein yang dipimpin Nir Barzilai, dokter Israel dengan rambut tebal memutih dan wajah awet muda, yang pada 1998 mulai meneliti tiga lansia usia 100-an di New York. Saat ini, proyek Einstein menyertakan lebih dari 500 lansia di atas 100 di New York City dan sekitarnya—semuanya dari Eropa tengah dan semuanya orang Yahudi Ashkenazi, populasi yang secara historis terisolasi dan hanya menikah dengan sesama mereka.
Dalam kelompok homogen ini, ditemukan lagi satu set gen yang berkaitan dengan umur panjang, sebagian di antaranya juga ditemukan di Italia. Dari data yang semakin banyak terkumpul, para peneliti Einstein menemukan bahwa lansia Ashkenazi yang berusia di atas 100 ini memiliki tingkat HDL, sering disebut kolesterol baik, yang sangat tinggi sementara keturunan mereka memiliki kadar HDL yang lebih tinggi lagi.
Ini membuat mereka menganalisis DNA sekitar seratus gen yang diketahui terlibat dalam metabolisme kolesterol. Mereka menemukan varian, subtipe genetis yang berbeda, dari gen yang dikenal sebagai CETP (protein transfer ester kolesterol) yang lebih banyak didapati pada lansia berusia seabad, dibandingkan pada masyarakat umum.
!break!
Hasil penelitian gen CETP versi kaum seabad ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, yang menunjukkan bahwa varian ini melindungi pemiliknya dari penyakit jantung. Penelitian itu membuktikan bahwa banyak orang dengan subtipe genetis ini—termasuk Yahudi Ashkenazi yang belum berusia seabad dan bahkan penduduk Bronx non-Yahudi—mendapat hasil lebih baik dalam tugas kognitif seperti eksperimen “jalan sambil bicara”. Dua perusahaan farmasi besar sedang menguji obat yang menghambat jumlah CETP, seperti yang dilakukan varian gen lansia seabad.
Barzilai dan mitranya juga meneliti mitokondria pada lansia yang menjadi subjek penelitiannya. Mitokondria adalah pembangkit listrik dalam sel, yang memiliki fungsi metabolisme yang penting. Barzilai dan timnya telah mengidentifikasi beberapa protein mitokondria, yang mereka sebut mitosin, yang banyak ditemukan pada orang yang hidup sampai usia 90-an dan di atas 100.
Salah satu molekul tersebut, humanin, sangat menjanjikan. Barzilai mengatakan bahwa satu suntikan humanin ke tikus pengidap diabetes menormalkan kadar glukosanya, dan dapat dikatakan menghilangkan gejala diabetes beberapa jam kemudian. Protein ini juga mencegah arteriosklerosis dan Alzheimer pada tikus yang rentan terhadap penyakit ini.
Program umur panjang Albert Einstein College of Medicine yang besar dan ambisius ini merupakan bagian dari perubahan besar yang melanda penelitian genetika manusia, yang dalam 20 tahun terakhir berfokus pada pencarian “gen penyakit”.
“Semua orang sibuk mencari gen penyebab diabetes dan kegemukan, dan semacam itu,” kata Barzilai. “Saya kira salah satu alasan kita tidak dapat menemukannya adalah karena kita juga memiliki gen pelindung.” Kini banyak peneliti berfokus pada pencarian gen pelindung tersebut, yang tampaknya mengekang dampak gen yang terkait dengan penyakit atau penuaan.
Salah satu gen yang paling menarik adalah FOXO3. Peneliti dari University of Hawaii menemukan varian gen itu pada orang Amerika keturunan Jepang di pulau Oahu. Gen ini juga berada pada jalur insulin-IGF-1 yang muncul baik dalam penelitian ragi dan cacing maupun pada populasi sindrom Laron di Ekuador.
Gen pelindung juga menjadi target penelitian di Scripps Translational Science Institute di California, tempat dokter Eric Topol dan mitranya memeriksa DNA sekitar seribu orang lansia bugar yang mereka sebut wellderly. Subjek penelitian mereka adalah lansia di atas 80 yang tidak memiliki penyakit kronis, seperti tekanan darah tinggi, penyakit arteri koroner, atau diabetes, dan belum pernah makan obat resep.
“Pasti ada gen istimewa yang menyebabkan kelompok ini terlindung dari gen perusak yang memengaruhi proses penuaan,” kata Topol. “Pencarian masih berlangsung.”
!break!
Perlombaan mencari kunci umur panjang bahkan membawa ilmuwan ke rahim. Para peneliti di Einstein menengarai bahwa pola penuaan kita mungkin ditentukan sangat awal, mungkin sebelum kita lahir. Untuk menguji hipotesis ini, Francine Einstein dan John Greally memeriksa tanda kimia subtil pada DNA sel induk yang diambil dari darah tali pusat bayi yang lahir di Bronx.
Mereka menemukan bahwa pola tanda DNA pada bayi besar dan kecil sangat berlainan dengan bayi yang berukuran normal. Penelitian ini merupakan bagian dari bidang populer baru dalam biologi yang bernama epigenetika. Bidang ini mempelajari cara lingkungan membuat modifikasi kimia pada DNA dan dengan demikian menyebabkan perubahan seumur hidup pada aktivitas gen.
Barzilai menjelaskannya seperti ini, “Mungkin ada pengaruh di dalam rahim yang berdampak pada mekanisme genetis yang entah bagaimana mengatur laju penuaan kita.”
Namun, penyebab umur panjang tidak bisa dijelaskan dengan gen semata, dan para ahli memetik pelajaran dari hasil penelitian terbaru mengenai pembatasan kalori. Percobaan pada 41 model genetis tikus, misalnya, menunjukkan bahwa pembatasan asupan makanan memberikan hasil yang sangat bertentangan.
Dan, Agustus lalu, percobaan jangka panjang National Institute on Aging pada primata menyimpulkan, monyet yang mendapat asupan kalori terbatas selama 25 tahun tidak berumur lebih panjang daripada yang biasa. Passarino mengutarakan sebuah pendapat bagus.
“Tidak ada gen baik dan gen buruk,” katanya. “Pada akhirnya, gen mungkin hanya berkontribusi 25 persen bagi usia seseorang. Lingkungan juga berpengaruh, tetapi itu juga tidak dominan. Dan jangan lupa pada nasib.”
Hal tersebut mengingatkan saya pada Salvatore Caruso dari Molochio, yang kini berusia 107 tahun dan masih sangat sehat. Karena kakinya patah 88 tahun yang lalu, dia tidak bisa bertugas sebagai tentara Italia saat seluruh unitnya dikirim ke Perang Dunia II.
Katanya, “Tidak ada satu pun yang kembali.” Hal ini memperlihatkan, bahwa meskipun molekul dan mekanisme yang belum ditemukan itu suatu saat kelak dapat melahirkan obat yang membantu kita mencapai usia yang sangat tua dalam keadaan sehat, nasib tetap merupakan hal yang penting.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR