Kedua lelaki itu mencengkeram tombak masing-masing, yang dibuat dari pohon stringybark, dan berjalan tanpa alas kaki di atas tanah merah menuju tepi laut. Kemudian, mereka masuk ke dalam perahu kecil (dinghy) aluminium, lalu melintasi teluk Laut Arafura yang dangkal dan hangat, di perbatasan liar Northern Territory, Australia.
Terrence Gaypalwani berdiri di haluan, menatap tajam ke lautan di hadapannya, dan menunjukkan arah perjalanan dengan ujung tombaknya. Dia berusia 29 tahun, usia emas bagi seorang pemburu. Peter Yiliyarr, berusia lebih dari 40 tahun, menangani mesin. Kedua lelaki itu memiliki parut tipis, memanjang di telapak tangan dan dada mereka. Garis pantai dipenuhi jaringan akar bakau, matahari bagaikan lampu yang menyorot panas. Tiga puluh menit berlalu. Keduanya membisu. Ketika tidak sedang berburu pun orang Yolngu kadang hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Kemudian, Gaypalwani mengangkat tombaknya, mengangkat bahu. Saya menoleh ke samping perahu dan melihat bayangan besar di dalam air. Tombak dilontarkan dengan ganas. Bayangan itu bergerak ke atas, tombak menukik, dan kedua benda itu bertemu di permukaan air.
Penyu, yang tertombak, menyelam cukup dalam. Tubuhnya sebesar meja permainan kartu, dan mungkin lebih tua daripada kedua lelaki itu.
Ujung tombak dari logam, yang terbenam di tempurung penyu, lepas dari batangnya, sebagaimana yang direncanakan. Batang tombak mengambang—mereka akan mengambilnya nanti—namun, seutas tali telah diikatkan ke dasar ujung tombak yang berlekuk itu.
Tali itu kini terulur dengan kencang, meskipun ujungnya diikatkan pada pelampung putih sebesar bola basket. Tali melesat dari kapal dan menghilang ke bawah air.
Pelampung itu muncul kembali ke permukaan air dan perahu kecil itu segera melesat mendekatinya. Kali ini Yiliyarr yang memegang tombaknya. Ketika penyu itu muncul ke permukaan, dia melontarkannya, dan kembali menemui sasaran. Ujung tombak terlepas dari batangnya dan tali kedua terulur dari kapal. Gaypalwani meraih ke dalam air untuk mencengkeram tali pertama dan kedua lelaki itu menghelanya, menarik tali. Tak lama kemudian, penyu itu berhasil diseret ke perahu.
Mereka mengulurkan tangan dan keduanya meraih penyu yang menggelepar, masing-masing menjejakkan kedua kaki di sisi kapal, dan mencondongkan tubuh ke belakang. Penyu itu terangkat dan mereka jatuh terjengkang saat satwa itu meluncur ke dalam perahu kecil itu.
Sebelum mengunjungi Matamata, desa yang tenggelam di lautan semak dengan penghuni sekitar 25 orang, saya harus meminta izin dari ibu Gaypalwani, Phyllis Batumbil. Ia adalah kepala suku, wanita yang tidak suka basa-basi. Tawanya membuat orang ikut terpingkal-pingkal, dan pandangannya yang marah dapat menyebabkan anjing merintih. Hanya ada dua telepon di Matamata. Batumbil memiliki salah satu di antaranya. Telepon lainnya digunakan bersama-sama oleh penduduk desa.
Saya menelepon dan Batumbil yang menjawab. Dia mampu berbicara dalam Yolngu Matha, bahasa suku Yolngu, serta bahasa Inggris. Seperti banyak anggota suku Yolngu, dia menggunakan nama pertama Inggris dan nama kedua Aborigin, serta lebih suka disapa dengan nama Aborigin-nya. Batumbil adalah seorang seniman. Dia membuat lukisan ikan pari dan kadal, yang sangat simbolis, dan totem suci lainnya pada lembaran kulit kayu dan kayu berongga, menggunakan kuas yang terbuat dari rambutnya sendiri.
Saya bertanya kepada Batumbil apakah diperbolehkan tinggal di Matamata selama beberapa minggu dan mengatakan akan membayar sewa kamar. Izin diberikan. Saya bertanya, adakah benda tertentu yang dapat saya bawakan?
“Makan malam untuk 25 orang,” katanya.
Saya menyewa sebuah Cessna, dan sang pilot terbang rendah di atas semak-semak. Pepohonan tampak kurus, lurus, dan cukup renggang, hingga kami mencapai dataran luas persegi empat dengan beberapa rumah berbentuk gerbong di salah satu sisinya. Batumbil sedang duduk di bawah sebatang pohon mangga tua, merajut tas tangan dari serat alami, dikelilingi lima anjingnya. Dia mengenakan kaos singlet hitam, sarung ungu, kacamata baca berbingkai plastik, dan cat kuku merah. Rambutnya ikal hitam membal, diikat di atas kepalanya dengan pita kuning.
Saya menurunkan dua ransel dan selusin kantong belanjaan. Saya berkomentar, makan malam untuk 25 orang ternyata cukup berat. Batumbil mengangguk. Lihat semua makanan ini, katanya. Apakah Anda dapat membayangkan menangkap sekian banyak makanan dalam satu hari hanya dengan menggunakan tombak? Kemudian, mengulanginya pada hari berikutnya? Saya mengatakan, sepertinya mustahil. Orang Aborigin, katanya, telah melakukannya setiap hari selama, setidaknya, 50.000 tahun. Selama 49.800 tahun di antaranya, mereka menghuni benua itu sendirian. Dahulu, ada sekitar 250 bahasa Aborigin. Namun, terdapat hubungan dan kesamaan spiritual dan budaya yang mendalam di antara mereka. Mereka sendiri menyebut diri mereka Aborigin. Mereka hidup dalam kelompok kecil pengembara, yang cocok untuk bangsa pemburu-pengumpul, bergerak di dataran luas Australia. Kemudian, pada 29 April 1770, penjelajah Inggris, James Cook, mendaratkan kapalnya, Endeavour, di pantai tenggara. Dua abad berikutnya terjadi aktivitas pemusnahan kebudayaan yang mengerikan—pembantaian, penyakit, kecanduan alkohol, integrasi gaya hidup yang dipaksakan, dan akhirnya menyerah.
Kini, lebih dari setengah juta warga Aborigin tinggal di Australia, kurang dari tiga persen populasi benua itu. Hanya sedikit yang belajar melakukan tarian Aborigin atau berburu dengan tombak. Banyak antropolog memuji suku Aborigin karena memiliki agama tertua di dunia, serta bentuk kesenian yang paling bertahan lama—gaya lukisan yang terdiri atas garis bersilangan dan pola titik. Mereka adalah salah satu masyarakat paling bertahan lama yang dikenal di planet ini. Namun, saat ini cara hidup tradisional suku Aborigin sudah hampir punah.
Ya, hampir. Masih ada di beberapa tempat, utamanya Arnhem Land, lokasi Matamata, bersama dengan sekian puluh komunitas lain, yang terhubung oleh jalan tanah berbatu yang hanya dapat dilalui dalam cuaca kering.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR