Di tepi ladang jagung kecil dekat reruntuhan kota Maya di Chichén Itzá, terdengar suara yang memantul liar, naik ke mulut sumur. “¡Lo vi! ¡Lo vi!” seruan itu berkata. “Aku melihatnya, aku melihatnya!” “¡Sí, es verdad! Ternyata benar!”
Arkeolog bawah air Guillermo de Anda membungkuk di atas mulut sumur. “Apa yang benar, Arturo?” Rekan arkeolognya, Arturo Montero, yang mengapung-apung di dasar sumur, berseru lagi, “Sinar zenit! Memang sampai ke sini! Ayo turun!”
De Anda memang telah menunggu-nunggu temannya Montero untuk memeriksa apakah air sumur alami, atau cenote, ini pernah berperan sebagai jam matahari dan penjaga waktu yang suci bagi bangsa Maya kuno. Yakni pada dua hari setiap tahun, 23 Mei dan 19 Juli, saat matahari mencapai titik zenitnya.
Pada saat itu matahari berada tepat di atas kepala, sehingga bayangan tidak terbentuk. Cenote itu terletak tepat di barat laut tangga utama El Castillo, piramida tengah yang termasyhur di Chichén Itzá, dan di dalam batas kota misterius itu.
Berabad-abad silam, apakah para pendeta Maya menunggu di sumur ini untuk mengamati sudut matahari saat benda langit itu sampai ke titik zenit? Apakah mereka datang ke sini pada masa kekeringan untuk mempersembahkan sesajen, dan pada masa lain untuk mensyukuri panen besar?
Apakah mereka meyakini bahwa di sini matahari dan air bertemu dan mencipta kehidupan? Ini dan berbagai pertanyaan lain tentang bangsa Maya dengan dewa-dewanya, kota sucinya, dan kalendernya yang luar biasa akurat, itulah yang sedang diselidiki kedua arkeolog ini.
De Anda, yang terkenal akan keahliannya sebagai arkeolog bawah air, hanya dapat bekerja di cenote Holtún sesekali saja, dan dengan pendanaan minim. Montero, dari Universidad del Tepeyac, berada di sumur itu dengan biaya sendiri. Pada tanggal 23 Mei dia berada di kota Mérida di dekat sana, memimpin seminar arkeoastronomi di Universidad de Yucatán, tempat de Anda mengajar.
Tadi pagi, pada hari setelah zenit, mereka akhirnya menuju cenote Holtún. Montero dan Dante García Sedano, seorang mahasiswa, buru-buru mengenakan baju selam, memasang tali pengaman, dan diturunkan ke dalam sumur oleh sekelompok petani Maya setempat.
Kini Montero berteriak dan bersorak, dan para petani mula-mula menurunkan perahu karet, lalu saya ke dalam sumur. De Anda juga akhirnya diturunkan 20 meter ke dalam sumur, sehingga kami berempat mungkin adalah orang pertama dalam berabad-abad yang mengamati jalur yang dilalui dewa matahari di air ini.
!break!
Di bawah mulut cenote yang sempit, dindingnya membuka menjadi kubah raksasa, mirip katedral, tetapi ada akar pepohonan yang menembus batu menggapai-gapai air. Terfokus oleh lubang yang kecil—dibentuk segi empat, kemungkinan untuk mencerminkan kosmos Maya yang bersudut empat—berkas sinar matahari menari-nari bak api pada rumbai-rumbai stalaktit rapuh di sekeliling.
Tepi air juga seolah menyala kala terkena cahaya, dan di bawah permukaan yang biasanya gelap, air menjadi biru pirus yang jernih. Sinar matahari hampir vertikal, sehingga Montero kini tahu bahwa kemarin, pada saat zenit, tiang cahaya tentu menukik lurus ke dalam air. Tidak perlu menjadi orang Maya untuk merasa takjub.
Arkeolog mulai memperhatikan peran gua, matahari zenit, dan sekarang—melalui de Anda—cenote, dalam keyakinan bangsa Maya kuno di Yucatán. Bangsa Maya memandang gua maupun cenote sebagai mulut menuju dunia-lain yang dihuni Chaak, dewa hujan pemberi kehidupan. Tetapi, pengaruh keyakinan ini pada arsitektur dan perencanaan kota baru belakangan ini saja mulai dipahami.
Pada 2010, de Anda, yang saat itu sudah menyelam di puluhan cenote, mulai menjelajahi Holtún atas undangan Rafael Cobos, arkeolog ternama yang sibuk menyelidiki dan memetakan ratusan bangunan kuno, tanjung, dan sumur di wilayah Chichén Itzá. Saat memeriksa dinding kolam beberapa meter di bawah permukaan, dia keluar dari sebuah relung kecil dan merasakan ada tonjolan di atas kepalanya.
Landas batu alami ini berisi sesajen berupa tengkorak manusia, tembikar, tengkorak anjing, tulang rusa, dan pisau bermata dua yang kemungkinan digunakan untuk kurban. Semuanya diletakkan di sana dengan rapi berabad-abad silam. Lampu-kepalanya, yang mengarah lurus ke kedalaman cenote, menampakkan tiang-tiang patah, ukiran jaguar yang menyerupai manusia, dan patung yang mirip dengan manusia batu kecil di Kuil Petarung di Chichén Itzá. Sumur ini jelas merupakan situs suci.
Sekarang, tiga tahun kemudian, de Anda dan Montero tak hanya menemukan hubungan antara matahari zenit dan Holtún, tetapi rupanya juga perannya dalam penentuan lokasi dan arah piramida El Castillo di Chichén Itzá. Pada ekuinoks musim semi, “ular” sinar matahari melata menuruni satu sisi tangga tengah di piramida itu—pemandangan yang disaksikan setiap tahun oleh ribuan wisatawan.
Sebagian berjalan kaki sebentar ke Cenote Suci yang terkenal, yang, pada abad-abad Chichén Itzá merupakan negara-kota besar, menerima banyak manusia dan sesajen berharga lain melalui mulutnya. Pagi tanggal 23 Mei, matahari, K’inich Ajaw, terbit sejajar dengan sudut timur laut piramida.
Lalu terbenam sejajar dengan tangga barat piramida dan sumur Holtún yang unik itu. Untuk mengalibrasi kalender mereka yang tersohor, bangsa Maya harus mengetahui pada hari apa saja dalam setahun ketika matahari bersinar tepat di atas kepala. Montero dan de Anda menduga bahwa di dalam sumur Holtún itu, para astronom Maya menunggu kedatangan kedua hari zenit dalam setahun, ketika tiang sinar matahari menembus air secara vertikal, tanpa memantul pada kubah.
!break!
Bagi bangsa Maya, astronomi merupakan aktivitas suci, demikian pula arsitektur dan perencanaan kota. De Anda dan Montero berpikir, cenote juga mungkin berperan penting dalam menentukan lokasi bangunan. Cenote Suci terletak di sebelah utara El Castillo.
Dua cenote lain terletak di selatan dan tenggara. Cenote Holtún, yang berada tepat di sebelah timur laut piramida, mungkin melengkapi konfigurasi belah ketupat yang digunakan warga Itzá untuk menentukan lokasi pembangunan kota suci dan sudut piramida utamanya. Jika kajian selanjutnya membenarkan semua dugaan ini, koordinat-koordinat terpenting dalam desain keseluruhan Chichén Itzá akan diketahui.
Pada hari ini, matahari menarik berkas sinarnya dan melanjutkan perjalanan. Sementara dalam suasana yang gelap kembali, mereka berdua mengobrol seru tentang pengalaman yang mereka lihat dan maknanya. “¡Un abrazo, hermano!” seru Montero, dan keduanya pun saling mendekat dalam air dan berpelukan.
Di permukaan tanah, regu petani Maya harus mengerahkan tenaga untuk menarik para penjelajah ke atas. Di sekeliling kami terdengar gemerisik ladang jagung yang sudah terlalu lama menunggu hujan, tetapi kepala regu Luis Un Ken adalah seorang optimis yang alami. “Tempo hari turun hujan lebat,” katanya. “Chaak bergerak.”
Bagi orang-orang seperti Un Ken, dewa-dewa lama masih hidup, dan Chaak, penguasa cenote dan gua, termasuk jajaran dewa terpenting. Dia menuangkan air yang disimpannya di dalam tembikar di gua-gua. Chaak berjumlah satu sekaligus banyak: Setiap guntur adalah satu Chaak terpisah yang bertindak, memecahkan kendi dan menurunkan hujan.
Setiap dewa menghuni lapisan realitas terpisah, bersama puluhan dewa yang kadang puas kadang marah, yang tinggal di 13 dunia-lain di atas dan sembilan dunia-lain di bawah. Mereka semua mengisi kehidupan bangsa Maya dengan mimpi baik, mimpi buruk, dan penampakan; kalender rumit untuk masa pertanian dan ritual kesuburan; dan panduan tegas tentang tata cara melakukan segala sesuatu.
Ketiadaan Chaak dapat menimbulkan malapetaka bagi bangsa Maya Yucatán, tragedi yang hanya dapat dipahami saat kita berdiri di tanah keras bak bulan, hamparan batu karst atau batu gamping yang tak bertepi. Hujan merembesi batu karst langsung ke lapisan air tanah, dan akibatnya wilayah itu tidak dialiri sungai atau kali. (Sebenarnya cenote adalah lubang tampung yang memanjang hingga muka air tanah.)
Hutan tropis ini renggang—pepohonan kurus dengan akar keras kepala yang beradaptasi dengan kantong-kantong tanah yang bertebaran di batu karst. Di mana ada lubang tanah yang cukup besar, bangsa Maya akan menanam jagung atau milpa, yaitu tumpang-sari jagung, kacang tanah, dan labu, yang merupakan sumber dasar protein bagi mereka. Selama ribuan tahun, petani milpa menjaga produktivitas ladang-ladang ini dengan membakar sepetak pohon lain setiap tahun, dan menanam di abu yang cocok untuk jagung.
!break!
Soal air untuk ladang…nah, itulah peran Chaak. Jagung hanya mau tumbuh jika ada hujan, yang harus turun dalam pola yang tepat: tidak boleh ada hujan pada musim dingin, agar ladang dan hutan cukup kering sehingga dapat dibakar sebelum bulan Maret; hujan sedang pada awal Mei guna melunakkan tanah untuk bertanam; lalu hujan sangat lembut agar benih yang ditanam dapat bertunas; akhirnya banyak hujan agar batang jagung mencuat ke langit dan menggemukkan biji jagung matang.
Hujan yang tak teratur berarti berkurangnya jatah makanan bagi keluarga.
Pertanyaan arkeologis yang belum terpecahkan adalah, mengapa berbagai negara-kota Maya Yucatán runtuh. Yang ajaib adalah bahwa ada yang mampu bertahan hidup, makan jagung yang ditanam di lingkungan yang begitu kejam.
Namun, mereka berhasil bertahan hidup—bahkan hidup makmur—kadang-kadang memperoleh panen melimpah. Dan, kadang-kadang, menaruh sesajen di dalam cenote pada masa kekeringan berkepanjangan, saat aras air tanah turun hingga enam meter. Dengan jumlah penduduk diperkirakan jutaan jiwa seribu tahun yang lalu, bangsa Maya utara membangun begitu banyak kota—di utara yang kering, selalu di dekat cenote si sumber kehidupan—sehingga orang mulai berpikir: Siapa saja bisa menemukan reruntuhan yang belum tersentuh.
Bahkan, beberapa hari setelah hari zenit Yucatán, saya sedang menyusuri jalan di antara milpa dan hutan beberapa kilometer dari Chichén Itzá bersama arkeolog dan penjelajah gua Donald Slater, saat dia mengangguk ke sebelah kanan kami dan berkata, “Itu dia.” Itu apa? Saya memandang ke sekeliling dan melihat ladang jagung di sebelah kiri dan hutan di sebelah kanan. “Itu,” Slater bersikeras.
Hanya pepohonan kurus, dan setelahnya, pepohonan lagi. Lalu, bagian hutan yang tampak lebih lebat, sekitar 50 meter dari jalan itu ternyata adalah bukit yang terjal. Tentu saja tidak ada bukit terjal di mana pun di sekitar situ. Yang ada adalah piramida. Yang satu ini cukup tinggi, dan sudut barat dayanya berhadapan langsung dengan sebuah gua yang sangat besar.
Bangsa Maya menganggap gua itu mulut, rahang menganga milik dewa Bumi yang rakus, atau salah satu tempat tinggal Chaak. Slater ingin mendokumentasikan klaimnya bahwa gua ini adalah titik pengamatan suci untuk menyambut kedatangan matahari pada hari zenit, dan bahwa piramida ini—yang belum dijelajahi seluruhnya—dibangun atau setidaknya arahnya secara khusus ditentukan berdasarkan gua itu.
Di bibir gua, Slater menunjuk sisa-sisa tangga yang dibentuk berabad-abad sebelumnya, mungkin agar dukun dapat mencapai mulut Bumi yang mengerikan ini. Slater menduga bahwa pendeta matahari melewatkan malam sebelum matahari zenit dengan berpuasa, menari, dan menyanyi diiringi bunyi gendang dan suling tanah liat berbatang dua seperti yang ditemukannya jauh di dalam gua, memuja dewa matahari karena mendatangkan kembali hari zenit, disusul oleh hujan.
Sementara kami berdiri di tempat yang mungkin dulu diinjak pendeta suci, seluruh piramida itu menjulang di hadapan. Kami menunggu. Pada pukul 08.07, bola jingga yang gemuk muncul di balik piramida, lalu menampakkan kecemerlangan yang menyilaukan saat lepas dari puncak piramida, mengisi gua kami dengan cahaya api.
Pada kedua hari zenit berabad-abad silam, matahari tentu menampilkan tarian terbitnya di panggung di sudut barat daya atas di piramida, panggung yang kini tinggal reruntuhan.
!break!
Bagi bangsa Maya yang mempelajari langit, piramida-piramida di Yucatán, beberapa di antaranya disejajarkan dengan matahari terbit dan terbenam pada hari ekuinoks dan zenit, sepertinya merupakan penjaga waktu kosmos. Dan, interaksi antara K’inich Ajaw, matahari, dan air suci Chaak adalah tarian kehidupan yang memungkinkan terciptanya ladang jagung.
Saya juga mencari chaak secara sederhana. Sambil menjelajahi Semenanjung Yucatán, saya mencari ritual dan keyakinan yang dianut bangsa Maya modern, yang mungkin dapat membantu saya memahami hubungan mereka dengan leluhur mereka. Sebagian besar orang Maya modern tinggal dalam masyarakat petani miskin, dan Chaak, yang masih mereka puja, dirayakan setiap musim dalam doa panjang meminta hujan yang disebut Cha Chaak.
Sekitar 130 kilometer di sebelah tenggara Chichén Itzá, mendekati daerah yang kini dikenal dengan nama yang menyesatkan tapi penuh glamor, Maya Riviera, terdapat desa Chunpón. Daerah ini termasuk dalam Zona Maya yang ditetapkan pemerintah, meliputi wilayah yang cukup besar di Semenanjung Yucatán. Saya mengunjungi Chunpón ditemani lelaki bernama Pastor Caamal.
Seperti banyak tetangganya dan Luis Un Ken, dia seorang Cruzoob, atau penganut keyakinan Salib Berbicara, warisan dari pemberontakan abad ke-19 yang disebut Perang Kasta. Sebagai keturunan para pejuang Maya yang melawan pasukan pemerintah, dia masih ikut berjaga siang-malam di garnisun suci bagi salib itu, dua minggu setahun.
“Kaum Cruzoob pada dasarnya adalah bangsa Maya yang berhasil selamat,” kata Caamal kepada saya pada suatu sore musim panas, seraya kami melesat di jalan raya datar di Zona Maya menuju kota kelahirannya. Perkataannya agak berlebihan: Perang Kasta merupakan peristiwa lokal, sedangkan ada sekitar lima juta orang Maya yang tinggal di wilayah yang meliputi sepertiga bawah Meksiko, juga sebagian besar Belize dan Guatemala, Honduras barat, dan El Salvador barat.
Saya bertanya kepada Caamal cara menjembatani perbedaan antara dewa-dewa Maya lama dan Yesus Kristus—orang Maya sering memanjatkan doa kepadanya. “Kami penganut politeisme,” jawab Caamal. Benar-benar hampir tidak terasa suasana Katolik di zona itu; alih-alih, ada hmem—dukun, tabib, dan tukang sihir yang menjadi perantara dewa-dewa dan para pemujanya yang membutuhkan.
Untuk menjawab pertanyaan saya tentang di mana saya bisa menyaksikan ritual hujan Cha Chaak,
Caamal berkata hmem-nya sendiri barangkali tahu kalau ada Cha Chaak yang akan diadakan di suatu tempat, meskipun sekarang sudah hampir akhir musim. Dalam panas terik siang hari, kami singgah sebentar di Chunpón di kompleks keluarga Caamal.
Di gubuk dapur yang berbentuk lonjong, terdapat sederet tempat tidur gantung, masing-masing berisi kerabat Caamal yang berbaring dan berayun perlahan sambil mengobrol. Ibu Caamal yang mungil dan galak melotot kepada saya, seorang tamu “Spanyol,” atau non-Maya, tetapi dia membuat tortila, menyajikannya bersama daging dan cabai.
Beberapa lama kemudian dia bertanya kepada putranya dengan tajam, kapan saya akan turun dari tempat tidurnya dan pergi, tetapi sekarang ini peraturan penyambutan tamu mewajibkannya menyuguhkan makanan.
!break!
Setelah kembali di perjalanan, kami melihat pepohonan ramping yang mencuat dari permukaan batu karst yang keras dan putih bak tulang. Kami berhenti di desa Chun-Yah, yang, seperti banyak desa di Zona Maya, tidak memiliki sarana komunikasi telepon kabel ataupun seluler dengan dunia luar, dan hanya ada sekolah primitif. Di kompleks gubuknya sendiri yang lonjong, berdebu, dan beratap rumbia, mentor dan hmem Caamal, yaitu Mariano Pacheco Caamal, menyapa saya dengan senyum lebar.
Don Mariano berkata bahwa dia dapat menggunakan 40 jenis tumbuhan untuk mengobati penyakit dan menyembuhkan patah tulang dan gigitan ular. Pada suatu masa yang sangat rapuh bagi Pastor, Don Mariano membangun cincin pelindung dari api tak kasatmata di sekeliling temannya. Dalam mimpi dia belajar apa yang perlu ditanyakan kepada setiap dewa dan pada hari apa. Dia tahu tempat mencari gua suci.
Don Mariano mengenakan celana pendek dan sandal jepit, tampaknya harta bendanya sangat sedikit untuk lelaki dengan usia dan kedudukannya. Dia hanya bisa berbahasa Spanyol dasar, dan karena saya tidak bisa berbahasa Maya, Pastor harus menerjemahkan pertanyaan saya dalam berbagai cara untuk menyampaikan maknanya.
Saya bertanya kepada Don Mariano, bagaimana dia tahu bahwa dia orang Maya. Hmem yang santun itu mengerjap-ngerjap di balik kacamatanya yang tebal. “Karena kami miskin,” katanya. Saya bertanya lagi. “Dari makanan kami, warna kulit kami, tinggi badan kami,” demikian jawabannya, lalu dia terpikir jawaban yang lebih tepat.
“Karena di sini tidak ada pabrik, mesin, asap. Malam kami terasa damai, tenang. Pagi hari saya berkata, Hari ini saya akan melakukan ini atau itu. Pekerjaan kami adalah milik kami sendiri. Kalau bekerja untuk orang luar, mereka berkata, Beri saya waktumu. Tapi orang Maya berkuasa atas diri sendiri.”
Apakah dia tahu tentang Cha Chaak yang akan diselenggarakan? Sayangnya, Don Mariano hanya dapat menyatakan bahwa saya memang terlambat. Di Chun-Yah, sama seperti di tempat lain, waktu untuk tanam dan doa hujan sudah berlalu. Lalu dengan ramah dia menjelaskan cara pengaturan sesajen Cha Chaak di daerah kecilnya dalam jagat Maya. Altar segi empat, atau meja sesajen, dengan lebar tak sampai satu meter dan terbuat dari anak pohon dan beberapa papan, melambangkan dunia.
Aneka makanan untuk Chaak diletakkan dalam urutan tertentu, beserta cangkir setengah labu yang berisi minuman fermentasi suci, balché, yang terbuat dari kulit pohon, dan labu yang berisi air suci yang diambil dari gua atau cenote tersembunyi. Sesajen makanan khusus ini terdiri atas 13 buah “roti”, yaitu tortila tebal yang terbuat dari 13 lapisan masa, atau adonan jagung, yang mewakili 13 lapisan dunia-lain di atas.
Roti itu dibungkus daun bakaalché, pohon anggur setempat, dan dipanggang dalam lubang sebesar peti mati, atau pib, yang digali di dekat altar. Salib diletakkan di bagian tengah belakang meja untuk mengawasi semuanya.
Saya bercerita bahwa saya pernah mendengar tentang sapito, anak lelaki yang berjongkok di kaki meja altar dan memohon kedatangan Chaak dengan meniru bunyi kodok pada musim hujan. Pastor dan hmem saling memandang dan kemudian tersenyum.
“Anda mendengar tentang itu [di dekat Chichén Itzá], bukan?” kata Pastor. Dia meniru anak kecil yang meniru kodok: “Mereka berbunyi lek lek lek.” Dia tersenyum lagi. “Muy bonita costumbre. Adat yang sangat cantik.” Dia menyeringai. “Di sini tidak ada adat seperti itu.”
!break!
Di Yaxuná, kota kecil di tengah semenanjung yang mengadakan upacara akhir musim untuk Chaak yang lamban, adat seperti itu jelas ada. Yaxuná terletak sekitar 20 kilometer di selatan Chichén Itzá. Di bagian Yucatán ini, orang masih bergantung pada milpa, sehingga mereka menyembah Chaak dengan harap-harap cemas.
Upacara di Yaxuná sudah hampir selesai ketika saya tiba. Sudah hampir dua hari warga desa yang haus hujan dan hmem mereka bekerja keras tanpa istirahat atau tidur, untuk membujuk Chaak agar mendatangi mereka. Mereka berjalan jauh menembus hutan ke gua rahasia, dan turun ke tengah gua dengan sistem tali yang menyeramkan untuk mengambil air yang diperlukan upacara itu.
Mereka mendirikan altar, menggali pib, mengeluarkan biaya besar untuk menyediakan 13 ayam betina gemuk untuk sesajen, menjaga altar itu semalaman sambil berdoa dan minum balché, menepuk tumpukan roti 13 lapis dari jagung dan biji labu yang tak boleh tersentuh perempuan, memasaknya di dalam pib, lalu mengeluarkannya lagi dari api unggun, membiarkan lubang itu terbuka supaya uapnya dapat membubung langsung kepada si dewa hujan sebagai sesajen.
Dan kini sang hmem, Hipólito Puuc Tamay, lelaki yang berkulit tebal keriput, bergerak lambat, dan mengenakan topi pet dan baju lusuh, berdiri di depan altar, berdoa kepada Chaak, kepada Yesus Kristus, kepada semua santo, kepada San Juan Bautista, kepada kekuatan bumi dan langit, dan kepada Chaak lagi, agar mau menurunkan karunia hujan yang suci kepada mereka dan kepada semua masyarakat Maya di sekitar, agar mereka dapat bertahan hidup selama satu daur matahari lagi.
Atas perintah hmem, seorang warga desa berjongkok di atas batu di belakang dan sisi altar, tidak bergerak, hanya sesekali meniup ke dalam labu tempat Chaak menyimpan angin. Dia hanya seorang warga, tetapi dia juga dewa hujan, dan dia duduk dengan mata terpejam agar tidak merusak upacara dengan tatapannya yang angker. Dua peserta lain membawanya ke altar, menghadap ke belakang, untuk menerima pemberkatan hmem yang menetralkan.
Dan ada juga kodok-kodok kecil, lima anak lelaki yang agak malu-malu, berjongkok di kaki altar dunia, satu anak di setiap sudut dan satu di tengah, keempatnya berbunyi, hmaa, hmaa, hmaa, dan yang kelima, lek lek lek lek lek, perpaduan suara yang sangat mirip bunyi kodok selagi hujan malam.
Tahu-tahu saja angin bertiup di lapangan itu. Guruh menggemuruh di kejauhan biru.
Sementara sesajen ayam dan roti jagung-dan-biji dibagikan kepada para lelaki yang kelelahan, hujan mulai turun—gerimis musim panas yang menyegarkan. Pertanda, kata sang hmem, bahwa Chaak menerima sesajennya dan berkenan atas doa pengikutnya. Mungkin tak lama lagi bumi akan siap ditanami.
—
Alma Guillermoprieto memenangi penghargaan Overseas Press Club untuk tulisannya pada edisi Mei 2010 tentang santo-santo baru Meksiko. Paul Nicklen menjalani pelatihan selam-gua secara ekstensif untuk artikel ini. Shaul Schwarz melacak budaya Maya di Semenanjung Yucatán di atas air.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR