Soal air untuk ladang…nah, itulah peran Chaak. Jagung hanya mau tumbuh jika ada hujan, yang harus turun dalam pola yang tepat: tidak boleh ada hujan pada musim dingin, agar ladang dan hutan cukup kering sehingga dapat dibakar sebelum bulan Maret; hujan sedang pada awal Mei guna melunakkan tanah untuk bertanam; lalu hujan sangat lembut agar benih yang ditanam dapat bertunas; akhirnya banyak hujan agar batang jagung mencuat ke langit dan menggemukkan biji jagung matang.
Hujan yang tak teratur berarti berkurangnya jatah makanan bagi keluarga.
Pertanyaan arkeologis yang belum terpecahkan adalah, mengapa berbagai negara-kota Maya Yucatán runtuh. Yang ajaib adalah bahwa ada yang mampu bertahan hidup, makan jagung yang ditanam di lingkungan yang begitu kejam.
Namun, mereka berhasil bertahan hidup—bahkan hidup makmur—kadang-kadang memperoleh panen melimpah. Dan, kadang-kadang, menaruh sesajen di dalam cenote pada masa kekeringan berkepanjangan, saat aras air tanah turun hingga enam meter. Dengan jumlah penduduk diperkirakan jutaan jiwa seribu tahun yang lalu, bangsa Maya utara membangun begitu banyak kota—di utara yang kering, selalu di dekat cenote si sumber kehidupan—sehingga orang mulai berpikir: Siapa saja bisa menemukan reruntuhan yang belum tersentuh.
Bahkan, beberapa hari setelah hari zenit Yucatán, saya sedang menyusuri jalan di antara milpa dan hutan beberapa kilometer dari Chichén Itzá bersama arkeolog dan penjelajah gua Donald Slater, saat dia mengangguk ke sebelah kanan kami dan berkata, “Itu dia.” Itu apa? Saya memandang ke sekeliling dan melihat ladang jagung di sebelah kiri dan hutan di sebelah kanan. “Itu,” Slater bersikeras.
Hanya pepohonan kurus, dan setelahnya, pepohonan lagi. Lalu, bagian hutan yang tampak lebih lebat, sekitar 50 meter dari jalan itu ternyata adalah bukit yang terjal. Tentu saja tidak ada bukit terjal di mana pun di sekitar situ. Yang ada adalah piramida. Yang satu ini cukup tinggi, dan sudut barat dayanya berhadapan langsung dengan sebuah gua yang sangat besar.
Bangsa Maya menganggap gua itu mulut, rahang menganga milik dewa Bumi yang rakus, atau salah satu tempat tinggal Chaak. Slater ingin mendokumentasikan klaimnya bahwa gua ini adalah titik pengamatan suci untuk menyambut kedatangan matahari pada hari zenit, dan bahwa piramida ini—yang belum dijelajahi seluruhnya—dibangun atau setidaknya arahnya secara khusus ditentukan berdasarkan gua itu.
Di bibir gua, Slater menunjuk sisa-sisa tangga yang dibentuk berabad-abad sebelumnya, mungkin agar dukun dapat mencapai mulut Bumi yang mengerikan ini. Slater menduga bahwa pendeta matahari melewatkan malam sebelum matahari zenit dengan berpuasa, menari, dan menyanyi diiringi bunyi gendang dan suling tanah liat berbatang dua seperti yang ditemukannya jauh di dalam gua, memuja dewa matahari karena mendatangkan kembali hari zenit, disusul oleh hujan.
Sementara kami berdiri di tempat yang mungkin dulu diinjak pendeta suci, seluruh piramida itu menjulang di hadapan. Kami menunggu. Pada pukul 08.07, bola jingga yang gemuk muncul di balik piramida, lalu menampakkan kecemerlangan yang menyilaukan saat lepas dari puncak piramida, mengisi gua kami dengan cahaya api.
Pada kedua hari zenit berabad-abad silam, matahari tentu menampilkan tarian terbitnya di panggung di sudut barat daya atas di piramida, panggung yang kini tinggal reruntuhan.
!break!
Bagi bangsa Maya yang mempelajari langit, piramida-piramida di Yucatán, beberapa di antaranya disejajarkan dengan matahari terbit dan terbenam pada hari ekuinoks dan zenit, sepertinya merupakan penjaga waktu kosmos. Dan, interaksi antara K’inich Ajaw, matahari, dan air suci Chaak adalah tarian kehidupan yang memungkinkan terciptanya ladang jagung.
Saya juga mencari chaak secara sederhana. Sambil menjelajahi Semenanjung Yucatán, saya mencari ritual dan keyakinan yang dianut bangsa Maya modern, yang mungkin dapat membantu saya memahami hubungan mereka dengan leluhur mereka. Sebagian besar orang Maya modern tinggal dalam masyarakat petani miskin, dan Chaak, yang masih mereka puja, dirayakan setiap musim dalam doa panjang meminta hujan yang disebut Cha Chaak.
Sekitar 130 kilometer di sebelah tenggara Chichén Itzá, mendekati daerah yang kini dikenal dengan nama yang menyesatkan tapi penuh glamor, Maya Riviera, terdapat desa Chunpón. Daerah ini termasuk dalam Zona Maya yang ditetapkan pemerintah, meliputi wilayah yang cukup besar di Semenanjung Yucatán. Saya mengunjungi Chunpón ditemani lelaki bernama Pastor Caamal.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR