Taman wisata itu sudah lengang. Dari pengeras suara tak lagi terdengar orang berdendang. Sebagian pengunjungnya sudah pulang. Saya menemani Akbar (12 tahun) dan Via sang bunda, menapaki jalan menuju pintu gerbang.
Dua keluarga tampak terkejut saat kami mendekat. Seorang anak perempuan berusia sekitar delapan tahun dan kedua orang tuanya menatap kami lekat-lekat, lalu beranjak tergesa-gesa. Ada hal lain yang membuat saya tercekat, seorang ibu muda segera menarik anak lelakinya yang berusia sekitar tiga tahun, agar berlindung di balik tubuhnya.
Akbar baru kembali dari terapi yang dibantu oleh lumba-lumba, yang ia jalani setiap Sabtu. Ia layaknya remaja seumurannya. Wajahnya rupawan, kulitnya putih bersih, tubuhnya menjulang. Namun, kata yang selalu meluncur dari mulutnya dengan lantang bernada naik turun berulang-ulang tampaknya membuat cemas dua keluarga tadi.
Akbar dinyatakan menyandang gangguan spektrum autisme, yang juga dikenal dengan istilah Autism Spectrum Disorder (ASD), sejak berusia dua tahun. Hingga usianya yang kedua belas di warsa ini, ia belum lancar merangkai kata menjadi kalimat.
Di lain waktu, saya menghabiskan waktu bersama Eleanor, ibu dari Jayden (empat tahun). Ia menyadari, sejak usia dua tahun anaknya gemar menyendiri saat berkumpul dengan para sepupu. Eleanor bercerita, beberapa kali saat ia membawa Jayden ke sebuah pusat perbelanjaan, tiba-tiba saja bocah itu menjerit-jerit tanpa sebab.
Hal yang kerap membuat Eleanor kesal adalah para pengunjung yang berhenti dan selalu menatap mereka dengan aneh. Tak pernah satu pun dari mereka menunjukkan kepedulian. Ika, ibu dari Faraz, individu autistik berusia sembilan tahun, sering sengaja membawa anaknya berpergian dengan kendaraan umum.
“Saya tak malu punya anak autis,” tegasnya. Namun, ada saja orang yang tidak mau mengerti dan menganggap Faraz mengganggu. Hal inilah yang membuat hatinya hancur.
pada suatu pagi yang cerah di akhir pekan, saya duduk di dalam sebuah ruang kecil di kampus London School of Public Relations, Jakarta. Di sekeliling saya terdapat lima belas ibu dan seorang ayah yang memiliki anak penyandang ASD. Mereka tergabung dalam diskusi yang bernaung di bawah London School Center for Autism Awareness.
Di sanalah saya merasakan, betapa sulit dan beratnya para orang tua ini berhadapan dengan masyarakat yang belum menerima anak-anak mereka. Bahkan, mereka juga sulit menghadapi keluarga besar. Hal yang membuat saya sedih adalah kasus perlakuan semena-mena yang diterima oleh anak-anak berkebutuhan khusus (ABK—yang juga termasuk kaum tuna), oleh kawan-kawan satu sekolahnya.
Ages Soerjana, seorang orthopedagog atau ahli dalam bidang pendidikan untuk ABK yang memimpin diskusi tersebut, menguatkan para orang tua agar berani menghadapi masyarakat.
!break!
Saya berdiri merapat di dinding. Berusaha tak terlihat di kelas yang hanya memiliki empat murid ini (Andika, Nia, Vanessa, dan seorang lagi yang namanya tak boleh disebut terkait izin orang tua). Mereka adalah murid-murid kelas empat sekolah dasar Talitakum, Sekolah Luar Biasa C dan Autisma di Kebon Jeruk, Jakarta.
Di balik pintu, terdapat dua foto. Wajah Andika dan Nia terpampang di sana. Ade Hendra, guru yang menangani kelas itu, bertanya kepada Andika, “Yang mana Andika? Yang mana teman kamu Nia?” demikian berulang-ulang. “Mereka sudah kelas empat, tetapi sampai sekarang tidak bisa mengenali teman sekelas mereka sendiri.”
Untuk itulah ia melatih mereka, sebelum meninggalkan kelas dan pulang ke rumah masing-masing.
Sebelumnya, saat Andika maju ke papan tulis untuk memasangkan gambar, Vanessa sibuk menggoyangkan mejanya, sementara kawannya menelungkupkan kepala di atas meja. Alat bantu visual digunakan untuk memahami pelajaran yang kurikulumnya sama dengan sekolah reguler,
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR