Di ujung pasar itu, saya memasuki gerbang halaman Boen Tek Bio untuk menemui Tjin Eng kembali. Dia dilahirkan di pecinan ini, namun dia mengakui baru sekitar 35 tahun mengenal kehidupan beragama. Sebelumnya, sikapnya apatis terhadap agama. "Orang Tionghoa bukan disatukan oleh agama, namun oleh budaya," demikian ungkapnya. "Kamu beragama apa pun silakan. Namun, sebagai orang Tionghoa kamu harus pertahankan budaya itu."
!break!
Ketika saya bertanya soal penggunaan sebutan Cina dan Tionghoa, dia menjawab dengan tegas, "Saya lebih menyukai sebutan Tionghoa." Meskipun demikian, dia tidak menolak sebutan Cina dalam konteks tertentu.
Penggunaan kata Tionghoa untuk orang-orang Cina di Hindia Belanda diperkenalkan pertama kali oleh perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang didirikan di Batavia pada 1900. Kata"Tionghoa" sejatinya berasal dari dialek Hokkian untuk kata "Chung Hwa" yang mengacu ke bangsa Tiongkok. Kini, menjadi alternatif sebutan untuk warga Cina di Indonesia. Perkumpulan THHK bertujuan mengembangkan ajaran Konghucu dan ilmu pengetahuan. Inilah dasar semangat Tjin Eng dalam melestarikan tradisi Cina Benteng.
"Secara historis, pada zaman dahulu penggunaan istilah Cina itu tidak ada masalah," kata Tjin Eng. "Di zaman Soeharto konotasinya merendahkan." Saat itu, menurutnya, terjadi pengekangan ekspresi budaya Cina, dan sederet perlakuan diskriminatif lainnya. Lalu dia memberikan ungkapan yang kerap meluncur setiap kali mengenang kekelaman Orde Baru. "Pada zaman Soeharto, orang Tionghoa hanya punya tiga shio: Sapi, Kambing, Kelinci," ungkapnya. Dia melanjutkan, "Sapi perahan, kambing hitam, dan kelinci percobaan!"
Namun, sejak Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1999-2001), warga Cina boleh mengekspresikan kesenian, budaya, dan agama mereka. Tiba-tiba Tjin Eng mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. Dengan bangga dia memamerkan kepada saya sebuah Kartu Tanda Penduduk yang menunjuk identitas agamanya: Konghucu. "Dulu agama di KTP saya hanya simbol \'kurung-strip-kurung.\'\'\' Sambil terkekeh dia berujar, "Sekarang, siapa takut?"
Menurutnya, orang cenderung berhubungan dengan sesama suku. "Itu tidak akan hilang sama sekali, namun pendidikan akan mengurangi sifat primordialisme tadi," ujarnya. Lalu, Tjin Eng mengutip pepatah konfusius yang dirindukan negeri ini, "Ada pendidikan tiada perbedaan."
Pecinan itu memberi teladan dalam memandang perbedaan. Klenteng Boen Tek Bio telah bersanding bersama Masjid Jami Kalipasir, menurut tradisi lisan sejak awal abad ke-18. Seorang warga muslim yang tinggal di pecinan itu berkisah kepada saya, klenteng selalu menyumbang beberapa karung beras ke masjid jelang Idul Fitri. Sementara, pemuda masjid dengan sukarela membantu keamanan dalam kemeriahan Cap Go Meh.
Pertengahan tahun lalu, Agni Malagina, ahli sinologi dari Universitas Indonesia, dan para mahasiswanya menyelisik denyut pecinan Tangerang. Pendiri pecinan itu, menurutnya, telah memperhitungkan secara saksama lokasi yang kelak menjadi permukiman lestari bagi kehidupan mereka dan penerusnya .
"Sungai itu ibarat urat naga," ungkap Agni, "Semakin banyak urat naga, semakin baik untuk permukiman." Naga, dalam mitologi Cina, memang kerap dihubungkan dengan simbol kemakmuran atau kejayaan. Soal simbol naga yang dikaitkan dengan arti pentingnya sungai, Agni mengatakan, "Wilayah sungai itu subur dan akses untuk perdagangan mudah."
Terdapat tiga klenteng di sepanjang aliran Cisadane, yang menurut tradisi telah ada sejak akhir abad ke-17. Selain karena meningkatnya pemukim, apakah ada alasan lain di balik pembangunan dua klenteng tambahan itu?
Beberapa aspek yang kerap menjadi perhatian dalam fengsui adalah gunung dan laut. "Gunung adalah sumber air yang mengalirkan sungai-sungai," kata Agni. "Laut adalah berkah karena kumpulan urat-urat naga." Lantaran Pasar Lama jauh dari sosok gunung dan laut, dibuatlah sosok imaji gunung dan sosok imaji laut. "Boen San Bio melambangkan gunung, Boen Hay Bio melambangkan laut," ujarnya. "Nah, [di tengah-tengah] Boen Tek Bio adalah naganya."
"Kalau daerah itu ideal dan sesuai dengan kaidah fengsui, berarti aman untuk ditinggali." Para pendiri sangat sadar, klenteng harus berada di tempat ideal. "Klenteng menyatukan banyak komunitas," kata Agni. "Dan, stabilitas daerah itu ada di klenteng."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR