Tubuh ular yang menjalar di antara serasah kering itu terdengar bergerisik. Ia menyelinap cepat, turun ke sungai kecil. Bulu roma saya meremang. Kawasan hutan rakyat ini tumbuh di permukiman, pekarangan, dan tegal. Semuanya tercakup dalam radius lima hektare dari Sumber Air Ngetuk di Semoyo, Pathuk, Gunung Kidul. Kawasan itu menjadi zona inti yang melindungi mata air. Di zona ini, Suratimin bersama komunitasnya, Sarikat Petani Pembaharu, menanam tanaman buah-buahan: sirsak, manggis, avokad, dan durian. Sarikat juga melestarikan tanah dan air antara lain dengan sumur resapan, serta menahan tanah agar tak lari ke lembah bukit.
Hutan rakyat yang menghijau melindungi tanah dari tamparan langsung air hujan. Sejak 2007, Semoyo menabalkan diri sebagai desa kawasan konservasi yang digagas Suratimin bersama Sarikat. Bermula dari kesadaran konservasi itu, hutan rakyat mulai tumbuh. Kini, Sarikat turut bergabung dengan Koperasi Wana Manunggal Gunung Kidul, dan 40 hektare hutan rakyat lulus sertifikasi legalitas kayu pada 2012.
Suratimin menegaskan, kelestarian hutan rakyat mesti bermuara pada kesejahteraan masyarakat. “Karena itu, di zona inti ditanami tumbuhan buah-buahan. Nanti kalau besar tidak ditebang kayunya, tapi diambil buahnya.”
Itu baru salah satu solusi agar masyarakat tidak melakukan tebang butuh. Dia meyakini penyadaran dan pengetahuan masyarakat penting dalam menyeimbangkan upaya konservasi dan ekonomi masyarakat. “Kesadaran masyarakat Gunung Kidul dalam menanam sudah tinggi, namun mengelola hutan secara lestari harus melalui penyadaran,” lanjut bapak dua anak ini.
Di teras rumahnya, dia menyodorkan konsep untuk memudahkan petani hutan rakyat: Forest Bank Indonesia. “Masih merintis. Ini semacam bank kredit untuk memudahkan pemilik hutan rakyat di Semoyo, agar tak menebang pohon yang belum siap ditebang dengan jaminan,” tuturnya dengan mata berbinar.
Di belakang rumahnya terdapat bengkel kayu yang menggarap pesanan kusen, lemari, meja, dengan bahan kayu dari hutan rakyat. Untuk meningkatkan nilai tambah, kayu hutan rakyat mesti diolah, katanya, “jangan dijual gelondongan, yang untung pedagang kayu.”
Saya teringat pada Sugeng Suyanto yang telah membuka unit penggergajian dan ruang pamer produk kayu Koperasi Wana Manunggal Lestari di Dengok. Koperasi kini memasuki bisnis kayu olahan, seperti mebel, kusen, pintu, jendela. “Dari sisi bahan baku, kayu bulat dari hutan rakyat anggota koperasi telah dijamin keabsahannya. Ini berbeda dengan kayu-kayu lainnya,” ujar Sugeng Suyanto.
!break!
Dua tahun silam, saya merasakan getaran gairah mengelola hutan yang tumbuh di tanah sendiri untuk kemaslahatan bersama yang telah menjadi kesadaran kolektif. Saat siang yang panas, di atas tanah berkapur di Plantungan, Blora, Jawa Tengah, saya meriung bersama sejumlah pengurus Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) Jati Mustika. Mereka mengenang masa lalunya yang suram.
Sebelum era reformasi, birokrasi tata usaha kayu di Blora memang panjang, lantaran 48 persen wilayah hutannya dikelola badan usaha milik pemerintah PT Perhutani. Untuk membedakan kayu jati dari hutan negara dengan hutan rakyat, dibuatlah peraturan ketat.
“Waktu itu, kami hanya dapat lima puluh persen dari hasil penjualan kayu jati rakyat,” kenang Suryono, wakil ketua Gapoktanhut. Sisanya, untuk membiayai izin, dan semua inspeksi pejabat ke lokasi tebang.
Kini, di Plantungan, saya menyaksikan rimbunnya hutan rakyat, bahkan berdampingan dengan hutan negara yang jarang dan merana.
Seiring makin jelasnya peran daerah dalam pengelolaan hutan, sejak tahun 2000, pemerintah daerah Blora mempermudah tata usaha kayu rakyat. Jati Mustika yang telah memiliki sertifikat legalitas kayu, kini secara mandiri bisa menerbitkan surat keterangan asal-usul kayu untuk anggotanya.
“Sekarang izin dan peredaran kayu rakyat lebih mudah. Kita akan mengatur tebang butuh, penjualan kayu dan menanam setelah tebangan,” terang Soewadji, Ketua Jati Mustika, “agar punya posisi tawar yang lebih baik.” Masa sulit untuk menikmati kayu dari tanah sendiri kini menjadi kenangan generasi tuanya. Menuturkan masa lalu yang muram dalam derai canda dan tawa, mengisyaratkan gairah menatap masa depan. Saya turut larut.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR