Tuti berkisah kembali di ruang kerjanya. Nada bicaranya tinggi. Amat tinggi. “Besok gini ya, mas. Anda kan perencana. Besok gandeng arkeolog. Jadi tidak semena-mena!” ujarnya menirukan gaya bicaranya saat menghadapi sekelompok orang dengan seperangkat alat teodolit mereka, bersiap untuk membangun resor di dekat kompleks percandian Ratu Boko, yang juga terletak di perbukitan, menghadap lembah dengan pemandangan nan memukau.
“Ya kami marah. Itu tanah kami. Kami belum kasih kawat berduri karena permasalahan dana dan pembelian tanah. Tapi itu zona kami!” ungkapnya dengan amat tegas, mewakili pemerintah. “Lah, ini zona satu. Tidak tertulis memang di situ tapi semua ada undang-undangnya,” lanjutnya.
Ia semakin emosi saat si pengembang bertanya tentang manfaat candi. “Ini Keraton Ratu Boko lho! Arealnya memang luas. Tiap jengkal tanah itu pasti ada (peninggalan),” ungkapnya, masih berapi-api. Dia akhir perbincangan ia tertawa getir sambil berkata, “Apa manfaat candi? Orang ini terbuat dari apa, tho?”
Guna melindungi candi, ada peraturan sistem zonasi yang tertera jelas dalam Undang-Undang RI nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. “Jika dalam penggalian ada temuan yang signifikan, tanahnya langsung kami beli, atau akan kami sewa sebelum dibeli,” ujar Muhammad Taufik, Kepala kelompok Kerja Penyelamatan, Pengamanan, dan Zonasi BPCB DIY.
Ia menjelaskan, ada tiga zona mengiringi sebuah cagar budaya, yang jaraknya akan ditentukan seusai studi. Hal yang pertama adalah zona inti, yang jaraknya bisa mencapai pagar terluar candi, misalnya. Selanjutnya zona penyangga—hanya bangunan yang terkait pemanfaatan candi seperti pos keamanan yang boleh didirikan di sini, dan zona pengembangan. Salah satu peraturan yang ada di zona ini adalah, “tidak boleh ada bangunan yang lebih tinggi daripada benda cagar budaya,” papar Taufik.
Tuti menjelaskan bahwa lahan terkait zonasi adalah permasalahan panjang yang harus mereka hadapi. Belum lagi godaan para pengembang yang mampu menawarkan uang berjumlah besar kepada pemilik lahan. Janji pemilik pada pihak BPCB DIY bahwa tanah yang menyimpan harta nenek moyang tak akan dijual atau disewakan kepada pihak lain, bisa lenyap begitu saja. Hal ini juga bisa menaikkan harga tanah di sekitar mereka berkali-kali lipat, membuat pihak pemerintah sulit untuk mendapatnya kembali untuk mengungkap kekayaan masa lalu yang tak ternilai harganya.
!break!
Mahakarya yang kini mulai terkuak secara perlahan tapi pasti, juga ada di kaki timur Gunung Sindoro. Jarum pendek di arloji saya berada di antara angka enam dan tujuh saat itu. Di bibir tebing yang berketinggian sekitar empat meter, para penambang pasir sudah ramai bergiat. Tangan mereka memegang linggis, mencacah ujung pasir bagian atas. Truk pasir berbadan warna warni—merah, kuning, ungu—berseliweran di bawah mereka.
Gunung Sindoro berdiri dengan megahnya di hadapan saya. Awalnya, tampak tak ada yang spesial dari situs Liyangan ini. Hanya ada sebuah pelataran dengan yoni di kejauhan. Penasaran, saya berjongkok saat kaki menyentuh bebatuan lonjong sebesar dua jejeran sepatu. Tersebar dan tersusun rapi ke arah gunung. Saat kembali berdiri dan melangkah mengikutinya, tiba-tiba sekujur tubuh saya merinding.
Di depan saya menghampar sebuah jalan terpagari dinding batu yang kekuningan disepuh cahaya pagi. Dua mobil cukup untuk saling berlalu di sini. Saya tersihir bagai terbawa ke masa lalu. Mungkin, dulu jalan ini ramai oleh penduduk desa yang berlalu-lalang. Ada yang hendak menuju pasar, ke pelataran doa, menuju sumber air yang dasarnya selalu bergolak. Jalan sebesar ini mungkin menghubungkan ujung kaki Gunung Sindoro dengan desa yang kini dihuni oleh penduduk masa kini. Sebuah temuan jalan yang membuat para arkeolog berdecak kagum.
Budiyono meletakkan bongkahan berwarna hitam di atas meja kayu di bangunan informasi. Kaus putihnya segera tersembunyi di balik baju kemeja hitam setelah ia membuka pintu dan jendela bilik informasi. Di dadanya tertera tulisan di atas secarik kain berbordir: Jupel (Juru Pelihara) PCB Jateng, Situs Liyangan. “Beras yang terbakar ini ditemukan di dalam guci,” ungkapnya sambil kembali menyimpan bukti bersejarah itu. Penemuan serupa sudah dibawa ke BPCB Jawa Tengah untuk diteliti.
Pria paruh baya ini mengantarkan saya naik ke ladang-ladang di atas gunung. Di tanah yang ia miliki, terdapat yoni yang kakinya ditenggelamkan oleh tanah. Ia mengaku menguburkan yoni lainnya di suatu tempat. “Biar tidak hilang,” ia beralasan. “Saya ingat sejak kecil sering menduduki yoni di ladang-ladang,” ungkapnya. Ia baru tahu apa nilai sejarahnya, sejak beberapa tahun silam.
Ia adalah salah satu penggiat tim relawan yang terdiri dari belasan orang, yang mengamankan benda-benda peninggalan yang ditemui di situs. Kini, ia sadar betul apa arti peninggalan yang berserakan di tanah kelahirannya, sekecil apa pun itu. Ia menceritakan soal karma yang datang dan pergi menghantui penduduk, karena menjual dan mengembalikan barang-barang yang mereka temui saat menggali pasir.
Sebagian peninggalan itu diletakkan di sebuah rumah di Dusun Liyangan. Untuk melihat peninggalan itu, kami harus berpanjang lebar menjelaskan siapa kami kepada Ari, salah seorang staf dari BCPB Jateng yang beraut muka tegas. Ia mengoperasikan ekskavator siang itu, membuang sisa tanah di dekat situs. Setelah memastikan bahwa kami sudah mendapatkan izin dari tempatnya bekerja, barulah ia bersedia menemani kami melihat peninggalan yang tersimpan rapi di balik kaca terkunci.
Kekhawatiran Ari, juga Budiyono, bukanlah tanpa alasan. Lingga yang terdapat di atas yoni yang kini terletak di atas salah satu dari tiga pelataran, hilang dalam hitungan hari setelah ditemukan. Hal yang membuat kedua orang itu—terutama Ari— sangat geram, dan mewaspadai setiap orang yang datang. Kini, petugas pengamanan berganti-ganti mengawasi aktivitas para penambang, juga pengunjung.
!break!
Senja telah tiba. Saya berdiri di sebuah area di bukit nan tinggi, bernama Sumberwatu. Di utara, terhampar lanskap Yogyakarta yang disaput sinar senja. Candi Prambanan dan Candi Sojiwan dengan sosoknya yang kelam, muncul dari keriuhan permukiman kota.
“Dulu di sini kandang sapi,” kenang Dwi Oblo, sang fotografer yang juga lulusan bidang studi arkeologi, sambil menunjuk ke suatu arah. Ia akrab dengan daerah ini, tempat kegemarannya mengabadikan kedua candi tersebut dari ketinggian. Sebelumnya ia tak pernah tahu, bahwa di bawah tanah tempatnya memotret, terpendam bebatuan sebuah stupa, yang kini berdiri tegak di samping kami.
Namun tim BPCB DIY tahu. Mereka sengaja membiarkan situs itu tak tersentuh untuk sementara karena lahan itu merupakan tanah kas desa, yang dalam Permendagri tahun 2007, adalah tanah yang tak boleh dilepas hak kepemilikannya kepada pihak lain, kecuali untuk kepentingan umum.
Kini di area yang diapit jalan membentuk huruf U itu, suara lenguhan sapi telah digantikan oleh riuhnya pembangunan. Enam meter dari stupa, tanah dibiarkan begitu saja. Tetapi di belakang saya, sekitar 11 meter jaraknya, dibangun undakan yang rencananya akan dijadikan tempat duduk pengunjung. Mereka akan menonton pertunjukan yang nantinya akan dipentaskan di depan mereka, menurut keterangan salah seorang pekerja di sana.
Sebuah rumah santap telah berdiri tak jauh dari bangunan kuno itu. Sekitar 15 meter di sisi barat, menjulang dinding-dinding bangunan penginapan berlantai dua yang sedang dikerjakan, siap dibuka akhir tahun ini.
Tuti pernah berkata, “Menurut saya, saat ini persoalan cagar budaya lebih cenderung pada urusan perut.” Sementara itu, para ahli konservasi sendiri berlomba dengan para pengembang. Kini, semua akan kembali kepada penduduk yang hidup di atas peninggalan simbah mereka, simbah yang pernah hidup dalam kejayaan masa lalu, yang peninggalannya masih berserakan di dalam tanah dan menyimpan miliaran misteri.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR