Christian mengatakan dia tahu dirinya tidak mampu makan di luar, dan makanan cepat saji bukanlah makanan yang sehat. Namun, dia merasa terlalu stres—dikejar waktu, mendengar rengekan Jerimiah, betapa sedikit uangnya—sehingga akhirnya menyerah.
!break!
Sungguh ironi yang kejam. Orang di pedesaan Iowa mengalami kekurangan gizi di tengah hutan jagung yang terhampar sejauh mata memandang. Tanah Iowa adalah lahan paling subur di negara ini, bahkan hingga membangkitkan jiwa penyair di kalangan pakar agronomi, yang menggambarkannya sebagai “emas hitam”. Pada 2007, lahan pertanian Iowa memproduksi sekitar seperenam produksi jagung dan kedelai di AS.
Ini adalah jenis tanaman yang muncul di meja dapur Christina Dreier dalam bentuk hotdog, yang terbuat dari daging sapi yang diberi pakan jagung, minuman Mountain Dew dengan pemanis sirup jagung, dan nugget ayam goreng yang digoreng dengan minyak kedelai. Semua itu adalah jenis komoditas yang mendapat dukungan paling besar dari pemerintah AS.
Pada 2012, pemerintah menghabiskan dana Rp110 triliun untuk menyubsidi dan mengasuransi tanaman komoditas seperti jagung dan kedelai, dengan Iowa menjadi salah satu negara bagian penerima subsidi terbesar. Pemerintah tidak begitu banyak mengeluarkan dana untuk meningkatkan produksi buah dan sayuran. Pedoman gizi menyatakan buah dan sayuran seharusnya mencakup separuh porsi menu makanan kita. Pada 2011, pemerintah hanya menghabiskan Rp16 triliun untuk menyubsidi dan mengasuransi “tanaman istimewa”—istilah birokrat untuk buah dan sayuran.
Prioritas pemerintah tecermin pada toko bahan pangan; harga makanan segar semakin mahal, sementara makanan manis seperti soda semakin murah. Sejak awal 1980-an, biaya riil buah dan sayuran meningkat 24 persen. Sementara itu, biaya minuman non-alkohol—terutama soda, sebagian besar menggunakan pemanis sirup jagung—menurun 27 persen.
“Kita telah menciptakan sistem yang bertujuan menjaga harga pangan secara keseluruhan tetap rendah, tetapi tidak banyak mendukung makanan sehat bermutu tinggi,” kata ahli pangan global, Raj Patel. “Masalahnya tidak bisa diperbaiki hanya dengan memberi tahu orang untuk makan buah dan sayuran. Inti persoalannya adalah upah, kemiskinan.”
Ketika lemari Christina Dreier mulai kosong, dia berusaha membujuk anak-anaknya untuk tidak mengemil. “Tetapi, kadang mereka makan biskuit asin, karena kami bisa mendapatkannya dari dapur umum,” katanya, mendesah. “Makanan itu tidak sehat untuk mereka, tetapi saya tidak akan melarang mereka memakannya jika mereka kelaparan.”
Keluarga Dreier terus berusaha makan dengan baik. Seperti keluarga lainnya, mereka menanam sepetak sayuran dan deretan pokok jagung manis di halaman besar yang dicomot dari ladang jagung luas di belakang rumah mereka. Namun, ketika masa panen usai, Christina mengalami pergulatan dalam hatinya setiap kali pergi ke supermarket atau dapur umum. Di kedua tempat itu, makanan sehat hampir selalu berada di luar jangkauannya.
Ketika kupon makanan datang, dia menghabiskannya untuk membeli persediaan makanan bulanan, termasuk sekantong anggur organik dan sekantong apel. “Mereka gemar makan buah,” katanya dengan rasa bangga yang terlihat jelas. Namun, sebagian besar uang belanja dibelikan daging, telur, dan susu yang tidak disediakan dapur umum; dengan mi dan saus dari dapur umum, ia hanya perlu membeli daging untuk campuran saus spageti dengan uang setara Rp38.800.
Yang saat ini dimilikinya, menurut Christina, adalah sebuah dapur dengan makanan yang hampir cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Hanya pada saat-saat gentinglah, yaitu saat tagihan baru tiba, atau saat dia harus membeli bensin untuk mengantarkan anak-anak ke kota, yang membuat hidupnya cukup sulit. “Kami tidak kelaparan,” katanya pada suatu pagi sambil mengaduk susu bubuk untuk putrinya. “Tetapi, ada kalanya, kami agak kelaparan.”
—
Tracie McMillan adalah penulis The American Way of Eating. Fotografer Kitra Cahana, Stephanie Sinclair, dan Amy Toensing dikenal karena sering menampilkan manusia yang sensitif dan intim.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR