KEELOKAN RUMAH ATAS yang bercat kuning dan berplisir biru telah menjadi tengara sisi barat pinggang Tambora. Rumah berlantai tegel dan berdinding papan kayu ini dibangun sekitar 1930-an dan merupakan warisan perkebunan kopi milik Swedia yang terhampar di Oibura, Tambora. Ayah Sugeng, yang bernama Suparno, mendiami Rumah Atas sebagai rumah dinasnya, sekaligus tempat bermalam para tetamu MAPATA.
Saya bersama fotografer Dwi Oblo bermalam di Rumah Atas, ditemani oleh Suparno. Sosok Suparno yang tinggi besar dan berewokan telah mengingatkan saya tentang tokoh Kapten Haddock di serial petualangan Tintin karya kartunis Belgia yang sohor, Hergé. Lelaki dengan tatapan nanar namun sejatinya berhati kordial itu ternyata suka berkelakar. "Nah, saya ini premannya preman, lho," ujarnya. "Saya ini juru kunci Tambora ha... ha... ha..."
Menurut kisah Suparno, perkebunan kopi ini tampaknya turut melahirkan kampung-kampung lain di sekitarnya dan menghidupkan kembali peradaban baru di Tambora. Dahulu, dia dan teman-teman buruh bermukim di kompleks dan barak-barak perkebunan. Namun, kini kompleks permukiman buruh itu lebih mirip kota koboi yang mati karena ditinggalkan warganya.
"Kompleks perkebunan ini tidak ada lagi yang menghuni," ujar Suparno. "Mereka sekarang memiliki kebun pribadi sekalipun statusnya masih tanah milik negara." Kini, para buruh telah menempati kampung-kampung baru di sekitar perkebunan.
Suparno berkisah, proyek pembukaan hutan mulai menjamah sisi barat Tambora pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Sebuah perusahaan penebangan kayu yang telah mengantongi izin dari pemerintah, membuka jalan dengan traktor-traktor beroda rantai. Jalan itu telah mengukir pinggang gunung sejauh 45 kilometer, dari Calaibai di pesisir barat sampai Kawinda di pesisir utara, yang juga melintasi kawasan perkebunan kopi. Sejak saat itulah kayu kalanggo (Duabanga moluccana) yang menjadi hutan primer khas Tambora mulai ditebang sebagai bahan dasar kayu lapis.
!break!Pada awal 1980-an, Suparno menyaksikan dengan matanya sendiri ketika para awak ekskavator mengeruk dan meratakan tanah untuk membuka jalan, mereka menemukan lempengan-lempengan emas di desa sebelah. Akhirnya, ujarnya, banyak sekali orang-orang yang menemukan guci. Bahkan pada lima tahun lalu, dia masih menemukan sebuah teko porselen Cina yang sudah remuk bagian lehernya. "Saya tidak menggali, langsung ketemu di jalan," ujarnya. "Yang terakhir ada cepuk berisi berlian sebelas sinar dan cincin emas."
Berbagai temuan sepanjang dekade 1980-an telah menggelitik para ilmuwan—ahli vulkanologi, ahli geologi, dan ahli arkeologi—untuk menyelisik kawasan ini pada dua dasawarsa berikutnya. Mereka menduga, berdasarkan laporan penelitian, kawasan sekitar perkebunan kopi ini tampaknya pernah menjadi permukiman desa yang terempas amukan megakolosal Tambora pada 1815. Barangkali inilah perdesaan dalam naungan Kerajaan Tambora.
Suparno mengamati perjalanan nasib hutan di pinggang Tambora yang tergerus proyek pembukaan hutan di sisi barat. Kendati sebuah perusahaan swasta telah mempunyai hak dalam pengelolaan hutan di Tambora, pembalakan liar mulai marak setelah lengsernya Presiden Soeharto pada 1998. "Siang malam ada 40 truk yang lewat," ujar Suparno sembari mengenang. "Kayu duabanga sudah seperti ikatan-ikatan bayam!"
Perusahaan swasta pembukaan hutan itu telah tidak beroperasi lagi di Tambora sejak sekitar satu dekade silam. Namun, sampai hari ini pun, saya masih mendengar gelumat gergaji mesin yang membahana di hutan tepian perkebunan kopi. Suara itu seperti hantu, begitu dekat namun sulit untuk menerka dengan pasti arah dan asal suaranya.
Suparno mengisahkan peristiwa banjir besar nan dahsyat yang pernah disaksikan seumur hidupnya di Labuankananga, kawasan bekas pelabuhan Kerajaan Tambora, sekitar 2007-2008. Tatkala itu dia sedang mengendarai sepeda motornya untuk memintas jalan . Dia menggambarkan kengerian permukiman di kaki Tambora yang diterjang ratusan gelondongan kayu pembalakan liar yang ikut hanyut terbawa banjir sejauh 13 kilometer. Air limpasan dari gunung telah menenggelamkan permukiman dan menghancurkan beberapa jembatan.
"Sampai kayu-kayu besar muntah di pantai. Kali Sorisumba meluap puluhan meter. Gang antara rumah-rumah sudah menjadi kali. Sepeda motor saya sampai hampir hanyut!"
Tambora kini, bukanlah Tambora yang dahulu. Di ruang tamu Rumah Atas yang terbuka pintunya, Suparno memaparkan kepada saya bahwa begitu banyak perubahan telah terjadi di pinggang gunung itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR